Aku sudah terjaga sejak sebelum denting ponsel itu terdengar. Hanya masih memejamkan mata dan tidak bergerak, karena seluruh tubuhku serasa baru menjadi samsak tukang pukul. Dan itu bukan sepenuhnya kiasan-aku baru saja dipukuli preman. Aku menggeliat lalu meraih ponsel dan mendapati jam digital di layarnya menunjukan beberapa menit lebih dari pukul satu siang. Aku telah tertidur selama lebih dari enam jam.
Lalu, aku membuka pesan yang tadi masuk.
[Kabari keputusannya ke nomor ini, Rai. -Taka]
Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. Lelaki itu memang meminta nomor WhatsApp-ku sebelum aku pamit untuk pulang. Perihal keputusan yang ia tunggu, aku benar-benar telah dihadapkan pada jalan buntu.
Tawaran jabatan panglima tempur. Itulah yang Taka bicarakan saat memanggilku ke kamar belakang di markas Kawani beberapa jam yang lalu. Sambil bangkit dan mengisi gelas dengan air dari dispenser, ingatanku melayang pada percakapan kami.
"Bisa tunggu di luar sebentar, Go?" tanya Taka pada Banggo saat kami berdua memasuki kamarnya. "Maneh juga, Zul. Urang perlu ngobrol duaan sama Arai. Nuhun pisan¹, Zul."
Aku dapat merasakan suasana tak nyaman yang timbul di udara saat Zul sudah keluar, dan Banggo tetap berdiri di sana selama beberapa detik, saling bertatapan dengan Taka. Akhirnya ia berbalik dan melangkah keluar tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Lelaki berbadan besar itu jelas tidak menyukaiku. Mungkin karena telah menyeretnya ke dalam pertarungan yang tidak perlu bersama Aga dan empat kacungnya. Atau-dan aku lebih mempercayai kemungkinan kedua ini-karena Taka menunjukan ketertarikan pada diriku, yang mana membuatnya tak nyaman karena sepertinya ia adalah orang kepercayaan sang ketua selama ini.
Mungkin terdengar mengada-ada, tetapi aku sungguh dapat membaca itu semua dengan jelas dalam beberapa jam pertemuanku dengan Banggo.
"Rai, kamu tahu arti dari kata kawani?" Taka membuka pembicaraan, ketika aku sudah duduk di kursi besi lipat di samping ranjang. Ia sendiri duduk dan bersandar ke kepala ranjang, bertelanjang dada dengan bahu dilapisi perban.
"Kalau gak salah, berani, ya?"
Taka tersenyum. "Lebih tepatnya, keberanian. Kamu punya hal itu, Rai. Keberanian, disandingkan dengan otak cerdas yang kamu punya, bisa jadi sesuatu yang luar biasa."
Aku mendengarkan. Belum bisa menebak ke mana arah pembicaraan ini.
"Beberapa minggu lalu, Kawani baru aja kehilangan panglima tempur." Tatapan Taka berpaling dariku, ia memejamkan mata-seolah apa yang akan dibicarakannya adalah sesuatu yang menyakitkan-dan baru melanjutkan kalimatnya beberapa detik kemudian. "Dia teman baik saya sejak masih seumuran kamu dulu, Rai. Namanya Ezan. Saya, dia, dan Goliath dulu satu sekolah. Oktober lalu, dia tewas di tangan panglima tempur Blacktula." Lelaki itu berhenti sejenak dan menatap langsung ke dalam mataku. "Saya gak akan cerita detailnya, yang jelas jabatan panglima tempur Kawani sekarang kosong."
Aku mengangguk-angguk sebagai respons sambil berusaha menerka apa maksudnya memberitahuku cerita sedih itu.
Taka kembali berbicara. "Tadinya, rencana saya adalah mengangkat Eri jadi panglima tempur. Sebagai atlet baseball, dia punya kekuatan fisik yang sangat memadai untuk posisi itu. Tapi, ternyata si Eri ini gak mungkin menetap di Sidikara dalam waktu dekat. Kuliahnya masih semester akhir. Gak mungkin saya membiarkan Kawani tanpa panglima tempur dalam waktu yang terlalu lama."
Aku masih membalas tatapan lelaki itu dalam diam, saat ia melanjutkan, "Hari ini saya menemukan solusi. Saya rasa, orang seperti kamu pun mampu mengisi posisi itu. Saya harap kamu mau mempertimbangkan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jenaka
Teen FictionJUDUL PERTAMA DALAM SERI JENAKA Jenaka (completed) ------------------------------------------------------------ "Makasih ya, Jena." "Makasih apa? Kan, kamu yang bayar," timpal Jena dengan wajah jahil. "Makasih aja. Buat ide..." Aku berhenti sejena...