Jeffrey berlarian di koridor rumah sakit, napasnya memburu dan bibirnya selalu menggumamkan kata 'jangan.'
Beberapa hari ini Jeffrey meninggalkan Jino bersama Jay di rumah sakit karena mengurusi dua urusan yang bahkan bisa membuat kepalanya pecah. Bahkan sangat jelas kantung mata di sana menandakan bahwa Jeffrey kurang tidur selama beberapa hari ini.
Jeffrey sampai di ruangan Jino, melihat Jay di depan sana tengah menatapnya sendu. Detak jantung Jeffrey berdetak sangat cepat, rasanya aneh, sakit dan tidak nyaman.
"Jeff, Jino ... Jino ... dia pergi."
Jay mengeluarkan seluruh tangisnya di sana, jelas sekali bahwa lelaki itu sangat terpukul dengan berita ini.
Jeffrey terdiam di tempatnya, sama sekali tidak bergerak, bahkan hampir tidak bernapas. Entah kenapa pikirannya kosong tiba-tiba, mencoba mencerna apa yang baru saja dikatakan oleh Jay, tapi ia tidak bisa memahami maksud kata pergi itu.
"Jeff, Jino udah meninggal Jeff. Dia menyerah!" Jay berujar lagi, kali ini dengan sedikit teriakan.
Akhirnya setelah kata meninggal, Jeffrey jatuh terduduk.
"J-Jino menyerah?" gumamnya.
Menyerah.
Bocah malang itu menyerah.
Jeffrey bangkit dari duduknya, berjalan perlahan ke arah ruangan di depannya. Jika diingat-ingat, ia belum pernah menginjakkan kakinya ke ruangan tempat Jino dirawat selama ini. Jeffrey terlalu sibuk dengan urusannya, bahkan tidak sempat melihat bocah itu di saat-saat terakhir hidupnya.
"Kak Jeff kan? Mau beli kue? Tapi kue-nya dimakan sama anak-anak itu, cuma ini yang tersisa."
"Cengeng."
"Jino gak cengeng!"
Jeffrey menatap tubuh kecil yang terbaring kaku di atas ranjang itu, matanya tertutup damai seperti tengah tertidur. Menyentuh tangan dingin itu, setetes air mata meluruh dari manik tajam Jeffrey.
"Emangnya Jino boleh punya cita-cita?"
"Emangnya siapa yang bilang kalo kamu gak boleh punya cita-cita?"
"Kata temen-temen, Jino bakal mati muda, dan gak bakal bisa gapai cita-cita,"
"M-mati?"
Perlahan, tetes demi tetes air mata berlomba-lomba keluar dari manik kelam itu. Ia belum pernah menangis selama beberapa tahun ini, bahkan ia lupa bagaimana rasanya menangis. Tapi kali ini, air mata Jeffrey keluar mengiringi kepergian Jino.
Benar, Jeffrey memang menganggap bahwa Jino sebagai dirinya sendiri. Seperti Jeffrey yang gagal, ia ingin Jino berhasil.
"Kata Ibu panti, Jino itu penyakitan. Tapi Jino gak tau apa penyakit Jino, jadi Jino selalu berbuat baik jika nanti pas Allah manggil Jino, Jino bakalan masuk surga dan ketemu sama orang tua Jino lagi."
"Jino—"
"Tapi Kak Jeff, kalo boleh Jino punya cita-cita, Jino pengen banget jadi Dokter. Kak Jeff, Jino bisa kan jadi dokter?"
Tapi pada akhirnya, Jeffrey tetaplah pria yang gagal.
Jeffrey terkekeh, ia menatap jasad Jino dengan pandangan kosong, wajahnya datar.
"Meskipun kamu gak bisa jadi dokter, paling tidak saya yakin Jino, kamu sudah bahagia bersama orang tua kamu di surga." Jeffrey menunduk, ia mengusap rambut Jino dengan raut yang sama sekali tidak terbaca.
Hanya keyakinan dari seorang pria yang penuh dengan dosa, Jeffrey tidak berharap lebih pada kehidupan akhirat, apalagi mendo'akan Jino.
"Jino, dunia tidak pernah baik pada kita. Setidaknya, kamu telah tersenyum," bisiknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
CRIMINAL
Teen Fiction"Pal, Jeff, Dis, ambil senjata kalian." Di jalanan hanya ada istilah, yang kuat yang akan bertahan. CRIMINAL; Persahabatan Seharga Nyawa Cerita dewasa bukan tentang 1821, jika kalian mencari itu, kalian salah lapak. Ditulis 4 Des 2022 Dipublikasika...