Jeffrey meletakkan gitarnya di sofa milik Jay, menatap sekeliling apartemen mewah milik pria itu.
"Lo udah makan? Gue akan pesan makanan." Jay mengambil duduk di depan Jeffrey.
Jeffrey hanya diam. "Gue mau ke panti besok pagi."
Jay menoleh ke arahnya, lalu mengangguk. "Oke, kebetulan gue juga ada urusan di sana besok. Setelah pergi ke showroom dan ngeliat perumahan, kita bakalan ke panti."
"Apa mereka masih ada di sana?"
Jay terdiam ketika tahu yang dibicarakan oleh Jeffrey adalah teman-teman mereka sewaktu di panti.
Jay menghela napasnya. "Setelah Lo kabur waktu itu, anak-anak juga mengikuti jejak Lo. Sebagian dari kita berhasil kabur, tapi sebagiannya lagi tertangkap dan dihukum. Selama bertahun-tahun gue udah berusaha mencari mereka semua, tapi satu-satunya yang gue temui hanyalah Lo."
Jeffrey mengangguk mengerti, ia menatap pada langit-langit apartemen. Tidak ada yang tahu bagaimana masa lalu juga masa depan berjalan.
"Mungkin mereka berakhir di pasar organ," gumam Jeffrey yang membuat Jay mengernyit.
"Hah?"
Jeffrey terkekeh lalu menggeleng. Lalu keduanya kembali terdiam. Jeffrey kembali memikirkan ucapannya tadi. Ya, mungkin saja anak-anak yang kabur dari panti itu diculik dan dijual ke pasar organ.
Bertahun-tahun hidup di dunia yang gelap, Jeffrey paham betul bagaimana alur kehidupan dari anak-anak seperti itu. Karena Jeffrey juga sudah pernah melewati semuanya, ketika Brian menemukannya untuk yang kedua kali, dan itulah jalan hidup yang dipilih oleh Jeffrey.
Pembunuh atau dibunuh.
Dan Jeffrey memilih opsi pertama.
★★★
Jeffrey menatap sebuah rumah di depannya, sebuah plang bertuliskan Panti Asuhan berdiri di sana.
Ia menghela napas lirih, di sini lah ia dulu tinggal. Tumbuh dan dibesarkan, meskipun ia besar dengan kekerasan.
Sebenarnya Jeffrey tidak pernah tahu secara lengkap bagaimana dirinya bisa berada di rumah panti ini. Dari cerita yang ia dengar dari Ibu panti, box bayinya ditemukan ketika subuh oleh beberapa warga yang selesai dari masjid di depan pagar panti.
Di box itu hanya tertulis namanya, Jeffrey. Sebenarnya Jeffrey pun juga tidak terlalu memusingkan tentang asal usulnya, siapa orang tuanya, kenapa ia dibuang, Jeffrey sama sekali tidak ingin tahu hal tersebut. Ia tumbuh menjadi seorang yang tidak peduli dengan sekitar, karena hidupnya telah berat, ia tidak akan memperberatnya dengan mempedulikan orang lain.
"Gimana? Gak ada yang berubah kan?" Jay yang datang dari belakang setelah memarkirkan mobilnya merangkul Jeffrey.
Jeffrey kembali menatap sekeliling. Memang tidak ada yang berubah, bahkan cat rumah yang dahulunya putih sekarang sudah menguning kecoklatan saking tidak ada yang berubah dari tempat ini.
Jeffrey hanya mengangguk seadanya, ia mengabaikan Jay dan berjalan masuk ke dalam panti. Di sana mereka bertemu dengan seorang wanita tua yang menyambut mereka.
Oh, Jeffrey mengenal wanita ini. Wanita yang dengan tega mengibaskan rotan bahkan kayu ke punggungnya ketika ia berbuat nakal dan pulang terlambat, atau bahkan tidak menghabiskan jualan.
Ya, itu ibu Panti. Jeffrey masih ingat dengan kerutan di keningnya itu yang sering sekali mengerut marah ketika ketenangannya terganggu. Meskipun beberapa rambutnya telah memutih, tatapan tajam wanita itu masih sama.
Wanita itu menatap bingung ke arah Jeffrey yang menatapnya tajam.
"Kamu ada dendam sama saya sampai keluar matanya melototin saya?!" marahnya.
Jeffrey berdecak, mengalihkan pandangannya dari wanita tua itu.
