497 48 0
                                    

"Wei Ying?"

"Iya?" Wei Wuxian mengerjapkan matanya, sesaat tersadar menjawab tanpa berpikir.

Eh, tunggu? Kok iya?

Lalu dengan cepat beranjak dari lengan itu, ia berdiri dan membungkukkan badan, sebagai permintaan maafnya.

"Maaf tuan sudah merepotkanmu," ucapnya lagi, ia bahkan merasa malu telah berperilaku semena-mena.

Lan Wangji berdeham sekali, ia menggerakkan tangannya, "tidak apa."

Wei Wuxian pun kembali ke tempat duduknya, menarik bangku itu dan menaruhnya agak jauh dari tuan tadi.

"Kau kenal dia?" Jiang Cheng berbisik padanya, Wei Wuxian mengendikkan bahunya, ia menggeleng pelan.

"Lain kali, jangan bermain dengan kursimu A-Xian," disambut dengan anggukan kepala sang empu.

.....

Lan Wangji tenggelam pada pikirannya sendiri, tentang anak itu, dan Wei Ying-nya.

Mereka cukup mirip, bukan, bukan.

Bahkan lebih tepatnya, terlalu mirip.

Namanya pun masih sama, tingkahnya masih sama.

Dengan sesaat debaran itu muncul ke permukaan, debaran yang telah lama ia lupakan.

Berdenyut kencang membuatnya berkeringat, rasa rindu yang membuncah, haru, bahagia dan sedih seketika menyerangnya.

Genggamannya pada garpu menjadi erat, hasrat bertahun-tahun menunggunya ternyata tidak sia-sia.

Tapi mengapa baru muncul sekarang?

Bukankah leluhur mengatakan ia tidak akan kembali?

Bagaimana dengan kehidupannya yang sekarang? Apakah ia bahagia? Tidak terluka?

Segala macam pertanyaan memenuhi pikirannya, tidak memperdulikan kondisi luar, ia hanya berkutat dengan diri sendiri.

"一 tuan? Tuan Lan? Tuan! Apakah tuan baik-baik saja?" Sayup- sayup terdengar suara perempuan.

Dan dirinya kembali ke akal sehatnya, memperhatikan wajah khawatir Nona Lou dan anaknya yang sekarang menangis sesegukkan.

"Maafkan aku, aku mengganggu waktu makanmu," ia berucap dengan pelan, tangannya mengusap lembut pipi mian-mian, mencoba menenangkannya.

"Lanjutkan makanmu, aku pergi dulu," lalu menepuk pucuknya dan segera beranjak keluar dari restoran.

.....

Wei Ying?

Siapa dia?

Apakah aku mirip dengan kenalannya?

Ah, tapi terlepas dari ttu..

"Mengapa aku menjawab iya?" Wei Wuxian berpikir dengan keras, ketukan pada dagunya pun beriringan dengan langkahnya.

"Aku tidak mengenalnya," gumaman itu terus berlanjut.

"Mungkin kalian pernah bertemu di jalan?" Jiang Yanli menyahuti dari belakang.

"Jie-jie!"  Ia terperanjat kaget, Jiang Yanli melihat itu hanya tertawa geli.

"Hehehe, A-Xian, kau bahkan tidak sadar aku disini, hm?" Jiang Yanli tersenyum manis.

"Maafkan aku, jie. Aku sedang berpikir, tapi jie, rasanya aku tidak pernah bertemu tuan itu dimana pun," Wei Wuxian memundurkan langkahnya, mensejajarkan dengan langkah kecil kakak sepupunya.

"Berarti, A-Xian hanya mirip orang yang tuan itu kenal," tangan mungilnya mengusap pipi Wei Wuxian.

"Sudah, ayo tidur, ini sudah larut malam," lanjutnya.

.....

Lan Wangji pulang ke rumahnya, ke bunker miliknya.

Ia mencari ke segala penjuru rumahnya untuk memastikan.

Memastikan itu benar Wei Ying-nya.

'Dimana itu? Dimana aku simpan?'

Langkahnya terkesan buru-buru, ia mencari benda yang ia simpan sejak kematian Wei Ying.

Suibian dan Chenqing.

....

Sejak kejadian mengerikan yang merengut nyawa Wei Ying, segala benda yang menjadi kenangan buruknya ia simpan rapat-rapat. Tidak ingin melihat benda tak bertuan itu lagi.

Rasa sakit akan di tinggal pergi sang terkasih masih membekas, bahkan setelah ribuan tahun berlalu, ia masih tidak merelakan kepergian Wei Ying.

Lalu sekarang ia hidup kembali?

Bertemu dengannya di sebuah restoran keluarga di antara padatnya kota, tentu saja ini bukan kebetulan.

Meski ia bahagia, namun terbesit rasa takut yang besar pada dirinya.

Setiap reinkarnasi, ia selalu melihat orang disekitarnya hidup dan mati berulang kali, namun tidak dengan Wei Ying. Seakan benar raga dan jiwanya telah hancur, tidak bisa kembali lagi.

"Wei Ying," Lan Wangji terduduk di tengah ruangan, sesak yang dirasa kembali hadir, menyebabkan panas di pelupuk matanya.

Ia menangis.

......

Berbaring pada permukaan karpet yang tebal, matanya menatap tanpa kedip ke arah langit-langit rumahnya. Di atas tubuhnya, ia memeluk sebuah pedang kayu kuno milik Wei Ying, Suibian.

Pedang itu masih terkunci rapat, menyegel dirinya sendiri setelah kematian tuannya, dan hingga sekarang segel itu belum terpatahkan.

Lan Wangji menghela nafas berat, jujur saja, ia rindu.

Teramat sangat rindu.

Namun, terlalu tiba-tiba, raganya seakan kaku tidak dapat menerima kenyataan.

Ia bahagia, namun pada saat yang sama, ia terluka.

Bayangan dirinya yang tidak mampu menyelamatkan Wei Ying dan membiarkannya mati telah menjadi mimpi buruknya selama ini.

Seperti kata leluhur, inilah hukuman untuknya.

.....

Sejak kejadian di restoran, Lan Wangji mengurung dirinya selama sebulan, mencoba mengendalikan diri.

Meski dari hati, ia hanya ingin memeluk tubuh itu lagi.

Diam-diam ia berdoa agar hukuman itu berakhir, atau setidaknya berkurang sedikit.

Karena bertemu Wei Ying di masa sekarang itu sudah teramat sangat langka, ia tidak ingin kehilangan lagi.

Lan Wangji akhirnya memantapkan diri, mempersiapkan hati atas banyak kemungkinan, meski tidak menutup diri dari patah hati.

Apapun untuk Wei Ying.

Menerima kehidupan kekal pun ia jalani dengan suka rela.

Meski penyesalannya hanya satu, tidak ada di sampingnya saat kematian merengut nyawanya.

.....

.....

.....

Sirna (MDZS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang