309 30 0
                                    

Jiang Yanli sedang membereskan pakaian miliknya, berkemas untuk dinas karena pesanan butiknya membludak. Ia akan pergi selama seminggu untuk menuntaskan pekerjaan.

Dengan nyanyian halus, gerakannya pun tampak ulet dengan rapi dan tertata. Rambutnya ia sanggul tinggi agar tidak mengganggu pekerjaannya.

"Jie-jie!" Sebuah teriakan menggema, beruntunglah ibu dan ayahnya sedang pergi, kalau tidak. Dua orang itu akan habis kena marah.

Membiarkan keduanya yang ribut di luar sana, tangannya dengan setia mengatur isi kopernya, terlalu sering mendengar mereka bertengkar karena hal sepele.

Jadi, ada apa kali ini?

.....

"Jie! Kenapa pergi?!" Pintunya terbuka lebar, menampilkan wajah murung dari dua adik lelakinya. Ia hanya tersenyum lembut.

Menunjuk koper yang telah beres, "Bekerja, apa lagi?"

"Jie, jangan pergi!" Adiknya mendekat, duduk di sampingnya dengan bergelayut manja. Tangannya pun bergerak untuk mengusap rambutnya.

"Hanya sebentar saja, A-Cheng, seminggu itu tidak lama,"

"Lama!" Keduanya memprotes.

Jiang Yanli tertawa, "Astaga kalian ini, mau ikut emangnya?" Tangannya mencubit pipi Jiang Cheng dengan gemas.

"Ikut! Harus!" Wei Wuxian bahkan sudah bersiap untuk menarik koper kosong yang tidak jadi ia pakai.

"Nanti dimarahin ibu kalau kalian ikut," Jiang Yanli berdiri, ia menahan tangan Wei Wuxian.

"Jie, nanti di antar siapa? Si merak?" Wei Wuxian bertanya, ia sedikit menunduk untuk menatap kakaknya yang mungil.

"Mending aku yang antar, jie!" Kalau ini Jiang Cheng. Kini keduanya sudah sama-sama menarik ujung bajunya, bergelayut seperti anak kecil yang meminta permen.

"Adik-adikku, jie hanya pergi sebentar, dan iya, Jin Zixuan yang mengantarku, kalian tidak perlu khawatir," sebelah tangannya mengusap pipi Wei Wuxian, dan sebelahnya mengusap pipi Jiang Cheng.

Keduanya merupakan adiknya yang manja, meski memang Wei Wuxian lebih sering menempel dan Jiang Cheng yang terlalu menahan diri. Anak itu malu-malu kucing.

"Seminggu itu lama!" Jiang Cheng mengerang.

"Mn! Mn! Benar jie! Lama sekali perginya, tidak bisa sehari aja?" Timpal Wei Wuxian.

Jiang Yanli hanya menghela nafasnya pelan, kalau sudah begini, keduanya akan susah di bujuk.

"Nanti kalau jie udah pulang, kita akan jalan,"

"Janji?" Jika dari sudut pandang Jiang Yanli, ia dapat melihat kedua pasang mata mereka berkilau penuh harap.

Mereka berdua sangat lucu!

"Janji, jadi A-Cheng, A-Xian, baik-baik di rumah ya, jangan selalu bikin ibu marah."

Nasihat Jiang Yanli sajalah yang di dengarkan oleh keduanya. Yang kemudian di susul anggukan pasrah dari mereka.

"Jie sudah masak sup teratai babi di dapur, kalian makan dulu ya, ini jie udah terlambat," sebelum ia bergerak untuk menarik koper, Wei Wuxian sudah terlebih dulu mengambil bebannya.

"Biar aku aja, jie!" Tidak ingin menolak adiknya, Jiang Yanli hanya mengangguk dengan pelan.

"Kalau si merak macam-macam, jie harus lapor," Jiang Cheng mengikuti dari belakang, seperti bodyguard.

"Siap, kalian juga jangan macam-macam ya," gadis muda itu tertawa, meski ia tidak yakin adiknya tidak bebas dari masalah, apalagi Wei Wuxian.

"Kalau itu, seharusnya jie menasihati Wei Wuxian saja,"

"Kenapa aku aja?!"

Baiklah, di mulai lagi.

"Siapa lagi selain kamu yang membuat masalah?"

"Jangan selalu berpikir kau tidak pernah melakukannya, Jiang Cheng!"

