Si Brengsek yang Berkhianat

178 37 6
                                    

Jena menyentuh lenganku sambil mengedikkan kepala ke arah Cherokee yang tengah memasuki carport.

Aku menahan tangannya sebelum ia berbalik. "Jena, ada sesuatu yang harus saya jelasin. Bisa kita—"

Jena mengerutkan keningnya sambil tertawa heran. "Nanti aja." Ia menarik tanganku agar menghampirinya. "Sini, kamu kenalan dulu sama Papah."

Tidak ada lagi yang bisa kulakukan. Dengan gerak lunglai, aku turun dari Cobra dan membuka helm untuk menyapa ayah dari gadis yang baru saja kubawa pergi hingga larut malam.

Saat seorang ajudan turun dan membuka pintu belakang, aku bersiap menerima bom besar yang tak terelakkan lagi itu.

Dalam balutan kemeja putih dan jas yang telah disampirkan di lengan, Eddi turun lalu tersenyum pada Jena. "Baru pulang Kakak?"

"Iya," jawab Jena sambil meraih lalu mencium tangannya. "Pah, kenalin, ini—"

"Loh, Arai?"

Jena dan sang ayah berbicara bersamaan. Sementara, aku mematung di sisi mereka dengan lidah kelu.

Gadis itu segera menoleh ke arahku dengan raut kebingungan, lalu kembali pada Eddi. "Kok...?"

Daripada menjawab kebingungan putrinya, Eddi lebih memilih mengulurkan tangan padaku. "Saya turut berduka cita atas kepergian Taka yang sangat mendadak. Kemarin kita gak sempat ketemu di pemakaman."

Aku meraih jabat tangannya meski tanganku terasa kaku. "Makasih, Pak."

Eddi mengangguk dengan wajah bersimpati. Lalu, setelah melepaskan jabat tanganku, barulah ia berpaling pada putrinya. "Kamu satu sekolah dengan anak saya?"

Kening Jena berkerut dalam. Ia mengeluarkan tawa yang terdengar hambar dan dipaksakan. "Pemakaman...? Ini kalian pada ngomongin apa sih?"

Eddi menjawab pertanyaan pertama Jena dengan gamblang. "Pemakaman ketua Kawani yang kemarin pagi Papah sama Mamah dateng itu loh, Nak. Arai ini panglima tempurnya."

Pemandangan ini mungkin takkan pernah terlupakan dari benakku selamanya. Jenaka, berdiri di sampingku dengan raut wajah yang perlahan berubah dari kebingungan menjadi keterkejutan hebat. Matanya yang melebar dan mulai digenangi air bening. Dadanya naik turun, seolah bernapas telah menjadi sesuatu yang berat.

Aku membuka mulut dengan susah payah. "Jena, saya—"

"Pa-panglima... tempur?" Jena memotong kalimat itu terbata sambil menusukku dengan tatapan nanar.

Aku tidak tahu pilihan mana yang lebih baik. Memberi penjelasan pada Jena di tempat ini dan membiarkan Eddi Sustandi menyaksikan drama kami? Atau, sementara membiarkan Jena berpikir semaunya dengan fakta yang terpampang di hadapannya sekarang?

Jena tak memberiku kesempatan untuk memilih. Ia berpaling dariku pada sang ayah. Saat melakukannya, setetes air mata jatuh ke pipi dan segera ia hapus dengan punggung tangan. "Aku masuk duluan ya, Pah."

Ia berlari masuk. Refleks, aku melangkah untuk mengejar.

Namun, Eddi menahan tanganku. "Kenapa itu tadi?" tanyanya dengan kening berkerut.

"Pak, saya minta izin untuk bicara sebentar dengan Jena," ucapku, tidak menjawab pertanyaannya.

Sang wali kota menatapku dengan tatapan menilai. Pastilah ia tidak mengerti apa yang baru saja terjadi dengan putrinya. "Kamu ini temannya Jena?"

Aku mengangguk. "Kami ikut kelas yang sama di Kapow."

Eddi Sustandi tetap menelisik wajahku selama beberapa saat. Lalu, "Ini sudah jam sepuluh lewat. Saran saya, kamu pulang dulu dan selesaikan masalah kalian lain hari."

JenakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang