Kepala

7 3 0
                                    

Terceiro Oficial Santo Domingues, Luiz da Costa terkejut mendengar suara letupan-letupan mesiu yang sangat dikenali oleh telinganya. Suara letupan itu berasal dari senapan musket milik pasukan Portugis. Suara letupan itu juga terdengar oleh awak kapal lainnya, yang sedang berkumpul di kamp sementara, yang mereka dirikan di lereng timur yang terlindungi sebuah bukit kecil. Mereka semua saling berpandangan menduga-duga apa yang telah terjadi.

Terceiro Oficial senior tersebut segera naik mendaki puncak bukit kecil dengan cepat. Napasnya naik turun panjang pendek, paru-paru tuanya tampak bekerja dengan keras menyuplai oksigen kedalam tubuh kurusnya. Peluh membasahi seluruh pakaian lusuhnya, sampai kebagian terdalam. Sambil menggaruk-garuk ketiaknya yang gatal dan basah, Luiz da Costa melangkah menyerangi puncak bukit yang landai kearah barat.

Dari puncak bukit dia dapat melihat beberapa pelaut Portugis dari kapal Santo Domingues, yang bertugas berkeliling mengamati situasi disekitar wilayah bukit, berdiri di wilayah sumber suara letupan berasal. Dia juga dapat melihat Chiaki, si gadis Nihon, berdiri sambil memegang senjata miliknya. Dan disebelah gadis itu berdiri sang pengasuh, si rambut merah Centromestre Sandro Gomez sambil menyeringai.

"Ahoy, amigo! Kok ribut sekali? Ada kejadian apa?", seru Luiz da Costa bertanya sambil berjalan menuruni tebing landai tersebut.

Luiz da Costa tidak perlu bertanya lagi, untuk dapat memahami kejadian yang telah terjadi dilereng bukit itu. Dia bisa melihat mayat tanpa kepala pasukan kesultanan Melaka, yang ditumpuk dengan rapi, dibawah pohon kamboja. Dia juga dapat melihat apa yang telah terjadi dengan sosok bertubuh besar, yang tercabik-cabik peluru senapan musket pelaut Santo Domingues. Dia juga menemukan dua tubuh pasukan kesultanan Melaka, dengan kepala hampir putus berkejat-kejat, tergeletak didekat gadis Nihon itu.

Si tua Luiz da Costa menatap mayat-mayat itu dengan mulut terbuka, terperangah. Gusi hitamnya, yang tidak bergigi, tampak jelas dari balik bibir keriputnya. Tangannya menggaruk-garuk keningnya yang penuh kerutan usia. Dia menatap Chiaki yang sedang membersihkan mata belati Naginata-nya dari darah, dengan tenang.

"Madre Dio... Gadis sinting itu... Tidak tahukah dia apa artinya tawanan?!", gerutunya panjang pendek.

"Mungkin ini hanya masalah kebiasaan", kata Centromestre Sandro Gomez menanggapi sambil mengangkat bahunya yang kekar. Seringai lebar kembali muncul diwajah kasarnya.

"Maksudmu, dia terbiasa memenggal kepala musuh-musuhnya? Begitu?!", kata pelaut tua itu mengomel, sambil mendelik kepada Sandro Gomez.

Luiz da Costa kembali memperhatikan tumpukan mayat tanpa kepala itu, dan kemudian mengeleng-gelengkan kepala. Terceiro Oficial senior itu agak takut dengan sikap tenang gadis Nihon yang cantik itu, meskipun dia juga bersyukur bahwa Chiaki berada di pihaknya. Melihat kemampuan gadis itu, Luis da Costa merasa yakin bahwa perang ini akan berakhir, dengan kemenangan Portugis. Yang tidak dapat terbayangkan adalah, apa bila ternyata gadis itu berada dipihak lawan. Bisa habis kepala tentara satu armada Portugis dipenggal olehnya, katanya dalam hati.

Selama hidupnya, Luiz da Costa belum pernah satu kali-pun menemukan seorang perempuan muda mampu melakukan ini semua. Sepertinya, bagi Chiaki, memotong leher manusia itu sama saja seperti memotong leher ayam. Kalau ada seratus perempuan seperti ini, mungkin dunia akan sepenuhnya dikuasai oleh perempuan. Seluruh laki-laki hanya duduk diam dirumah, mengurus anak dan mencuci pakaian, begitu pikirnya.

"Chiaki-sama, perempuan-perempuan di tempat asalmu setiap harinya sarapan apa sih?", tanya si tua itu dengan heran sambil bergidik. Bulu kuduknya dari awal tidak mau berhenti meremang.

"Eee... Nani?", kata gadis Nihon itu tidak mengerti. Tidak tampak satu ekspresi-pun pada wajah cantiknya.

Centromestre Sandro Gomez tersedak menahan tawanya, mendengar gerutuan Terceiro Oficial Luiz da Costa.

"Oy, Sandro Babá, Kau jaga betul-betul anak asuhmu ini. Kurangilah kebiasaannya penggal-memenggal kepala, jangan semuanya dihabiskan. Lain kali sisakan satu untuk tawanan interogasi", kata Luiz da Costa.

"Ayo semua kembali. Kita harus menyingkir dari posisi kita sebelum kesultanan Melaka mengirim pasukan yang lebih besar lagi kesini. Mereka pasti sudah mendengar suara letusan senapan-senapan kita dari jauh", kata pelaut senior tersebut, sambil melangkah kembali ke tempat para pelaut Santo Domingues berkumpul di balik bukit.

"Oh... Satu lagi. Chiaki-sama, apa bila ada pasukan Melaka yang datang lagi, tolong jangan lakukan apapun kepada mereka. Cukup awasi saja gerakan mereka, Comprende?", sambung pelaut tua itu lagi.

"Eeh... ", gumam Chiaki tidak mengerti. Lalu gadis itu menatap Centromestre Sandro Gomez dengan tatapan bertanya. Sandro Gomez kembali menyeringai lebar, memamerkan giginya yang kuning.

Centromestre Santo Domingues itu mendekati Chiaki, dan mencoba menjelaskannya dengan bahasa Nihonseadanya. Gadis itu mengangguk mengerti setelah menyimak penjelasan Sandro Gomez, tanpa ada sedikitpun ekspresi diwajah cantiknya.

"Gomenasai", katanya singkat.

Chiaki 1511 - Buku SatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang