Melaka - Juli Tahun 1511

9 3 2
                                    

Rizwan, seorang komandan pasukan penjaga pelabuhan, dari balkon pos pengintainya menatap laut dengan tatapan takjub sekaligus khawatir. Dihadapannya terpampang pemandangan sembilan belas kapal perang Portugis, berjajar memenuhi jalur masuk pelabuhan. Pada barisan paling depan, Rizwan melihat empat kapal itu berbaris berderet menyamping menutup muara sungai Melaka, mengarahkan deretan meriam disamping kanan mereka kearah kota. 

Sementara, barisan sepuluh kapal di barisan kedua, berposisi menghadap tegak lurus dengan posisi haluan ke arah kota. Dibarisan ketiga, yang paling luar, tampak lima kapal paling besar dari armada itu. Rizwan memang bukan seorang pelaut, dia tidak mengetahui beragam bentuk formasi kapal perang, tetapi dia dapat memahami bahwa tujuan dari armada Portugis itu hanya satu, invasi.

Kehadiran armada Portugis itu sangat mengejutkan dan diluar dugaan. Armada kapal perang itu tiba tepat setelah badai reda, saat semua kapal perang kesultanan Malaka yang tersisa, tertambat erat di dermaga. Saat semua orang di kota pelabuhan itu terkejut atas pembunuhan terhadap seluruh nakhoda kapal perang kesultanan, yang terjadi pada malam sebelumnya. Saat semua orang sedang berlindung dari terjangan amuk badai tropis, di kediaman masing - masing.

Berita mengenai pembunuhan para nahkoda kapal perang kesultanan dan kedatangan armada kapal perang Portugis, sampai ke telinga Sultan Mahmud Syah dalam waktu singkat.

Tidak membutuhkan waktu lama bagi Sultan untuk mengumpulkan seluruh pejabat dan menteri - menterinya. Tidak sampai setengah jam mereka sudah berkumpul di ruang utama istana kesultanan. Mereka semua datang memenuhi panggilan Baginda Sultan, untuk melaksanakan rapat darurat.

Rapat darurat tersebut berlangsung sangat ramai, penuh dengan perdebatan, semua yang hadir panik, bahkan beberapa kali Sultan Mahmud Syah harus meninggikan suaranya dalam keriuhan, untuk menenangkan.

Dari dalam pos pengintai, Rizwan berseru memanggil dua orang petugas bawahannya, Azeez dan Hamid, memberikan perintah singkat kepada keduanya. Azeez dan Hamid mengangguk mengerti, setelah menghormat singkat mereka pergi melaksanakan perintah.

Azeez pergi untuk menemui panglima tentara penjaga kota, dan Hamid pergi untuk berkooordinasi membantu pengungsian masyarakat ke tempat yang lebih aman, berjaga-jaga terhadap kemungkinan serangan meriam kapal, yang jangkauan pelurunya dapat menghancurkan rumah-rumah penduduk. Sedangkan Rizwan bersama anggota pasukan yang lain, bersiap menghadapi kemungkinan penyerbuan pendaratan pasukan infanteri.

Mereka menyusun peti - peti yang berserakan di dermaga dalam tumpukan tertentu. Barang - barang itu disusun sedemikian rupa, sehingga dapat digunakan sebagai penghalang pasukan penyerbu, tetapi juga sekaligus tidak menghalangi mereka untuk bertahan dari serbuan. Rizwan dapat melihat pasukan penjaga pelabuhan lainnya juga melakukan hal yang sama.

Mereka bekerja keras mempersiapkan pertahanan sambil menunggu perintah selanjutnya dari kesultanan. Sekelompok kuli angkut menghampiri para tentara kesultanan, dan membantu menyusun barang dan tumpukan peti. Ketegangan tergambar jelas di wajah - wajah mereka.

Sementara para pasukan penjaga pelabuhan mempersiapkan pertahanan dan mengarahkan meriam-meriam kota kearah deretan kapal perang Portugis, pasukan lainnya sibuk mengevakuasi masyarakat biasa, mereka menuju tempat aman di luar kota pelabuhan tersebut. Mereka berbondong-bondong menuju tempat - tempat tinggi dengan harapan tidak terjangkau peluru meriam. Jalan - jalan batu yang mengarah ke gerbang kota dipadati penduduk yang hendak mengungsi.

Dalam keramaian dan kesemrawutan itu, tampak Amat Salli dan pasukan kesultanan lainnya, mencoba mengatur dan mengarahkan penduduk yang berdesak-desakan. Mereka mencoba mengatur evakuasi penduduk melalui gerbang barat. Sedangkan di gerbang utara, Awang Tapa terlihat sedang menggendong seorang nenek, sambil memerintah orang-orang disekeliling mereka untuk bergerak menjauhi kota.

Di barak tentara kesultanan Malaka, yang berlokasi di timur dalam kawasan benteng kota, ratusan anggota pasukan bergerak cepat, mereka membagikan senapan sumbu, tombak panjang dan parang ke semua anggota. Puluhan ekor kuda dan delapan ekor gajah perang disiapkan. Ratusan meriam cadangan, yang terbuat dari perunggu, dikeluarkan dari gudang senjata.

