Jeffrey, Jay dengan Jino di genggamannya berjalan memasuki kantor polisi tersebut. Jeffrey menatap sekeliling, banyak petugas yang berlalu lalang dengan pekerjaan mereka masing-masing. Dalam hatinya Jeffrey berpikir apakah ia bisa menemukan Chandra di sini? Kira-kira di mana mereka mengurung Chandra? Dan bagaimana keadaan pria itu sekarang?
Terlalu banyak berpikir membuat Jeffrey lengah dan tidak sengaja menabrak salah seorang petugas hingga berkas-berkas yang dipegangnya berserakan di lantai.
"Hei, kamu bisa jalan dengan baik gak?!"
Semua orang di sana terdiam, menghentikan kegiatannya demi melihat perseteruan yang terjadi.
Jeffrey menghela napas berat, ingin marah karena beraninya polisi ini menatapnya tajam, tapi bagaimanapun ia yang salah di sini.
"Maaf, saya melamun." Setelahnya Jeffrey ingin pergi dari sana sebelum ia didorong dengan kasar oleh polisi itu.
"Hei, kamu tahu sedang berada di mana sekarang? Turunkan kepalamu anak muda, minta maaf dengan benar dan pilih kertas-kertas yang kamu jatuhkan itu!" titahnya.
Jeffrey memejamkan matanya menahan amarah. "Kalau saya tidak ingin minta maaf? Kalian akan mengancam saya dengan senjata-senjata itu?" Jeffrey menaikkan sebelah alisnya.
"Berani sekali kamu bicara seperti itu! Cepat minta maaf selagi saya berbaik hati." Polisi itu semakin menatapnya tajam.
Jay yang melihat Jeffrey kehilangan kendali atas dirinya mendekat. "Jeff, lebih baik Lo minta maaf—"
"Gue udah minta maaf Jay, dan gue yakin semua orang di sini dengar. Tapi untuk milih kertas-kertas itu, gak. Itu berserakan karena tangan dia, kenapa jadi gue yang mungutnya?"
Jeffrey kembali memusatkan perhatiannya kepada Polisi itu, mendorongnya kesal dan segera pergi dari sana sebelum rahangnya ditinju oleh polisi tersebut.
Semua orang di sana semakin terdiam, Jeffrey mengusap pelan rahangnya yang baru saja mendapatkan tinjuan. Dengan sekali serangan, ia membalaskan tinjuan di rahang polisi itu. Kondisi semakin tidak kondusif, Jeffrey dan sang polisi terlibat perkelahian.
Beberapa orang mendekat mencoba melerai tapi keduanya sama sekali tidak berhenti. Hingga akhirnya seseorang datang dengan wajah marahnya.
"APA-APAAN INI?!"
Mendengar suara itu, sang polisi langsung menjauh dari Jeffrey dan menunduk menghadap pria yang baru saja datang itu.
"Pak Tawan, menghadap ke ruangan Nona Krissaya. Anda terlalu sering berkelahi dengan orang lain, kali ini saya tidak akan mentolerir apa yang anda lakukan lagi."
Mutlak, perintah pria itu segera dilakukan oleh polisi yang diketahui bernama Tawan itu.
Setelahnya, pria yang tak lain adalah Arvano itu menatap Jeffrey tajam. "Baru pertama kali saya melihat orang awam berani memukul polisi, seharusnya Anda tahu posisi di mana Anda berada sekarang."
"Dan saya tidak akan bertindak seperti itu kalau bukan pria itu yang memulainya terlebih dahulu. Pak inspektur, anda harus lebih memperhatikan anak buah anda." Jeffrey membalas tatapan tajam Arvano.
Arvano mengernyit, entah apa yang tengah ia pikirkan hingga berdehem singkat.
"Ada perlu apa anda ke sini?"
Sebelum Jeffrey menjawab, sekretaris Arvano segera mendekat ke arahnya. "Ini Tuan Jay dan Tuan Jeffrey yang saya ceritakan kemarin Pak."
Arvano menatap pada Jeffrey dan Jay, termasuk seorang anak yang berada di gendongan Jay. Berdehem sebentar sebelum mempersilahkan ketiganya memasuki ruangannya.
"Tapi Pak, kasus ini bukannya ditujukan kepada Pak Ichira—"
"Alihkan, saya sendiri yang akan menangani kasus ini." Arvano memotong ucapan sang asisten.
★★★
"Jino jualan kue, Pak Polisi. Kue-nya enak, Pak Polisi mau? Pak Polisi datang aja ke panti."
Arvano tersenyum dan mengangguk. "Iya, nanti Pak Polisi akan datang ke panti."
