Awang Tapa berjalan menyusuri jalan-jalan batu kota pelabuhan Melaka yang ramai. Sebuah tas yang terbuat dari anyaman gelagah tergantung dibahunya. Wajah coklat pemuda itu berkilat dengan keringat yang bercucuran. Siang itu matahari bersinar terik diatas ubun-ubun kepala.
Beberapa saat setelah melewati sebuah rumah berdinding batu putih. Awang berbelok ke kanan di sebuah persimpangan jalan yang ramai, menuju ke pusat pasar Melaka. Kota Melaka pada masa itu adalah sebuah kota perdagangan utama yang berlokasi tepat dijalur pelayaran dunia. Jalur yang menghubungi kawasan India di bagian barat dengan jalur ke kawasan Tiongkok di utara. Selain itu Melaka juga merupakan titik pertemuan yang menghubungkan para pedagang dari Jawa dan Makassar, yang menyalurkan hasil rempah - rempah dari timur Nusantara, dengan pedagang – pedagang dari India dan Tiongkok.
Kota pelabuhan yang sibuk itu dibangun mengelilingi sebuah bukit, yang pada puncaknya berdiri istana kesultanan Melaka yang megah. Arsitektur bangunan beratap runcing khas Melayu memberikan kesan mewah dan luar biasa indah. Jalan – jalan batu yang dibangun dengan rapi, mengular menghubungkan setiap penjuru kota, memudahkan penduduk kota pelabuhan itu untuk saling berinteraksi satu sama lain. Taman – taman yang asri dan indah dibangun diberbagai sudut kota, meneduhkan dan memberikan suasana tenteram bagi para penduduknya.
Dan untuk menjaga kota yang indah tersebut dari serangan musuh, tembok benteng kota yang tebal dibangun mengelilingi pusat kota itu dengan sempurna. Dilengkapi dengan ratusan meriam yang ditempa dari perunggu, Meriam – meriam tersebut merupakan senjata pamungkas paling hebat di jamannya.
Pasar utama kota Melaka yang berlokasi tidak jauh dari pelabuhan terlihat sangat ramai, setiap sudutnya dipenuhi kios berdinding kayu. Lapak-lapak bertenda berjajar memenuhi kedua sisi jalan utama pasar, menjual berbagai jenis barang dagangan. Seluruh sudut pasar dipenuhi oleh manusia. Bau harum makanan bercampur dengan bau keringat manusia dan bau amis ikan, merajalela mengisi rongga penciuman.
Diberbagai sudut tampak penjual makanan khas Melaka, seperti nasi lemak dan nasi kandar, berteriak-teriak menawarkan dagangannya. Berderet-deret puluhan orang hamba sahaya berjongkok sembarangan, ditepi jalan utama pasar tersebut, menikmati sepincuk nasi lemak dengan nikmat. Mereka makan dengan lahap tanpa mempedulikan kehadiran lalat yang berterbangan, mencari kesempatan mencuri barang segigit makanan yang mereka santap.
Dibeberapa sudut jalan, tampak beberapa hulubalang kesultanan Melaka berjaga. Pakaian seragam yang didominasi warna kuning berpola warna biru tampak rapi dan berkilau. Penampilan para hulubalang yang mencolok seakan memberikan rasa aman dan nyaman bagi penduduk Melaka, yang belakangan ini cemas dengan situasi politik panas di kesultanan Melaka.
Masih teringat dengan jelas dibenak rakyat Melaka peristiwa hukuman mati yang dijatuhkan kepada tiga tokoh politik berpengaruh di Kesultanan Melaka, yaitu; Tun Mutahir, Tun Tahir dan Tun Ali oleh Sri Baginda Sultan Mahmud Syah. Berbagai desas-desus menyertai latar belakang terjadinya peristiwa tersebut. Apalagi Tun Mutahir adalah bendahara kesultanan yang juga merupakan Temenggong Melaka pada saat itu. Tun Mutahir adalah tokoh kuat yang berjasa besar dibelakang masa kejayaan Bandar Melaka, kepandaiannya mengatur ekonomi kota pelabuhan tersebut sangat luar biasa. Kebijakan – kebijakan Tun Mutahir membuat Bandar Melaka tumbuh menjadi kota perdagangan yang kuat dan amat disegani.
Dijatuhkannya hukuman mati kepada diri Tun Mutahir menimbulkan banyak berita spekulatif yang beredar di kalangan rakyat Melaka. Kabar yang banyak beredar di kalangan rakyat Melaka saat itu adalah, adanya konspirasi antar para bangsawan pribumi Melayu untuk menjatuhkan Tun Mutahir, dengan mengangkat isyu bahwa baginda Tun Mutahir lebih berpihak kepada orang-orang keturunan India daripada orang-orang pribumi.
Para pembesar pribumi Melayu ini lalu membangun opini berdasarkan sentimen rasisme, dan melakukan tuduhan bahwa Tun Mutahir bermaksud mengambil alih kekuasaan Sultan Mahmud Syah di Melaka. Isyu rasisme yang kerap digunakan oleh masyarakat pribumi Melayu untuk menjatuhkan bangsa lain ini, berhasil mempengaruhi pandangan Sri Sultan terhadap Tun Mutahir, yang akhirnya berpuncak pada dijatuhkannya hukuman mati atas dirinya, oleh Sultan Melaka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Chiaki 1511 - Buku Satu
Historical FictionPerjalanan Chiaki Miura, seorang Onna-bugeisha dari klan Miura, melaksanakan tugas terakhir dari ayahnya, untuk menemukan "hidup". ----------------------------------------------------------------------------------------------------------- "History h...