Ketiganya sekarang tengah duduk di sebuah bangku kayu yang terletak di depan panti, sembari menatap anak-anak yang bermain dengan gembira. Jeffrey hanya menatap mereka sendu, karena ia tahu setiap dari anak-anak itu pasti mempunyai luka yang mereka sembunyikan di balik wajah ceria itu.
Jeffrey mengalihkan pandangannya kepada wanita di sampingnya, menatap Mei dengan penasaran.
"Mei ... kenapa ...?"
"Tentang kursi roda ini?" Mei hanya tersenyum lirih setelah menerima anggukan dari Jeffrey.
"Setelah kamu kabur dari panti, banyak anak yang ingin kabur juga, termasuk aku. Tapi, ternyata ketahuan dan dikejar sama Ibu panti. Aku lari, dan ditabrak mobil. Kejadiannya sangat cepat sampai aku divonis lumpuh dan gak bisa berjalan lagi." Mei menjelaskan dengan nada sendu.
Jeffrey terdiam mendengar penjelasan Mei.
Mei, dia adalah seorang teman yang sering menolongnya ketika ia tengah berada dalam kesulitan. Ketika menjualkan jananan Ibu panti, mereka selalu bersama. Ketika Jeffrey dan Jay mencuri uang wanita tua itu, Mei selalu membantu mereka mengalihkan perhatian Ibu panti.
Mei, dia adalah anak yang ceria dan penuh dengan cerita setiap harinya. Jeffrey ingat ketika pertama kali gadis kecil itu datang ke panti setelah kedua orang tuanya meninggal dalam kebakaran. Gadis itu murung, tapi anak-anak panti berhasil menghiburnya.
Jeffrey tidak pernah membayangkan bahwa Mei, gadis kecil paling cerita yang ia kenal dahulunya sekarang berubah menjadi gadis lumpuh dengan kursi roda.
Sebuah tangan menggenggam tangannya membuat Jeffrey mendongak. Mei tersenyum kepadanya. "Jangan terlalu dipikirkan Jeff, aku sudah berdamai dengan keadaan."
Jeffrey mengangguk. Ya, berdamai. Berdamai dengan takdirmu sendiri adalah hal yang paling berat sekaligus paling tulus yang ia tahu, Brian banyak mengajarkannya arti sebuah hidup. Dan tentang berdamai dengan keadaan, Jeffrey sendiri telah melakukannya.
Jeffrey menatap anak-anak panti yang berlarian ke sana ke mari, dan sebuah pertanyaan muncul di benaknya.
"Apa ibu panti masih melakukan kekerasan kepada mereka?" tanya Jeffrey.
Mendengar pertanyaan itu, Jay dan Mei terdiam tidak menjawab. Yang membuat Jeffrey mengerti bahwa wanita tua itu sama sekali tidak pernah berubah.
Ia menghela napas kasar.
"Apa kalian sama sekali tidak mempunyai pikiran untuk melaporkan hal ini ke kepolisian?" Jeffrey menatap kesal dua orang itu.
"Kami bisa apa Jeff? Kami terlalu takut buat ngelawan ibu panti, dia juga punya koneksi," ujar Jay.
"Mungkin Lo lupa kalau Lo udah jadi orang kaya sekarang, Jay." Jeffrey menatap Jay tidak percaya.
"Apa kalian sama sekali gak kasihan sama anak-anak yang diperlakukan tidak bermoral setiap hari? Kalian pernah merasakannya kan? Pernah gak makan selama sehari, dipukul, bahkan luka kalian gak diberi obat sama Ibu panti. Mereka punya masa depan, Jay, Mei, kita gak bisa kubur masa depan mereka begitu saja.
Kalian ingin mereka kabur layaknya apa yang gue lakukan di masa lalu? Berapa orang yang gak kembali? Dunia luar itu keras, mungkin mereka akan berakhir diculik dan diperdagangkan atau bahkan lumpuh kayak Lo, Mei!"
Mungkin itu adalah kalimat terpanjang yang pernah diucapkan oleh Jeffrey, tapi melihat bagaimana dirinya di masa lalu, dan melihat bagaimana para anak-anak yang bermain dengan bahagia mengabaikan luka mereka, itu benar-benar membuat Jeffrey merasa Deja vu dan menyakiti hatinya.
