JANGAN JADI SILENT READER!
***
Seminggu berlalu, tetapi Sekar tak kunjung mendapatkan kiriman surat perceraian. Ada keinginan hubungi Haidan demi menanyakan progres perpisahan mereka, hanya saja Geby selalu meyakinkannya untuk tak usah lagi mengusik kehidupan lelaki itu. Tunggu saja, sebab suatu hari pasti akan datang dokumen-dokumennya. Sekar manut, percaya bahwa Haidan bisa diandalkan. Lagipula Wilona juga sudah tidak mengganggu dirinya dan Geby. Menghilang bak ditelan bumi.
Memang teror tidak dirasakan lagi, tetapi rasa sakit menyerang Sekar dalam wujud lain. Sudah dua harian Sekar membuka sosial media hanya untuk menemukan foto-foto manis yang diunggah Haidan. Potret lelaki itu bersama Wilona, di beberapa foto bahkan Pak Diwangga membersamai mereka. Sekar nelangsa sebab sang ayah mertua terlihat begitu akrab dengan Wilona. Kalau boleh jujur soal perasaan, Sekar sungguh kecewa mendapati Haidan kelewat mudah melupakannya. Dalam seminggu Haidan dan Wilona kembali dekat.
Sekar kecewa, tetapi tentu menyadari tak sepatutnya Haidan berlama-lama mengingat dirinya yang telah secara tak tanggung-tanggung melukai lelaki itu. Maka meskipun didera nestapa setiap kali melihat wajah Haidan dan Wilona terbingkai dalam satu frame, Sekar hanya mampu tersenyum getir. Terkadang, ketika rindu kelewat keji merajam hati, bakal Sekar dekap erat sebuah kemeja milik Haidan yang sengaja ia bawa. Tidak jarang Sekar terisak tengah malam sambil menatap lekat-lekat potret wajah si tampan di layar ponsel. Sekar sudah kehabisan gaya dalam menangisi sang suami-itungan Sekar, kalau belum mengisi surat perceraian maka masih suami.
"Bitch!"
Sekar yang termenung di sisi ranjang, dengan posisi duduk menghadap ke arah jendela, sontak menoleh ke pintu. Ia temukan eksistensi Geby dalam balutan piyama berwarna abu, rambutnya dicepol asal seperti biasa. Gadis itu beredekap dada, bersandar bahunya pada kusen pintu, menatap datar Sekar. Setelah tinggal bersama, kecerewetan Geby kian menjadi-jadi. Tak sehari pun Sekar lewatkan tanpa mendengar sang sahabat mengomel, mulai dari menceramahi Sekar agar minum susu teratur, makan makanan yang mengandung banyak zat besi, melarang Sekar begadang, melarang Sekar menangis sendirian diam-diam.
"Nangis depan gue sini biar punggung lo bisa gue puk-puk." Begitu kata Geby.
"Kenapa?" tanya Sekar.
"Ada Renjana di luar," balas Geby, "bawa banyak makanan, gabung yuk?"
"Gak, ah. Takut ganggu."
"Gue tampol sini mulut lo!"
Sekar nyengir. "Enggak, deh. Gue mau tidur aja. Sana, lo pendekatan yang bener sama Mas Ren. Udah gue restui."
Geby menghela napas, berotasi bola matanya karena jengah. Ia tidak suka melihat kemurungan Sekar. Tidak suka menyaksikan Sekar beraktivitas tanpa gairah menyala di matanya. Bisa Geby pahami sang sahabat tengah bergelut dengan kesedihan, tetapi mengurung diri di kamar hanya akan membuat isi kepala semakin berantakan. "Ayo, dong. Udah mau seminggu lo kayak gini, sedih berlarut-larut, gak kasian apa sama anak lo?" Geby mengambil langkah, berhenti tepat di hadapan Sekar. Geby tarik pelan kepala Sekar, dibawa merapat ke perutnya. "Udah cukup sedih-sedihnya, Sekar. Lihat, Haidan happy-happy aja tuh di sana."
"Gue sama dia beneran gak bisa, ya?"
"Bisa."
"Jangan kasih gue harapan semu."
"Emang bisa, kok-" Geby mengelus rambut Sekar, "di mimpi lo bisa, kok." Pekikan yang disertai tawa kemudian lolos dari mulut Geby lantaran Sekar mencubit main-main pinggangnya.
Sekar mendorong Geby menjauh, bibirnya manyun-manyun sebal. Ia tatap sinis Geby yang cengengesan. Kendati unjuk ekspresi merajuk, tetapi dalam hati Sekar bersyukur memiliki Geby. Dapat Sekar lihat dan rasakan seberapa keras serta tulus usaha Geby dalam memulihkan suasana hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Love Me Only
Hayran Kurgu"Rasa cinta gue, kepercayaan dan harapan gue, semuanya udah hancur di tangan lo. Gue rasa gue enggak akan bisa memulai kisah baru dengan orang lain. Sekar, gue mau sama lo aja. Gapapa bikin sakit juga. I'll let it hurt, until it can't hurt me anymor...