Pecah di Pangkal Langit

251 44 10
                                    

Sayangnya, ini bukan cerita fantasi. Tentu saja, waktu tidak lantas benar-benar berhenti hanya karena aku menghendaki. Tak lama setelah alarm berbunyi, seorang petugas mengetuk pintu, mengakhiri keasyikan kami.

"Seru, kan?" tanya Jena setelah kami keluar dari ruangan penuh cat itu.

"Banget." Aku mengangguk. Kami tengah kembali berjalan di lorong yang menyerupai hotel.

Jena tersenyum puas.

"Kamu tahu tempat ini dari mana?" tanyaku.

"Lumayan viral di Tiktok. Sering muncul di FYP-ku. Setiap kali liat videonya, aku inget kamu." Kalimat terakhir ia ucapkan sambil tetap berjalan santai dan menatap lurus ke depan. Seolah-olah itu hanya kalimat biasa dan tidak membuat jantungnya berdebar-debar. Tidak. Mungkin ia memang tidak. Jantungku-lah yang berdebar-debar.

"Kenapa?" Seharusnya aku tidak bertanya, jika tidak ingin ritme degup jantungku semakin sulit diatur. Sayang, lidah ini berkhianat dengan bergerak lebih cepat.

Jena mengangkat bahu. "Mungkin karena kamu adalah orang yang paling anti nunjukin ekspresi? Atau karena aku tahu, kamu suka tempat yang menjamin privasi. Gak tahu deh, pokoknya kayaknya seru aja kalau sama kamu."

"Kalau kamu?"

"Kalau aku apa?"

"Kalau kamu kenapa pengen ke sini?" tanyaku sambil menatapnya. "Ngerasa sulit nunjukin ekspresi juga?"

"Oh, itu." Jena menghela napas. "Jelas. Enak banget bisa bebas. Gak usah jadi 'Jenaka'." Ia mengacungkan dua jari di kedua tangannya, membentuk kutip di udara.

"Capek ya, jadi terkenal?" Aku tersenyum kecil melihat reaksinya.

"Sebenernya aku cuma terganggu sama efeknya aja. Gimana orang-orang gak bisa banget ngebiarin aku sendirian. Dan gimana susahnya ngenilai tulus atau enggaknya seseorang." Jena menunduk sejenak. "Mau tahu cerita sedih? Pertama kalinya aku pacaran, ketahuan setelah satu bulan bahwa aku cuma jadi bahan taruhan."

"Hah?" seruku kaget. "Serius?"

"Awalnya doang demi taruhan, katanya. Setelah ketahuan, dia tetep mau ngelanjutin. Tapi, aku gak mau lah. Gila aja." Jena lalu mengangkat bahu sambil melontarkan tawa palsu yang terdengar ironis. "Belum lagi, kejadian kayak sama si Farel, itu gak cuma sekali dua kali. Temen cewek juga pernah. Padahal, aku sama dia akrab. Ternyata, diem-diem dia yang suka kasih info ke akun haters Jenaka."

Kini, aku tahu mengapa Jena selalu menjaga jarak pada orang-orang di sekitarnya. Sepertiku, ia pernah dikhianati sehingga sulit mempercayai manusia lain. Namun, tidak sepertinya, aku masih memiliki keberuntungan untuk bisa bersikap semauku. Sementara Jena, harus menjaga sikap setiap saat sebagai harga dari kepopulerannya.

Percakapan kami terhenti ketika aku tersadar bahwa petugas yang mengarahkan jalan baru saja membuka sebuah pintu lainnya. Pintu yang satu ini berukuran lebih besar dan warnanya kuning tua. "Selamat datang di X-Room-2. Silakan menuju tabung masing-masing, nomornya sesuai yang tertera di gelang akses ya, Kak."

Tabung-tabung yang dimaksudnya tersebar di seluruh penjuru ruangan terbuka yang sangat luas ini. Dengan diameter yang sepertinya sekitar dua meter dan tinggi lebih dari empat kali lipatnya, beberapa tabung berbahan kaca tebal itu memuat manusia dewasa yang terlihat tengah melambung-lambung.

"Ini kita mau ngapain lagi?" tanyaku pada Jena.

"Kayaknya yang kedua ini malah lebih seru. Yuk!" Jena menarik tanganku dan berlari mendekati area tabung yang masih kosong. Diterpa angin senja, rambut panjangnya tergerai lembut seperti ombak menyapu pasir di tepi pantai.

JenakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang