Tak Bisa Kubuat Hangat

177 35 3
                                    

"Arai, ini dikit lagi sampai. Ayo, kamu pasti bisa!" Jena setengah berteriak untuk mengalahkan suara hujan dan mesin motor dari jok penumpang.

Berkendara di bawah hujan deras dengan tubuh babak belur rupanya bukanlah hal mudah. Laju Cobra sangat lambat karena aku hanya berkendara dengan satu tangan. Padahal, letak klinik terdekat yang Jena arahkan tidak jauh dari SMA 1. Tepatnya, di Jalan Merak, jalan yang sama dengan letak gedung Kapow.

Aku memaksakan diri untuk terus berkendara. Hingga akhirnya, dengan laju terseok-seok, Cobra berhasil kuparkirkan di depan klinik kecil tersebut. Jena segera turun dan membantuku memasuki klinik.

"Korban kecelakaan, Kak?" tanya seorang perawat yang segera mengambil alih topangan tubuhku dari Jena.

"Bukan," jawab Jena. "Ini... habis berantem."

Perawat itu mengangguk maklum. "Kakak silakan isi dulu data pasien di bagian administrasi, pasien akan langsung saya bawa ke ruang tindakan."

Jena mengangguk. Namun, sebelum ia sempat berbalik, aku terlebih dulu menahan lengannya.

"Jena, kamu tunggu di sini ya," pintaku lamat-lamat dan penuh penekanan. Aku bisa gila jika sampai setelah semua yang kulalui tadi, tetap tidak bisa berbicara dengannya. "Jangan ke mana-mana dulu sampai saya selesai."

"Iya," jawabnya. "Kamu tenang aja."

Setelah mendapatkan jawaban itu, barulah aku membiarkan sang perawat membawaku ke ruang tindakan. Di sana, aku mendapatkan jahitan ulang di luka-luka yang kembali terbuka, serta jahitan baru di pinggang dan lengan bagian atas. Luka-luka lainnya cukup hanya dibersihkan dan diberi obat antiseptik. Seluruh tindakan itu telah memakan waktu lebih dari satu jam. Selama itu pula, hatiku was-was memikirkan apakah Jena masih menunggu di luar atau pergi karena bosan.

"Nah, selesai." ucap dokter yang menanganiku akhirnya. "Salep dan antibiotik bisa ditebus di bagian administrasi ya."

Aku mengangguk. "Makasih, Dok."

"Usahakan jangan dulu berantem lagi dalam satu minggu ke depan, bisa ya?"

Sindiran halus itu hanya kutanggapi dengan senyum kecil sebelum keluar dari ruangan. Ternyata, hujan telah reda dan Jena tidak tampak di mana pun di area ruang tunggu klinik. Seperti orang gila, aku belingsatan mencarinya ke sana kemari. Berniat menyusulnya ke luar, aku terlebih dulu menuju bagian administrasi untuk menyelesaikan pembayaran dan menebus obat.

"Administrasi dan resep atas nama Aldari sudah diselesaikan tadi." Petugas yang duduk di balik meja itu tampak bingung ketika menjawab pertanyaanku.

Jantungku berdetak lebih cepat. "Udah lama belum, Mbak?"

"Sekitar lima belas menit lalu."

Aku segera berlari setelah mengucapkan terima kasih. Jena tidak mungkin pergi terlalu jauh jika ia membawa obatku bersamanya.

Baru saja aku akan menaiki Cobra, saat ujung mataku menangkap sosok Jena yang terduduk di ujung bangku besi di bagian depan klinik. Gadis itu tengah menatap lurus ke depan, ke jalan raya yang aspalnya basah sebagai sisa hujan.

Aku mengembuskan napas lega dan segera berjalan ke arahnya. Jena tidak menghiraukan, ia bahkan tidak menatapku meski aku telah berdiri di sampingnya. Seolah-olah jalanan yang basah itu lebih menarik untuk dipandangi. Raut panik di wajahnya telah hilang, tergantikan oleh dua mata yang kosong tanpa ekspresi. Aku benci tatapan kosong itu.

"Jena," sapaku akhirnya, sambil mendudukan tubuh di bangku besi itu. "Saya kira kamu pergi."

Jena menoleh dan menatapku dingin. Kulitnya terlihat pucat meski masih merah di bagian mata dan hidung. Bibirnya kering, rambutnya kusut meski tak lagi basah. Gadis itu pasti merasa sangat kedinginan. Aku ingin membuatnya hangat. Tetapi, sama sepertinya, aku juga masih mengenakan seragam basah kuyup yang sama.

JenakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang