4. You Go, Girl!

2.6K 394 27
                                    

Selang satu jam selepas kepergian Haidan, pintu kamar inap Sekar kembali terbuka. Dia kira itu Wilona atau Geby-Sekar meminta sang sahabat datang-ternyata justru sosok yang tidak Sekar harapkan kehadirannya. Sekar menghela napas samar sebelum menyuapkan sesendok bubur pemberian Haidan, kemudian melengos, enggan berlama-lama menatap wajah jutek Renata. Ditelisik dari ekspresi, sang ibu tiri tampak sedang dongkol, dan Sekar berharap dinding melumat eksistensi wanita itu detik ini juga. Tolonglah, Sekar tidak punya energi untuk berdebat sekarang. Demi Tuhan, ia lemas sebadan-badan.

"Kamu kalau sakit telepon orang rumah, dong." Suara Renata pelan, tetapi penuh penekanan. Matanya menatap tajam. "Jangan repotin Haidan. Jangan ambil kesempatan deketin pacar orang. Kamu kan-"

"Ma." Sekar menyela sambil mengembuskan napas lelah.

Renata memicing. "Jangan-jangan ini cuma akal-akalan kamu biar bisa deket-deket sama Haidan ya, Sekar?" Lantas tawa mengejeknya mengudara. "Sengaja kamu berlagak sakit di depan dia, hah? Jangan mimpi ketinggian kamu. Haidan itu anak baik-baik, enggak bakal mau sama kamu."

Sekar bergeming, mati-matian menulikan telinga selagi tangannya bergerak menyuapkan sesendok demi sesendok makanannya. Semula, rasa bubur di pangkuannya terasa tak buruk-buruk amat, tetapi kata-kata Renata seakan menjelma bubuk cabai yang ditumpahkan ke dalam bubur tersebut, seketika menghancurkan citarasanya. Perut Sekar perih lagi.

Sudut bibir Renata berkedut sinis. Sorot meremehkan tak pernah luntur dari matanya di setiap kesempatan menatap Sekar. Perempuan itu mendudukkan diri, lantas bersedekap.

"Jangan cari gara-gara sama saya, Sekar. Kamu gak akan suka perhitungan macam apa yang bisa saya kasih ke kamu kalau berani ganggu kebahagiaan anak saya."

"Ganggu gimana sih, Ma?"

"Kamu," balasnya, "deketin Haidan."

Mendengar tudingan tersebut, Sekar serasa mau tertawa keras. Mendekati Haidan? Untuk apa? Sekar punya seorang Jevian yang lebih oke ke mana-mana. Soal harta, Jevian mungkin tidak sekaya keluarga Diwangga yang katanya punya banyak bisnis itu, tetapi Jevian masihlah juara di mata Sekar. Renata terlalu curiga, dikiranya semua wanita mata duitan sepertinya. Kasihan, hidup dengan cara seperti itu pasti tidak pernah tenang. Setiap saat mengkhawatirkan kekayaan. Sekar harap dirinya tak akan menua dengan cara demikian.

"Ma, aku gak pernah ada niatan deketin Haidan. Secuil pun enggak." Sekar menoleh, menyambut tatapan tak ramah Renata. "Tadi pagi cuma kebetulan. Aku gak keburu telepon orang rumah karena udah gak kuat."

"Alesan," cibir Renata.

"Terserah." Sekar harusnya tahu bahwa menjelaskan kebenaran pada Renata hanyalah perbuatan sia-sia. Sungguh buang-buang energi saja.

"Keluarga Haidan itu terpandang, bisa tercoreng kalau besanan sama mama kamu yang tukang selingkuh itu." Ya, Renata belum selesai meluapkan kekesalannya meskipun ekspresi wajah Sekar telah secara gamblang memberitahu bahwa ia tak mau melanjutkan perbincangan ini.

Gerakan tangan Sekar otomatis terhenti tepat di detik Renata menyinggung kelakuan mamanya.

"Bisa diem gak, Ma?" Raut wajah Sekar tak lagi sesantai sebelumnya. Sekar akui ia tidak baik, tetapi ia tak suka sang mama dikata-katai meski pada kenyataannya memang demikian. Perempuan itu membenci mamanya, hanya saja ia tak akan melupakan segala kebaikan Mama Jasmin. Sebab seburuk apa pun kelakuannya, beliau tetap ibu Sekar. "Jangan bawa-bawa Ibu, dia gak ada sangkut pautnya sama kecurigaan Mama. Dan sekali lagi aku bilang, aku gak ada sedikit pun niat rebut Haidan dari Wilona. Lagian Mama kenapa secemas itu? Mama gak percaya diri kalau anak Mama bisa bikin Haidan bertahan di sisinya? Takut Wilona kalah saing dari aku?"

[✓] Love Me OnlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang