Aku sepenuhnya membeku. Kejutan ini terlalu besar untuk dicerna. Rasanya seperti seseorang baru saja memberitahuku bahwa bumi berbentuk segitiga alih-alih bulat.
"Gak ada yang nyalahin kamu, Arai. Atau siapa pun. Tapi, ayahmu juga gak salah." Tante Reni kembali berbicara setelah terisak selama beberapa saat. "Kebakaran itu murni kecelakaan."
"Kenapa..." Suaraku tak lebih dari sebuah bisikan parau. Aku berdeham sebelum melanjutkan, "Kenapa gak pernah ada yang bilang soal ini?"
"Mas Darwan langsung ngebakar kertas-kertas hasil penelitian begitu tim pemadam selesai menginvestigasi. Gak ada yang tahu. Tante pun gak akan tahu kalau bukan karena salah satu anggota tim yang bertugas saat itu kebetulan adalah temen sekolah Tante dulu," jelasnya. "Mas Darwan maksa Tante bersumpah buat selamanya menjaga fakta ini tetap menjadi rahasia. Dia paling gak mau kamu tahu."
Kenangan tentang hari-hari setelah pemakaman Ibu dan Arla mulai berkelebat. Bagaimana Darwan, yang mulanya hanya mabuk sesekali saja, perlahan menjadi tak terpisahkan dari minuman keras. Bagaimana ia tidak pernah lagi melihat langsung ke mataku, dan semakin menjauh hingga hadirnya tak lagi terasa.
Selama ini aku mengira itu adalah buah dari rasa bersalahnya karena telah memicu kebakaran. Sebuah batu besar seperti ditimpakan ke atas hatiku saat menyadari bahwa ternyata itu semua terjadi karena ia terpenjara oleh sebuah rahasia gelap yang ditutupnya rapat-rapat.
Dan aku, dalang yang sebenarnya dari tragedi itu, tidak membantu sama sekali dengan justru terus menyalahkannya.
"Ayah kamu memang gak sepenuhnya luput dari kesalahan. Apalagi dengan lari ke alkohol dan memperlakukan kamu dengan kurang layak. Tapi, Tante harap kamu bisa belajar untuk memaafkan. Beban yang dia pikul sejak kejadian itu terlalu berat."
Mungkin seharusnya aku mengatakan sesuatu untuk menanggapi Tante Reni. Namun, apa? Tidak ada satu kalimat pun yang pantas untuk kukatakan sekarang. Bahkan jika pintu ruangan operasi itu terbuka dan yang muncul adalah permukaan koin yang benar, bagaimana aku bisa menghadapi Darwan tanpa mati oleh rasa malu?
"Ssshhhhh," ucap Tante Reni sambil menarikku ke dalam pelukan.
Saat itulah aku baru tersadar bahwa wajahku sudah basah oleh air mata dan dadaku terasa benar-benar sesak. Setiap helaan napas telah menjadi sangat mahal. Aku berusaha menyengahkan sakit yang menyertainya dengan memejamkan mata kuat-kuat sambil membiarkan Tante Reni memeluk dan mengusap-usap punggungku selama beberapa saat.
"Kita doa sama-sama ya, Rai," lirihnya saat melepaskan pelukanku.
Aku masih tidak sanggup bicara, hanya mengangguk sambil terus mengeluarkan suara terisak yang terdengar asing dan memilukan bahkan di telingaku sendiri.
Ketika jam dinding menunjukkan pukul dua belas tepat, akhir dari seberapa lama waktu operasi dibutuhkan menurut informasi dokter, aku bangkit berdiri dan berjalan mondar-mandir. Tante Reni duduk sambil memejamkan mata, dengan kedua tangan menutupi setengah wajahnya. Rasa tak sabar dan kegelisahan semakin memuncak. Si dokter tua keluar lima belas menit kemudian dari pintu ruangan operasi, aku bergegas menghampirinya.
"Dok...?" tanyaku parau.
Dokter itu melepas masker dan sarung tangannya, lalu memandangku dengan seulas senyum. "Operasinya berhasil. Ayah Anda sebentar lagi akan dipindahkan ke recovery room."
Setiap tulang dalam tubuhku seketika seakan kehilangan dayanya. Ledakan rasa lega sekaligus haru memenuhiku, begitu besar hingga rasanya tak sanggup dimuat oleh tubuh. Aku membungkuk dan bertumpu pada lutut. Tante Reni yang telah tersedu-sedu menopang bahuku, menahanku agar tidak benar-benar ambruk. Dengan sebelah tangan, kuraih tangan keriput dokter tua itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jenaka
Teen FictionJUDUL PERTAMA DALAM SERI JENAKA Jenaka (completed) ------------------------------------------------------------ "Makasih ya, Jena." "Makasih apa? Kan, kamu yang bayar," timpal Jena dengan wajah jahil. "Makasih aja. Buat ide..." Aku berhenti sejena...