Beberapa kelompok tentara berkumpul bersama komandannya, dan membagi-bagi tugas sesuai wilayahnya. Panji-panji kesultanan berwarna biru kuning disiapkan, untuk dibawa sebagai pendorong semangat. Mereka semua bersiap menunggu perintah Sultan dan para panglima.

Hafeez, salah satu komandan kelompok pasukan, berdiri tegak diatas menara pengawas menatap jauh ke arah cakrawala, mengamati deretan kapal-kapal perang Portugis. Dia sudah memerintahkan para pasukan laut untuk bersiap diatas kapalnya masing-masing, meskipun para nahkoda yang memimpin mereka sebagian besar sudah terbunuh. Tentara laut kesultanan Melaka hanya menyisakan dua laksamana yang masih hidup, Laksamana Arnab dan Laksamana Raeez. Keduanya masih sangat muda, dan belum pernah terjun ke dalam medan peperangan sebelumnya.

Komandan Hafeez sadar bahwa pertempuran yang akan terjadi nanti dapat dipastikan akan berjalan berat. Sebagian besar pasukan kesultanan sedang terkonsentrasi di luar wilayah kota Melaka. Pasukan kesultanan Melaka yang ada untuk mempertahankan kota, saat ini tidak akan mampu melawan kekuatan besar, yang sekarang hadir di depan mereka. Dia masih mengingat peristiwa beberapa bulan lalu dimana Sultan Malaka mengusir, menangkap dan membunuhi orang - orang Portugis yang datang berdagang ke Melaka.

Dan hari ini orang-orang Portugis itu datang kembali, kali ini dengan kekuatan perang yang sangat besar, bahkan jauh lebih besar dari kekuatan tentara Jawa, yang selama ini adalah seteru Melaka. Keadaan yang timpang ini semakin diperburuk dengan pembunuhan terhadap para nahkoda kapal perang kesultanan, yang terjadi di tengah badai semalam. Informasi pembunuhan yang terjadi semalam sangat simpangsiur, tetapi bila dilihat pada peristiwa pagi ini, besar kemungkinan pembunuhan - pembunuhan tersebut dilakukan oleh pasukan Portugis.

Di saat Hafeez sibuk dengan pikiran dan dugaan, di salah satu puncak bukit sebelah timur, tampak Chiaki Miura, sang Onna-bugeisha dari klan Miura, berdiri diam mengawasi semua kegiatan persiapan pertempuran dan evakuasi penduduk.

Gadis itu, bersama lima orang yang tergabung dalam pasukan pengintai dari kapal Portugis Santo Domingues, terlihat tenang mengawasi seluruh bagian kota. Centromestre Sandro Gomez, Gaijin berambut merah dengan bandana hitam dikepala, yang berada disamping kirinya, menggenggam sepasang bendera berwarna kuning merah.

Si gadis melepas jubah hitamnya, melipatnya dengan rapi, dan dengan khidmat menaruhnya di tanah, disamping batu besar berwarna kecoklatan. Baju perang yang dikenakannya berwarna hitam dan merah gelap, dengan pola lingkaran berwarna putih keperakan di kedua sisi bahunya. Sebilah pedang Katana terselip dipinggangnya yang ramping. Rambut hitamnya yang panjang dibiarkan tergerai melambai dimainkan angin.

Wajah orientalnya yang cantik menoleh kepada Sandro Gomez disebelahnya, dan mengangguk singkat. Sandro Gomez, si gaijin berambut merah, menyeringai memamerkan deretan gigi kuning dan membalas anggukannya. Si gaijin sudah tahu kemampuan bertarung gadis Nihon ini. Sudah dua kali dia menyaksikan aksinya yang mengerikan, pertama saat bertempur melawan penyerangan bajak laut Viet di laut Cina Selatan beberapa waktu lalu, dan kedua, saat membantai lusinan nahkoda kapal perang kesultanan semalam.

Sejenak gadis itu menarik nafas sebelum melesat ke arah gerbang timur, dibarengi kibasan sepasang bendera merah kuning dari Sandro. Tiga detik kemudian terdengar dentuman dari belasan meriam Santo Domingues, disusul lusinan tembakan dari tiga kapal perang Portugis lainnya, Marie de la Mar, Maria de Rose dan terakhir Emilie.

Hafeez terkejut dan terperangah mendengar dentuman meriam dari sisi timur kota, wajahnya berpaling ke pelabuhan, tampak dua kapal perang kesultanan yang dipimpin oleh sisa dua laksamana sudah melepas tali penambat.

Dari kejauhan Hafeez dapat melihat kepulan asap dari sisi kapal - kapal perang Portugis deretan pertama, yang disusul suara dentuman meriam. Suara cuitan tajam terdengar, saling menyusul, sebelum suara - suara ledakan yang diikuti suara jerit manusia menghantam pelabuhan. Sudah dimulai! Serangan sudah dimulai!, jeritnya dalam hati.

Chiaki 1511 - Buku SatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang