JANGAN JADI SILENT READER!
***
Remuk.
Perasaan Haidan remuk redam oleh pengakuan Sekar. Tidak ia kira realita sepahit demikian yang bakal istrinya suguhkan. Namun, di atas semua sakit yang lelaki itu rasakan, satu kesadaran menghantam telak; inikah hukuman sebab telah tak setia kepada Wilona? Apakah karma singgah ke hidupnya?
Haidan merenung semalaman sambil memerangkap Sekar dalam dekapan. Tidak seperti malam-malam kemarin, pelukan di jam satu malam hingga empat pagi itu tidak menenangkan. Mata Haidan memejam, tetapi tetap terjaga diam-diam. Lantaran mana sanggup ia menyambut lelap di saat setiap denyut jantungnya terasa nyeri.
Lalu pagi ini, setelah berkali-kali menampar pipi di depan wastafel sembari menatap nelangsa refleksi wajah sendiri di cermin—wajah yang kentara habis dilukai—Haidan coba sugesti diri bahwa Sekar tidak layak disakiti. Tidak apa-apa, untuk nista yang Sekar perbuat, akan Haidan hapus pelan-pelan dari ingatan.
Haidan yang hari ini memutuskan libur kerja kini berdiri di depan pintu kamar, menatap kosong sekat kayu bercat putih tersebut. Ingin ia tarik pegangannya, tetapi keraguan tumbuh di benak. Haidan mau melihat Sekar, mau memastikan perempuan itu masih bisa tangannya jangkau. Namun, ini benar-benar tidak mudah. Haidan takut tak menemukan lagi senyum dan sorot hangat di manik mata si cantik. Takut mendapati perlakuan Sekar yang begitu dingin seperti semalam.
Sejujurnya, Haidan menyadari bahwa menahan Sekar di sisinya sama saja bunuh diri. Haidan dengan sengaja memeluk luka. Namun, mau bagaimana lagi? Haidan terlanjur mencinta, terlanjur memberikan segalanya. Lagipula melepaskan Sekar pun tak akan mampu mengobati nestapa, jadi bertahan saja, sampai ketabahannya tak bersisa. Sampai Haidan hancur, sehancur-hancurnya.
Baru saja Haidan memegang kenop pintu, sekat tersebut malah terdorong ke arahnya. Lelaki itu refleks mundur ketika sosok Sekar muncul. Sesaat, keduanya kompak menunjukkan ekspresi kaget. Sekar membuang muka, membuat senyum getir terbit di wajah si lelaki. Namun, Haidan sigap sembunyikan kekecewaan, lengkung bibirnya ditarik lebih lebar. Disapanya Sekar dalam nada selembut biasanya, "Gue anterin ya berangkat kerjanya?"
"Gue gak kerja lagi."
Sontak Haidan mengernyit. "Sejak kapan?" Jujur ia cukup terkejut.
"Kemarin."
"Terus ini rapi gini mau ke mana?"
"Bukan urusan lo."
Mencelos hebat jantung Haidan mendengarnya. Jika semalam tidak pernah ada obrolan menyakitkan, tentu balasan Sekar barusan bakal Haidan anggap sebagai candaan, sebab perempuan itu memang jutek, memang kerap menunjukkan sisi dingin. Bedanya, dulu Sekar berujar sinis dengan pendar binar hangat, tetapi sekarang sorot matanya berkebalikan. Haidan sampai harus menyeret ingatan ke hari-hari kemarin, merenungkan kembali, apakah sebelumnya kehangatan di mata Sekar yang terasa begitu nyata cuma sandiwara? Kalau iya, pandai sekali Sekar bermain peran, sampai bisa membuat Haidan merasa tulus dalam dicinta. Fuck, how stupid he is.
"Sekar—" Haidan menyugar poninya seraya menghela napas, "boleh bantu gue cukuran dulu gak?" Padahal tahu ini permintaan yang bakal ditolak mentah-mentah, tetapi Haidan tetap mau mencoba menahan kepergian perempuan itu yang entah mau ke mana, dan yang tak ia sangka adalah Sekar mengangguk dengan mudah.
"Ayo," kata Sekar, lantas berbalik ke dalam kamar. "Jangan malah bengong di situ, Haidan. Buruan, gue abis ini mau belanja bulanan," beritahunya.
Haidan mengulum senyum sebelum kakinya terayun cepat menyusul Sekar yang sudah memasuki kamar mandi.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Love Me Only
Fanfiction"Rasa cinta gue, kepercayaan dan harapan gue, semuanya udah hancur di tangan lo. Gue rasa gue enggak akan bisa memulai kisah baru dengan orang lain. Sekar, gue mau sama lo aja. Gapapa bikin sakit juga. I'll let it hurt, until it can't hurt me anymor...