"Ya Tuhan! Kamu kenapa, Arai?"
Begitulah reaksi Jena ketika aku tiba berbarengan dengannya yang baru saja keluar dari gedung Kapow setelah kelas usai. Wajar saja, sebagai jejak perang dua malam sebelumnya, pelipis, sudut bibir, dan buku-buku jariku mengalami robek yang lumayan parah. Luka-luka itu telah menerima beberapa belas jahitan dan kini dilapisi perban.
Sepulang dari pemakaman Taka, aku jatuh ke dalam tidur lelap berjam-jam lamanya dan baru bangun ketika Tante Reni menggedor-gedor pintu kontrakan. Ia cemas karena melihat Cobra terparkir seharian, yang artinya aku tidak pergi ke sekolah seperti biasa. Wanita itu jugalah yang kemudian menyeretku ke klinik terdekat untuk mendapatkan penanganan medis.
Setelahnya, aku kembali tidur. Tidak melakukan apa pun adalah opsi terbaik, karena hatiku terus berdenyut perih setiap kali bangun dan teringat pada Taka. Aku kembali membolos sekolah hari ini dan ingin tetap berbaring di kasur sampai hari kembali berganti, jika tidak ingat bahwa ini adalah Jumat. Janji pada Jena membuatku berhasil memaksa tubuh untuk bangkit dan pergi ke Kapow.
Jena masih menatapku, menunggu jawaban.
"Ini..." Aku benci karena lagi-lagi harus melontarkan kebohongan. "Kemarin ada maling masuk ke kontrakan."
"Ya ampun! Pantesan tadi gak ikut latihan. Tapi, kok kamu malah keluar?"
"Kan, udah janji," cengirku sambil mengeluarkan sebungkus kembang api besar dari dalam tas. Kembang api yang kubeli bersamaan dengan yang kugunakan untuk memanggil pasukan si Rapi dua malam yang lalu.
"Kamu udah beli! Aku kira kamu lupa." Mata Jena melebar dan ia tersenyum girang sambil bertepuk tangan pelan. Namun, sedetik kemudian senyum itu luruh dan berganti menjadi ekspresi tak yakin. "Tapi, emang gak apa-apa?"
Aku tersenyum untuk menenangkannya. "Gak apa-apa. Kalau ikutan Aikido, baru kenapa-napa."
Jena terkikik geli. "Ya udah, ayo!"
Beberapa menit kemudian, kami telah melaju dengan Jena yang duduk di jok belakang Cobra. Ini adalah pertama kalinya aku membonceng gadis itu lagi, setelah insiden dengan kotoran kucing bulan lalu. Jena tidak melingkarkan lengannya pada pinggangku atau apa, namun, sekedar tubuhnya yang mencondong ke depan untuk memberi arahan jalan sudah cukup untuk membuat dadaku berdebar-debar tak karuan.
Kali ini, Jena tidak merahasiakan tempat tujuan kami. Namanya adalah Taman Langit, sebuah bukit yang disulap menjadi tempat wisata di Sidikara Utara. Kami tiba di sana setelah menempuh perjalanan selama dua puluh menit. Ternyata, bukit itu sangat memanjakan mata. Sejauh mata memandang, hamparan rumput yang luas berbatasan langsung dengan pemandangan malam Kota Sidikara yang terlihat gemerlap dari ketinggian dan langit malam bertabur bintang.
Setelah membeli tiket, aku dan Jena masuk melalui jalan setapak yang dibatasi deretan lampu menyerupai bulan kecil yang dipasang di tanah. Tempat ini tidak terlalu ramai, aku hanya melihat beberapa pengunjung duduk di bangku kayu dan ayunan yang disediakan. Kami melewati area perkemahan, di mana beberapa tenda berdiri dengan set barbeque di mukanya.
"Bisa camping juga ternyata," komentarku.
"Emang," jawab Jena. "Seru ya, kayaknya."
"Mau?" usulku tanpa berpikir panjang. Wajah berseri yang selalu ia tampakkan saat sedang bersemangat membuatku ingin terus membuatnya senang.
Jena memutar matanya. "Mana boleh sama Papah."
Aku tertawa kecil. Gestur memutar mata yang sering ia lakukan itu sungguh menggemaskan. Kami lalu mengambil tempat duduk dan memesan minuman serta beberapa kudapan.
"Ayo, kita nyalain!" seru Jena begitu pelayan yang menerima pesanan kami berlalu. Ia duduk bersila di tepi gazebo kecil yang kami tempati sambil bertepuk tangan pelan seperti seorang bocah menanti mainan baru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jenaka
Teen FictionJUDUL PERTAMA DALAM SERI JENAKA Jenaka (completed) ------------------------------------------------------------ "Makasih ya, Jena." "Makasih apa? Kan, kamu yang bayar," timpal Jena dengan wajah jahil. "Makasih aja. Buat ide..." Aku berhenti sejena...