"Tidak separah dirimu!"

"Katakan itu pada orang yang sibuk pacaran daripada sekolah!"

Pacaran?

Jiang Yanli menoleh untuk menatap Jiang Cheng.

Kemudian melihat Wei Wuxian yang menjulurkan lidahnya pada adiknya.

"A-Cheng, sudah punya pacar?" Pertanyaan itu telak membuat kaku Jiang Cheng.

"Sudah punya, jie! Mereka bahkan hanya berduaan di ruang kesehatan waktu itu!" Astaga Wei Wuxian, mari doakan dirimu tetap selamat setelah membeberkan informasi rahasia.

"Wei Wuxian! Tutup mulutmu! Bukan pacarku, jie. Dia cuma dokter di sekolahan, yang mengobati luka saat di pukul si merak," adiknya itu menggeleng.

"Bukan pacar tapi ciuman," sindiran itu membuat semua mata terkejut. Jiang Cheng bahkan lebih terkejut.

"K-kau melihatnya?!" Habis sudah alasanmu, Jiang Cheng.

"Aiyaa, aku kan, datang mencarimu, jadi tentu saja aku lihat. Lagian, sepertinya kamu bersyukur telah berantem dengan merak congkak itu, kalian berdua jadi lebih dekat."

Kejadian ini sudah cukup lama, sekitar setahun atau dua tahun lalu. Saat Jiang Cheng mendorong Jin Zixuan dan membuat lengannya terluka, saat itulah ia pun mendapatkan waktu luang berdua dengan Dokter Huan.

Wei Wuxian saat itu hanya berniat mencari Jin Zixuan untuk menambah luka pada tangannya, namun yang ia lihat adalah pemandangan Jiang Cheng yang sedang di cium oleh orang lain.

Saat pertemuannya dengan Lan Xichen di kemudian hari, ia tidak menyadari bahwa orang itulah yang mengecup pipi Jiang Cheng dulu, karena seingatnya, orang itu tidak memakai kacamata.

Namun saat menyadari mengapa Jiang Cheng bisa membiarkan seseorang melihatnya tertidur, maka sudah pasti hubungan mereka cukup dekat.

Terkadang perubahan kecil pun bisa mengubah segalanya.

"Tapi itu hanya kecupan biasa, jie tidak perlu merasa khawatir, lagian itu cuma di pipi," ini Wei Wuxian yang berbicara. Ia berkata lugas dan jujur.

Jiang Yanli hanya melihat drama mereka dalam diam, merasa sedih karena sadar keduanya sudah dewasa untuk hal-hal berbau cinta.

Padahal Jin Zixuan itu seumuran dengan mereka, dan ia juga melupakan fakta tersebut.

Jiang Cheng mengurut pangkal hidungnya, "Katanya itu bisa membuat luka cepat hilang," suaranya lirih, sedikit malu mengulang perkataan itu.

"Kau bodoh sekali atau memang otakmu berhenti karena pukulan si merak?"

Wei Wuxian mengerjapkan mata tidak percaya.

Alasan macam apa itu?!

"Karena memang sakit, bodoh! Aku hanya ingin rasa sakitnya hilang dengan cepat jadi membiarkannya, lagipula kenapa kalau aku di perlakukan begitu? Kau iri?!" Jiang Cheng akhirnya meledak.

"Iri untuk apa? Hanya anak SD yang percaya kecupan dapat menghilangkan rasa sakit!" Wei Wuxian berkilah dengan fakta.

Nyatanya, Jiang Cheng pun tau tentang itu. Namun entah mengapa saat itu ia hanya mengiyakan perkataan dokter muda itu dan membiarkannya mengecup pipinya yang memar.

Kalau dipikir-pikir, itu hanya membuat dirinya menjadi terlihat bodoh di depan Wei Wuxian. Dan itu membuatnya kesal.

"Sudah, sudah. Kalian jadi antar jie, kan?" Jiang Yanli memecah keduanya, berjalan di antara mereka untuk menghilangkan sisa-sisa kecanggungan itu.

"Si merak udah datang?"

Jiang Yanli menjawab pertanyaan itu dengan menunjukkan ponselnya yang berbunyi dan menampilkan nama 'Jin Zixuan' pada layarnya.

.....

.....

.....

Kalau ceritanya makin aneh, maafkan aku 😭

Sirna (MDZS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang