13

3.2K 315 16
                                    

Termenung seorang diri, sudah bukan hal tabu bagi diri Hyunjin sendiri. Dia kini sering sendirian di rumah dan hanya menghabiskan waktu dengan hal yang tidak berguna.

Selama mengetahui kehamilannya, ia tidak pernah lagi mencari tahu siapa gerangan ayah dari anak. Ia sudah tidak ingin mencaritahu lagi, jika itu membuatnya terhina dan sakit hati.

Tetapi, pikiran akan mengapa bisa ia tertidur di rumah sang teman tidak manjadi titik terang baginya. Hal itupun menjadikannya menyerah dan akan menanggung semuanya sendiri saja.

Namun, bila anak yang tengah di kandung olehnya lahir, maka sudah pasti dia akan tumbuh disetiap harinya. Dimana yang awalnya tidak mengerti akan kedua orang tuanya, suatu saat nanti pasti anaknya itu akan bertanya.

Bagaimana nanti ia menghadapinya? Tidak mungkin mengatakan jika ayahnya telah meninggal jauh sebelum ia lahir, anaknya pasti menuntut untuk mengunjungi makam sang ayah.

"Mikirin ayah kamu, aku jadi pusing sendiri!"

Di sandarkan punggungnya, pada sandaran sofa yang ia gunakan. Di tatapnya langit-langit rumah dengan menghela nafas pasrah.

"Mau sate kelinci lagi, tapi mau makan di tempat nya langsung!"

Ungkapnya dengan kembali menarik diri dan mematap perut yang sudah membesar itu. Tidak di usap, Hyunjin rasanya malas untuk menggerakan tangan meski hanya menyentuh perutnya saja.

Kaos ia tarik keatas, menampilkan perut besar dengan kulit yang sedikitnya mulai mengencang. Tidak pernah terpikirkan ia akan merasakan hal yang tengah terjadi saat ini begitu cepat, sampai sampai harus merelakan pendidikan yang tengah di jalaninya.

Geliatan dari dalam begitu terasa, hingga Hyunjin pun dapat melihat bagaimana permukaan perutnya bergerak lebih menonjol sesuai pergerakan dari dalam.

"Aku gak bisa salahin kamu atas semua nya, kamu gak tahu apa-apa. Tapi, aku kasihan nanti kalo kamu udah lahir. Gak tahu siapa ayah kamu sendiri, pasti sakit banget."

Di paksakan bibir Hyunjin untuk tersenyum, menampilkan wajah senang di saat hati bersedih. Pikirannya terus melayang karena tidak habis pikir ada manusia beradap membuat mereka dalam situasi ini.

Jika saja Hyunjin bisa untuk tidak mendengar bisik-bisik tetangga, ia takut sebagai orang tua akan mendengar anaknya di hina karena tidak memiliki ayah.

Jangankan di dalam negri, di luar negri yang menerapkan pemerintah liberal saja ada yang di cemooh karena tidak memiliki ayah. Lantas bagaimana dengan nasib anaknya?

"Aku takut sama omongan orang lain buat kamu nanti, tapi kamu kuat kan ya sama kayak aku sekarang. Kamu bisa ngadepin orang di luaran sana kan?"

Suaranya tiba-tiba tercekat. Air mata tiba-tiba mengucur di kedua pipinya, yang itu di sebabkan karena perasaan Hyunjin yang mampu berubah dengan cepat.

"Kamu sama aku, kedepannya pasti bakalan dengerin omongan orang lain yang gak baik buat kita. Jadi ayo, kita bisa ngelewati semuanya, ok."

Hyunjin menanagiskan dirinya. Bertujuan agar perasaan sedihnya akan hilang setelah ia puas untuk menangis, agar di saat si ibunya pulang ia bisa memasang kembali senyum guna tidak membuat ibunya cemas.

Ia menatap kearah jam dinding yang satu jam lagi biasanya sang ibu akan segera tiba.

Hyunjin masih terus mengeluaran isakannya, tetapi setelah itu terdengar suara pintu di ketuk. Jelas saja, dia langsung menghentikan tangisannya sesegera mungkin.

Menghapus lelehan air mata dengan membenarkan pakaiannya yang mulai menyempit.

'Hyunjin?'

Ia tahu suara siapa itu, dengan segera Hyunjin beranjak setelah merasa cukup mengelap wajahnya. Dia berjalan beberapa langkah pada pintu rumah dan membukanya.

Qui Esc PaterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang