JANGAN JADI SILENT READER!
***
Jika Sekar punya Geby sebagai rumah, maka Haidan memiliki Renjana selaku tempat mengadu. Kepada sang kakak, lelaki itu membagikan semua cerita. Setiap dijegal masalah, Haidan pasti lari pada Renjana, kadang sekadar ingin berkeluh kesah, tetapi di banyak kesempatan meminta pendapatnya.
Seperti malam ini, Haidan duduk termenung di balkon apartemen Renjana. Asap mengepul dari batang rokok yang berada dalam jepitan jarinya. Di kursi sebelah, tersekat sebuah meja kecil, Renjana bergeming. Ia terpekur panjang seusai mendengar cerita perihal Sekar yang menikahi Haidan untuk membalaskan dendam.
Renjana menghela napas, lantas menoleh hanya untuk mendapati wajah muram sang adik. "Terus lo percaya sama pengakuannya, Dan?"
Haidan menoleh, menunjukkan kekosongan di matanya. "Bingung." Lantas terkekeh hambar. "Dia bikin gue bingung setengah mati, Mas. Gue ngerasa perasaan gue berbalas, tapi mungkin apa yang gue rasa udah kecampur euforia, jadi gak objektif lagi penilaiannya. Gue melihat apa yang ingin gue lihat, sampai gak sadar kalau dia cuma pura-pura. Sekar sering bersikap jutek, gue anggap bercanda, padahal mungkin dia serius. Coba, gue mau denger dari sudut pandang lo."
Renjana mengalihkan pandang ke depan, manggut-manggut sambil mengusap-usap dagu. "Ini asumsi gue sebagai pihak netral, ya. Menurut gue lo enggak jatuh cinta sendirian, Dan. She loves you too. Orang yang lagi kasmaran tuh jelas banget gelagatnya, dan Sekar juga sejelas itu, kok. Dari cara dia natap lo aja udah kelihatan. Tapi, semisal dia cuma sandiwara ... wah, kelewat keren sih aktingnya."
Haidan terkekeh. "Ini bukan upaya buat bikin gue seneng kan, Mas?"
Renjana berdecak. "Enggaklah."
Menyesap sekali lagi rokoknya sebelum dibuang ke asbak, Haidan lantas mendesah panjang. Ia usap wajah, memejam, terkekeh kosong lantaran dalam pejaman mata sekali pun wajah Sekar terbayang-bayang. Renjana yang menyaksikan kekalutan sang adik ikut didera nyeri, tetapi merasa tak berdaya karena tak bisa membantu selain mendengarkan dan sedikit menasehati. Di lain sisi, Renjana tidak habis pikir iparnya sejahat itu.
"Terus ke depannya mau gimana?"
"Baiknya mending gimana, Mas?" Ingin Haidan bertahan, tetapi mari dengar dan pertimbangkan pendapat Renjana. "Gue enggak bisa mikir jernih, maunya ya terus pertahanin rumah tangga."
"Pertahanin rumah tangga?" Renjana mengernyit. "Gak waras. Sekar udah sevokal itu minta cerai, buat apa sih dipertahankan? Haidan, jangan bego. Jangan genggam sesuatu yang ingin pergi, nanti lo sama dia malah luka."
"Udah luka, Mas." Haidan membuka mata, menatap hampa langit malam yang mendung. "Sekarang pun udah."
"Lukanya jangan ditambah," balas Renjana. "Let her go. Let the pain go."
"Gue mati kalau dia pergi."
"Cocote!" tegur Renjana.
Haidan terkekeh. "Tadi lo bilang Sekar nunjukin ketertarikan ke gue, terus kenapa nyuruh gue nyerah? Kenapa gak dorong gue buat berusaha lebih keras luluhin perasaannya, Mas?"
Duh, sulit.
Renjana menghela napas berat. "Isi hati emang enggak ada yang tau, tapi kalau mulut udah bilang enggak, lo bisa apa sih, Haidan? Dia mungkin cinta, mungkin juga enggak—gak ada yang tau selain dirinya sendiri. Tapi cinta atau enggak pun gak ngaruh sama apa yang dia mau. Sekar mau apa? Cerai. Dia mau pergi dari lo."
Haidan tergugu. "Gue boleh jahat juga gak sama dia, Mas? Gue mau tahan dia di sisi gue selama mungkin, ngurung dia dalam sangkar rasa muak. Biar di akhir kami hancur bareng-bareng."
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Love Me Only
Fanfiction"Rasa cinta gue, kepercayaan dan harapan gue, semuanya udah hancur di tangan lo. Gue rasa gue enggak akan bisa memulai kisah baru dengan orang lain. Sekar, gue mau sama lo aja. Gapapa bikin sakit juga. I'll let it hurt, until it can't hurt me anymor...