Pedang kayu

10 3 0
                                    

"Oto-chaan...", panggil seorang anak perempuan sambil berteriak nyaring. Ekspresi kerinduan seorang anak kepada seorang ayah tergambar jelas pada lengkingannya. Anak berusia enam tahun itu berlari sekencang yang dia mampu, menghambur ke arah ayahnya yang sedang melangkah masuk gerbang dalam benteng bersama tiga orang pengawalnya.

Gerbang bagian dalam benteng itu terbuat dari kayu mahoni berwarna coklat kehitaman, yang diperkuat lapisan lembaran logam campuran tahan api. Sangat kokoh menahan gempuran serangan, apabila musuh berhasil menembus gerbang luar yang tebal dan berat.

Sepasang kaki mungil anak perempuan itu berderap ringan, meninggalkan bekas tapak di atas salju yang terhampar dihalaman dalam benteng batu tersebut. Tangan kirinya menyeret sebuah pedang kayu, yang biasa digunakan para ksatria penjaga benteng untuk berlatih, yang berukuran besar.

Perbandingan ukuran pedang kayu yang besar dan berat terlihat tidak seimbang dengan ukuran tubuhnya yang mungil. Wajahnya gemuk, dengan pipi penuh berwarna kemerahan, terlihat sangat bersemangat.

Sang ayah yang terlihat Lelah, tersenyum dan membentangkan kedua lengan tangannya sambil melipat lutut. Dalam satu detik anak perempuan itu sudah memeluk leher ayahnya erat-erat. Senyum dan tawa cerianya menggema disudut-sudut dinding batu.

Dari dalam sebuah gerbang kecil disebelah barat benteng, seorang wanita cantik berkulit putih mengenakan komon biru berpola gelombang ombak pantai dan seorang remaja laki-laki dengan mengenakan hakama berwarna senada, melangkah menghampiri mereka berdua. Gerakan wanita itu sangat anggun. Sementara si remaja laki-laki berusaha untuk tetap tenang, meskipun di wajahnya terpancar kegembiraan yang tidak dapat disembunyikan.

"Okāchan...Onīchan..., Otōchan wa ie ni imasu - Ibu..., kakak..., Ayah sudah pulang", ucap anak perempuan itu sambil melompat-lompat gembira. Jemari tangan kirinya yang mungil menggenggam erat lengan kekar ayahnya, seakan tidak mau dilepaskan lagi selamanya. Sedangkan tangan kanannya tetap memegang pedang kayunya yang besar dengan erat.

"Tadaima...", salam si ayah kepada istri dan anak laki-lakinya.

"Okaeri nasai", balas si istri dan anaknya sambil nundukkan kepala bersamaan menyambut kedatangannya.

Si remaja kemudian menawarkan diri membantu tiga orang pengawal tersebut untuk membawakan barang-barangnya, yang dengan sopan ditolak oleh mereka. Sambil berbincang-bincang mereka berjalan memasuki gerbang kecil, dan melintasi selasar berbatu disisi barat benteng.

Kemudian mereka menaiki sebuah tangga batu yang menuju ke sebuah taman. Taman kecil itu sebenarnya sangat asri pada saat musim semi dan musim panas, ditengah taman terdapat sebuah patio yang dibangun oleh tangan-tangan tukang kayu yang terampil. Pada sisi timur patio tersebut, terdapat sebuah kolam batu yang airnya hampir membeku. Lapisan salju tipis menghampar keseluruh sudut-sudut taman dan atap-atap benteng.

Benteng tersebut berdiri diatas sebuah bukit kecil, diwilayah semenanjung sebelah timur Nihon. Terdiri atas tiga bagian utama, luar, tengah dan dalam. Tembok-tembok batu setinggi hampir empat meter, melindungi bagian dalamnya dari empat penjuru. Sementara dinding tembok bagian luar memiliki tingginya hampir dua kali lebih tinggi dari tembok bagian dalam.

Deretan ruangan, tempat tinggal pasukan, sebagian berada di bagian luar terlindung oleh tembok luar yang kokoh tersebut. Sebagian lagi ada dibagian tengah. Sedangkan wilayah bagian dalam hanya terdiri dari tiga bangunan berdinding kayu, yang ditempati oleh para anggota keluarga utama, saudara terdekat dan orang – orang kepercayaan.

Wilayah datar di sekitaran benteng sebagian besar adalah tanah pertanian, yang pada musim panas, menghasilkan beras dan sayur mayur, hasil bumi utama dari wilayah tersebut, selain daging dan ikan. Susunan rumah petani yang berada di wilayah itu tampak direncanakan dengan baik.

Chiaki 1511 - Buku SatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang