770 64 0
                                    

Sebagai makhluk yang di kutuk menjadi abadi, Lan Wangji kerap kali menyaksikan kematian dan kehilangan secara berulang. Saling tumpang tindih dengan perkembangan zaman, membawanya pergi menyusuri alam manusia.

Bahkan tempat sektenya dahulu sudah musnah akibat gempa bumi yang menghancurkan semua. Mayat-mayat tertimbun di bawah bebatuan menyiptakan genangan darah pada permukaan tanah.

Termasuk saudaranya.

Melihat tangan yang terhimpit di antara serpihan bangunan yang dahulu merupakan perpustakaan, ia tau itu milik saudaranya.

Lan Wangji menggenggam erat tangan yang pucat dan dingin dengan tatapan sendu. Meski tubuhnya terluka parah, ia bahkan tetap tidak bisa mati.

Kakinya yang patah, terkoyak oleh batu yang menimpanya dengan sangat tiba-tiba. Kejadian yang berlangsung cepat tanpa sempat mencari pertolongan.

Tempat itu hancur tepat pada pukul 3 malam.

Menewaskan murid-murid yang masih terlelap dalam tidur tenang mereka.

.....

Dengan sisa tenaga, ia berkelana tanpa tujuan. Bencana dimana-mana, teriakan bahkan tangisan pilu menjadi tanda akan hancurnya populasi.

Berhenti pada tubuh pohon dan menyandarkan diri untuk melihat jejak terakhir dunianya yang sudah tiada.

Semua hancur, melebihi korban akibat peperangan dengan sekte Wen jaman dulu. Menyatu dengan alam, meratakan kehidupan di atasnya.

Seakan bumi membersihkan untuk menyambut gelombang kehidupan baru yang akan datang di masa depan.

.....

.....

Tahun 20XX, abad 2X

Jalanan di penuhi orang-orang yang berlalu-lalang. Hiruk piruk kota membuat dunia menjadi hidup atas nyawa manusia.

Kaki jenjangnya berjalan tegap mengarungi manusia-manusia yang memadati pusat kota, menyapu pandangan pada etalase-etalase kaca yang menawan.

Globalisasi

Sudut bibirnya melengkung saat menyadari roda kehidupan bergerak di sekelilingnya. Mode fashion pun surut datang dan pergi seiring perkembangan waktu.

Lan Wangji, ia sejak lama mengamati, mengelilingi dunia mencari tempat untuk mengais asa, dan ini pertama kalinya ia kembali ke tempat semula.

Semua sudah sangat berbeda. Gunung-gunung batu tergantikan oleh gedung pencakar langit yang menyilaukan mata, memantulkan cahaya matahari yang tampak lebih cerah dari sebelumnya.

"Excuse me, Sir? We have to go now, our client has been waiting for a long time since your arrival."

"Alright, i'm coming."

Dan dengan itu, berhentinya langkah Lan Wangji pun berakhir, ia harus kembali untuk menjalankan tugasnya yang telah sejak lama ia tempuh.

Menjadi abadi berarti harus memiliki cara agar dapat bertahan hidup diantara manusia yang akan mati, meski memaksanya mundur setiap kali kecurigaan mulai membuatnya tidak nyaman.

Bahkan nama pun kerap kali ia ubah demi keselamatan pribadi.

.....

Pelipisnya berdenyut saat pengeras suara mulai memutar musik-musik baru yang asing di pendengaran. Dentuman-dentuman yang menggetarkan jantung telah menjadi hobi di zaman ini.

"Terlalu bising," menarik nafas dalam untuk menetralkan ekspresinya yang sudah sangat lelah.

Berbeda dengan ketika ia masih mortal, musik-musik alunan lagu terdengar menyenangkan dan membuat nyaman. Membersihkan pikiran serta jiwa agar hidup lebih bersih tanpa noda.

Namun tentu saja semua berubah sejak dunia lebih mudah untuk dimanipulasi.

Ah, mengingat lagu zaman dulu.

Lan Wangji masih tetap memainkan Guqin miliknya. Meski kerap kali orang-orang bertanya mengapa ada alat musik traditional terpajang di kantornya.

Menjawabnya untuk pajangan pun membisukan semua mulut yang bicara.

...

"Permisi pak?" Ketokan ringan menyadarkan pikirannya. Ia menoleh untuk menatap siapa yang mengetuk meja tempat ia duduk.

"Ada apa?"

"Apakah kopinya perlu di isi ulang pak?" Tangan itu menunjuk dengan sopan cangkir kopinya yang telah kosong.

Dan dengan gerakan kecil, ia menggeser cangkir itu agar dapat di ambil oleh pelayan wanita yang berdiri di sampingnya tersebut.

Berada di kafe terdekat untuk makan siang bukanlah ide buruk, meski musik disini terbilang cukup mengganggunya, namun itu bukan hal besar.

Ia hanya butuh mengisi perutnya dengan kafein sebelum kembali dan bekerja tanpa henti.

Kopi itu pun kembali di atas mejanya, namun kali ini secarik kertas terselip diantara cangkirnya.

Sebuah nomer ponsel, lagi.

Sudah cukup sering mendapat perlakuan seperti ini, ia hanya mendesah pelan sebelum memasukkannya ke dalam saku dompet.

Bersatu dengan tumpukan kertas yang serupa dengan nomer yang berbeda-beda.

.....

.....

.....

Sirna (MDZS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang