Jangan jadi sider!
***
Selama ini Sekar pikir ia kesulitan mencintai lantaran hatinya mati, ternyata keliru. Bukan tak lagi bisa merasa, melainkan hanya belum bertemu dengan yang istimewa. Namun, ketika menemukannya, keadaan enggan merestui, malah mendorongnya ke jurang patah hati. Benar-benar merusak konsentrasi. Sekar sukar menata fokus, wajah Haidan terbayang-bayang terus.
Sialan.
Malam ini Sekar mengambil waktu lembur dan baru keluar kantor jam delapan. Selain tentang Haidan, sosok Jevian juga mengusik ketenangan perempuan itu. Putusnya hubungan Sekar dan Jevian menjadi perbincangan hangat. Isu sialan yang beredar adalah karena Sekar mendua, memang tidak salah-salah amat sih, tetapi kurang akurat. Menyebabkan Sekar saja yang buruk image-nya, sementara si bajingan yang memulai duluan justru terselamatkan. Namun, seburuk apa pun mulut-mulut sampah mereka menggunjingkan, Sekar tak ambil pusing. Seperti biasa akan tutup telinga, toh segala yang panas-panas bakal mendingin juga pada akhirnya.
Seraya memandangi layar ponsel untuk memesan taksi online, kaki Sekar nyaris melangkahi ambang gerbang, tetapi sebuah kendaraan yang datang dari belakang tubuh perempuan itu tiba-tiba menghadang. Sekar otomatis mengerem laju kaki dan mengangkat pandangan, ujung alisnya sudah bertaut pertanda geram. Namun, wajah kesalnya langsung berubah datar begitu mendapati eksistensi Jevian. Sekar masukan ponsel ke tas, lantas bersedekap dada selagi menunggu mantan kekasihnya melepas helm. Kendati yakin sekali sudah tak ada urusan di antara mereka, Sekar memilih tak menghindar, bersikap profesional selayaknya rekan kerja. Siapa tahu kedatangan Jevian kali ini memiliki maksud penting untuk disampaikan.
Jevian mendekat, gerak-geriknya agak canggung. "Kamu pulang sama siapa?"
"Sendiri."
Wajah lelaki itu seketika semringah. "Kalau gitu bareng aku aja, yuk?"
Sekar menurunkan tangan, menatap Jevian tanpa kata cukup lama, bikin kening lelaki itu berkerut keheranan.
"Jevi," kata Sekar, "kamu lupa kita udah gak sama-sama?" Perempuan itu kontan mengernyit karena tanyanya malah disambut tawa oleh Jevian.
Gesture tubuh Jevian sudah rileks, terlihat nyaman dan percaya diri.
"Kita cuma putus hubungan, bukan pertemanan, jadi gak masalah, 'kan?""But we're not friend. Never be."
Kekehan Jevian lolos dengan pelan. Ia melengos sebentar demi menyugar poninya. "Sekar—" Atensi lelaki itu balik mengunci wajah Sekar yang tak menunjukkan keramahan. "Jangan childish, dong. Kita rekan kerja, satu ruangan pula, aku gak mau hubungan kita canggung. Yang udah terjadi ya udah, lupain aja. Kamu sama aku, mau gak mau, harus memulai dari awal lagi sebagai teman. Jujur aja aku enggak nyaman banget kerja dengan suasana kaku kayak akhir-akhir ini. Kamu yang apa-apa biasanya diskusi dulu sama aku, sekarang tiba-tiba mutusin semuanya seenak hati. Kita satu tim, lho, Sekar. Kita harus saling dalam—"
"Emang salah," sela Sekar, "sejak awal aku salah udah nerima kamu, Jevian. Kita harusnya berhenti di status rekan kerja, enggak melewati batas itu. Sekarang, ketika keadaannya kayak gini di mana aku memang butuh jauh dari kamu untuk sementara waktu, situasi kita jadi kacau. Aku berusaha biasa aja, mati-matian bunuh ingatan tentang kita, tapi selalu ada momen di mana lihat wajah kamu bikin aku muak. Salah aku yang enggak pikirin matang-matang kalau hubungan seintim percintaan rentan berujung ketidaknyamanan. Asing yang semula tak saling ambil pusing berubah jadi asing yang saling melukai. Di sinilah kita sekarang, Jevian ... berdiri pada satu garis singgung, padahal harusnya kita enggak perlu lagi bersinggungan."
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Love Me Only
Fanfiction"Rasa cinta gue, kepercayaan dan harapan gue, semuanya udah hancur di tangan lo. Gue rasa gue enggak akan bisa memulai kisah baru dengan orang lain. Sekar, gue mau sama lo aja. Gapapa bikin sakit juga. I'll let it hurt, until it can't hurt me anymor...