Jay yang melihatnya pun hanya tertawa sumbang. "Hmm Bu, ini Jeffrey kalo ibu lupa."
Mendengar itu Sang ibu panti langsung memperhatikan serius wajah dari Jeffrey. Wajahnya terpatri sombong, Jeffrey sangat ingat aura congkak itu.
"Oo Jeffrey, anak yang dulu sering maling uang saya." Ibu panti ber-oh ria. "Udah jadi apa kamu setelah kabur dari panti saya?" tanyanya.
Jeffrey hanya diam, tidak ingin menanggapi ucapan wanita tua itu. Menatap ke arah Jay. "Gue mau jalan-jalan di sini sebentar, Lo selesaikan aja pekerjaan Lo sama dia."
Mendengar Jeffrey terkesan tidak menghargainya, Ibu Panti sontak saja marah. "Kurang ajar sekali kamu, siapa kamu berani mengabaikan saya? Kalau bukan karena saya, jangan harap kamu bisa berdiri sini, mungkin kamu sudah membusuk di tempat sampah!"
Jeffrey menghela napas mencoba meredam amarah. Ia mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya, sebuah amplop coklat tebal yang diyakini berisi uang.
"Segini cukup untuk membalas apa yang telah anda berikan kepada saya selama ini? Makan satu piring untuk tujuh orang juga cambukan, pukulan, guyuran, tamparan yang anda berikan kepada saya. Apa itu cukup untuk membalas semuanya?" Jeffrey mengangkat sebelah alisnya.
Jeffrey memutar bola matanya dan segera berlalu dari sana tanpa ingin tahu lebih tentang reaksi yang diberikan oleh wanita tua itu.
"Anak itu kurang ajar sekali!"
Jay yang melihatnya hanya meringis. "Hmm Bu, jangan hiraukan Jeffrey. Lebih baik kita membahas apa yang kemarin ibu minta."
★★★
Jeffrey berjalan di sekitar panti. Banyak anak-anak di sini, melihat kedatangan pria dewasa tak dikenal, mereka langsung saja mengerubungi Jeffrey.
Seorang bocah laki-laki yang kira-kira berusia lima tahun mendekat ke arahnya, Jeffrey mengangkat sebelah alis ketika melihat bocah itu berjalan dengan pincang.
"Kakak siapa?" tanyanya dengan ekspresi penuh penasaran.
Jeffrey diam, tidak menjawab. Ia masih fokus pada kaki anak itu yang terlihat memar, seperti habis terjatuh. Apa wanita tua itu melakukan sesuatu kepada bocah malang ini?
"Kenapa Kakak diam?" tanyanya lagi.
Jeffrey menghela napas muak, ia ingin pergi dari sana sebelum sebuah suara menghentikannya.
"Jeff?"
Jeffrey menoleh ke belakang, menatap seorang wanita dengan kursi roda yang menghampirinya. Jeffrey seperti mengingat wajah ini, tapi dimana.
"Dia Mei, yang dulu sering bantuin kita curi uangnya Ibu panti." Jeffrey menoleh ke arah Jay yang baru saja menghampirinya.
"Mei?"
Jeffrey mengernyit bingung, ia menatap wanita di atas kursi roda itu. "Mei?"
Mei hanya mengangguk sembari tersenyum tulus. "Udah lama ya." Lalu menatap ke arah anak-anak panti yang masih menatap mereka penasaran.
"Anak-anak, ini Kak Jeff. Dia dulu juga bagian dari panti ini, ayo semuanya bilang halo sama Kak Jeff dulu," ujar wanita bernama Mei itu.
Anak-anak panti tersebut tersenyum menatap sosok Jeffrey, mereka semua berkumpul dan mengucapkan selamat datang kepada Jeffrey.
"Halo Kak Jeff!"
Jeffrey diam tak menanggapi sebelum lengannya disikut oleh Mei.
"Emm h-halo."
KAMU SEDANG MEMBACA
CRIMINAL
Teen Fiction"Pal, Jeff, Dis, ambil senjata kalian." Di jalanan hanya ada istilah, yang kuat yang akan bertahan. CRIMINAL; Persahabatan Seharga Nyawa Cerita dewasa bukan tentang 1821, jika kalian mencari itu, kalian salah lapak. Ditulis 4 Des 2022 Dipublikasika...