Sudah puluhan menit ia menanyakan tentang keseharian bocah laki-laki ini, dan sudah panjang lebar pula yang diceritakan olehnya.
Arvano baru mengingat tentang Jay yang merupakan anak angkat dari salah satu orang berpengaruh di negara dan segera menangani kasus tentang panti asuhan itu. Bisa Arvano simpulkan bahwa Jay adalah orang yang sangat bodoh karena tidak melaporkan hal ini sejak lama padahal ayahnya mempunyai pengaruh dan tentunya uang.
Alasannya adalah pemilik panti itu juga mempunyai koneksi dengan polisi. Akibat hal ini, pekerjaan Arvano jadi bertambah untuk mengusut tentang anggota kepolisian yang membantu panti asuhan itu untuk menutupi perbuatannya.
"Jino, boleh Pak Polisi bertanya sesuatu?"
"Tanya apa? Jino belum belajar, Pak Polisi."
Arvano tersenyum mendengar jawaban yang diberikan oleh Jino.
"Gak, ini pertanyaan yang sangat mudah. Kalau kue yang Jino jual gak laku, biasanya ibu panti bakal ngelakuin apa?" tanya Arvano hati-hati.
Bocah kecil itu terdiam, menjadi bungkam setelah pertanyaan yang diajukan oleh Arvano tadi.
"Jino?" Jay menatap bocah itu khawatir.
"Kak Jay, Jino gak bisa kasih tahu. Nanti Ibu panti marah," lirihnya membuat hati orang dewasa di sana ikut merasa iba.
"Gak akan Jino, Ibu panti gak akan tau. Di sini gak ada ibu panti," ujar Jay yang kembali diberikan gelengan oleh Jino.
"Kalau ibu panti tau Jino bakalan dipukul Kak Jay, Jino gak mau dipukul lagi. Kaki Jino belum sembuh, nanti tambah sakit," ujarnya.
Hati Arvano mencelos mendengarnya, anak sekecil ini, dia tidak pantas diperlakukan seperti binatang. Mereka berhak mendapatkan kebebasan.
Jeffrey terdiam, ia memikirkan banyak hal di dalam kepalanya. Menoleh pada polisi di depannya yang sepertinya tidak berhenti menatapnya sedari tadi, Jeffrey tetap tidak menampilkan ekspresi apapun meskipun ia sangat penasaran ada apa dengan polisi ini.
"Pak, bukankan dengan ucapan Jino tadi telah menjelaskan semuanya apa yang telah didapat oleh anak-anak panti selama ini? Bukan hanya Jino dan teman-temannya, saya dan Jeff juga pernah menjadi korban dari kekejaman pemilik panti tersebut." Jay tiba-tiba saja berbicara memecah keheningan.
Arvano mengernyit. "Saudara Jay dan Jeff juga adalah ..."
Jay mengangguk. "Ya Pak, saya adalah penghuni panti itu dahulu sebelum saya diadopsi. Sedangkan Jeff, dia memilih kabur dari panti karena tidak tahan dengan sikap ibu panti, Jeff baru saja kembali."
Entah hanya perasannya saja atau bagaimana, tapi setelah Jay selesai mengatakan kalimatnya, terlihat senyuman tipis yang tertera di wajah polisi bersama Arvano itu. Hingga membuat Jeff berpikir apakah Arvano tahu siapa dirinya yang sebenarnya?
Huh, tidak mungkin.
Ya, tidak mungkin Arvano tahu siapa Jeff karena Chandra tidak pernah buka mulut tentang mereka.
Itu kesepakatannya. Jika suatu saat salah seorang di antara mereka berhasil tertangkap, mereka akan menutup rapat mulut mereka dan menunggu yang lain menyelamatkan.
Jeffrey tersentak ketika tiba-tiba saja kepala polisi itu berdiri.
"Saya akan melihat keadaan panti itu sekarang."
Ketika Arvano ingin melangkah, Jeffrey menyentak lengannya.
Keduanya sama-sama mengangkat sebelah alisnya, Jeffrey menyunggingkan senyuman tipis.
"Anda tidak bisa ke sana dengan seragam seperti itu, Pak. Para penjilat tahu cara menjilat sepatu tuannya dengan baik."
★★★
Mulai hari ini, Criminal up setiap hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
CRIMINAL
Teen Fiction"Pal, Jeff, Dis, ambil senjata kalian." Di jalanan hanya ada istilah, yang kuat yang akan bertahan. CRIMINAL; Persahabatan Seharga Nyawa Cerita dewasa bukan tentang 1821, jika kalian mencari itu, kalian salah lapak. Ditulis 4 Des 2022 Dipublikasika...