Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
———
Kim Jisoo tak sanggup membuka mata saat dirasa suhu tubuhnya tinggi. Ia menggigil, bahkan padding dan selimut tebal yang dipakainya tidak mampu menghangatkan.
Rintihan terdengar semakin lemah, mencoba untuk tidur pun rasanya sulit.
Samar ia melihat Haroo yang memandangnya. Kucing itu duduk di atas karpet turut bersuara seperti mengkhawatirkan sang nona.
Namun Jisoo hanya bisa menjawab lewat rintihan yang semakin lama tak bersuara.
Ia bahkan berpasrah diri jika hari ini mungkin Tuhan akan mencabut nyawanya sebab ia tak mampu lagi untuk bertahan.
Lalu suara dobrakan pintu terdengar samar di telinga, Haroo segera berlari ketika melihat sang tuan datang dengan raut pucat di wajah.
Kim Jisoo menoleh perlahan, mendapati Kim Taehyung yang tiba-tiba merengkuhnya sangat erat.
“Astaga, badanmu panas sekali!” Kata Taehyung khawatir. Ia tak bisa berpikir jernih melihat keadaan Jisoo yang mengenaskan. Maka tak butuh waktu lama untuk Taehyung memanggil seorang dokter. Bahkan pemuda itu rela membayar berapapun asal gadisnya baik-baik saja.
“Taehyung…”
“Iya, sebentar. Aku menyuruh Seokjin Hyung untuk datang dengan dokter kenalannnya. Sabar sedikit lagi.” Ia mengelus kening Jisoo yang basah karena keringat dingin.
“Di-ngin.” Bibirnya gemetaran seperti Jisoo tengah berada di padang salju. Taehyung segera membawa dirinya keatas ranjang, bergabung dengan Jisoo lalu memeluk gadis itu lebih erat. Taehyung menjadikan dirinya seperti selimut untuk menghangatkan gadis yang dicintainya.
🌼
“Acaramu sudah selesai?” Tanya Seokjin pada pemuda yang sedari tadi seperti orang linglung. Padahal Jisoo hanya demam biasa, namun pemuda di hadapannya sangat dramatis. Seperti menunggu pasien kritis yang hidupnya berada diambang kematian.
“Aku meninggalkan acara.” Seokjin tertegun mendengarnya. Ia berpikir Taehyung cukup gigih jika berhubungan dengan seseorang yang dicintainya. Padahal acara yang berlangsung malam ini sangat penting, menyangkut keluarga barunya.
Kim Seokjin kemudian mendekat, ikut bersandar pada dinding kamar. Menyenggol lengan Taehyung hingga pemuda itu menoleh. “Bagaimana? Kau sudah melakukannya?”
Namun wajah masam yang Taehyung berikan, ia berdecih sembari menggaruk kening. “Gagal,” katanya sedikit kesal.
“Mungkin aku akan berhasil mengatakannya, kalau mama tidak meneleponku saat itu.” Taehyung menghela napas panjang, sedangkan Seokjin mengernyit memandangnya. “Aku bukan menyalahkan mama. Mungkin memang timingnya kurang tepat.”