Jeffrey pernah merasakan hal seperti itu, Jeffrey telah melewatinya dan itu tidak mudah. Jeffrey tidak ingin anak-anak itu kehilangan masa depan seperti dirinya dan berakhir menjadi anggota geng Criminal yang bahkan tidak segan-segan membunuh.
★★★
Jeffrey menghentikan motornya di tepi jalan ketika melihat seorang anak yang duduk sembari diganggu oleh anak lainnya di sana.
Jeffrey menghampirinya karena merasa tidak asing dengan wajah itu. Dan ya, itu adalah bocah laki-laki yang menyapanya di panti kemarin. Ia diganggu oleh anak-anak yang sepertinya anak orang kaya melihat dari penampilannya.
Mereka juga memakan dagangan bocah malang itu dan ketika melihat Jeffrey menghampiri mereka, anak-anak itu langsung saja lari meninggalkan bocah laki-laki yang tengah menangis.
Jeffrey menatap anak itu datar, tidak tahu harus berbuat bagaimana. Seakan merasa Deja vu, ia juga pernah mengalami hal seperti ini dahulunya. Tapi bedanya, Jeffrey melawan anak-anak yang mengganggunya itu hingga orang tua mereka mendatangi Ibu panti dan berakhir dengan dirinya lah yang dihukum oleh wanita itu.
Jeffrey ingin pergi, tapi bocah itu lebih dahulu mengetahui keberadaannya.
"Kak Jeff kan? Mau beli kue? Tapi kue-nya dimakan sama anak-anak itu, cuma ini yang tersisa." Bocah itu berdiri, memberikan sebuah kue yang sepertinya telah hancur karena digenggam terlalu erat, tersenyum ke arah Jeffrey meskipun dengan air mata yang masih menetes.
Jeffrey menghela napas. "Cengeng."
"Mana ada Jino cengeng?" sanggahnya membuat Jeffrey ingin tertawa dibuatnya.
Tapi Jeffrey urungkan ketika melihat anak kecil yang memanggilnya sebagai Jino itu menangis kembali.
"Kue-nya hancur, habis dimakan, Jino pasti dihukum sama Ibu panti," lirihnya menatap kue hancur yang berada di genggamannya.
Jeffrey menghela napas membuatnya. Anak ini sangat cengeng.
"Cengeng," ujar Jeffery lagi yang kali ini mendapatkan delikan dari Jino.
"Jino gak cengeng!" kesalnya.
Jeffrey benar-benar kesal dibuatnya. "Ya itu kamu cengeng, jadi cowok kok cengeng. Cita-cita kamu mau jadi apa sih?"
Jino menatap Jeffrey bingung ketika pria itu menanyakan tentang cita-cita kepadanya.
"Emangnya Jino boleh punya cita-cita?" tanyanya polos.
Hati Jeffrey mencelos dibuatnya. "Emangnya siapa yang bilang kalo kamu gak boleh punya cita-cita?"
"Kata temen-temen, Jino bakal mati muda, dan gak bakal bisa gapai cita-cita," ujarnya lagi yang kali ini berhasil membuat Jeffrey benar-benar terdiam.
"M-mati?"
Jino mengangguk. "Kata Ibu panti, Jino itu penyakitan. Tapi Jino gak tau apa penyakit Jino, jadi Jino selalu berbuat baik jika nanti pas Allah manggil Jino, Jino bakalan masuk surga dan ketemu sama orang tua Jino lagi."
"Jino—"
"Tapi Kak Jeff, kalo boleh Jino punya cita-cita, Jino pengen banget jadi Dokter." Jino menatap pada Jeffrey penuh harap. "Kak Jeff, Jino bisa kan jadi dokter?"
Melihat tatapan polos penuh harapan itu, Jeffrey benar-benar kehilangan kendali atas dirinya. Ia sama sekali tidak tahu penyakit apa yang tengah dilawan oleh bocah kecil bertubuh kurus ini, tapi Jeffrey benar-benar bisa merasakan hati Jino. Dan dengan segera, Jeffrey memeluk tubuh kecilnya erat.
KAMU SEDANG MEMBACA
CRIMINAL
Teen Fiction"Pal, Jeff, Dis, ambil senjata kalian." Di jalanan hanya ada istilah, yang kuat yang akan bertahan. CRIMINAL; Persahabatan Seharga Nyawa Cerita dewasa bukan tentang 1821, jika kalian mencari itu, kalian salah lapak. Ditulis 4 Des 2022 Dipublikasika...