Azeez menatap kota Pelabuhan Melaka dari balik gerbang utara tembok benteng kota. Dia dapat melihat pasukan kesultanan Melaka berlarian, bergegas meninggalkan kota pelabuhan itu. Rombongan Sultan Mahmud Syah dan keluarga, sudah pergi meninggalkan istana kesultanan menuju utara, untuk kemudian berbelok kearah muara sungai Muar.
Kemungkinan, rombongan sultan akan menuju Johor, atau mungkin menyeberangi selat Melaka, menuju Riau dari muara sungai itu. Tidak banyak orang yang mencoba untuk mengungsi, selain karena jaraknya yang jauh, mereka tidak mengungsi karena tidak memiliki harta atau benda yang bisa ditukar untuk menghidupi mereka, ditempat pengungsian.
Azeez sendiri sudah tidak memiliki keluarga dan tempat tinggal. Rumahnya sudah hancur terkena hujan peluru meriam Portugis, dan keluarganya entah pergi kemana. Dia hanya bisa berharap istri dan anak-anaknya masih hidup, dan mengungsi ke Johor, ke tempat dimana orang tua dan mertuanya berada.
Azeez berbalik arah menuju utara, dan bergabung bersama rombongan terakhir pasukan kesultanan Melaka yang mengungsi. Dia masih mendengar suara letupan senapan musket Portugis dari tengah kota. Entah mereka menembak siapa, Azeez tidak tahu dan tidak mau tahu. Baginya semua kehidupannya di kota pelabuhan, yang dulu ramai itu, sudah berakhir.
Rombongan terakhir pasukan kesultanan Melaka itu bergerak mundur, sambil mengambil sisa-sisa persediaan makanan dari tenda-tenda pengungsi. Azeez mengambil baju-baju, yang tertinggal ditenda-tenda itu, dan membuang baju seragam tentara kesultanan yang dikenakannya, dengan baju yang lebih bersih, dan lebih baik kondisinya. Azeez-pun mengambil beberapa baju lagi, untuk bersalin, apabila diperlukan nanti.
Rombongan pengungsi itu-pun mencapai batas hutan, dan melangkah menembus jalan setapak menuju utara. Hutan yang biasanya sepi, tampak ramai oleh barisan manusia yang berjalan perlahan, untuk mengungsi. Azeez melihat berkeliling, mencoba mencari wajah-wajah yang familiar, siapa tahu dari sekian banyak orang, ada yang dikenalnya. Tetapi, Anggota pasukan kesultanan Melaka itu, tidak menemukan wajah satu orangpun, yang dia kenal sebelumnya.
Azeez tidak tahu, apakah kenyataan ini menunjukkan, bahwa semua rekannya di pasukan kesultanan Melaka sudah mati, dan hanya dia seorang yang masih hidup. Atau mereka masih bertempur di kota, atau mungkin juga mereka sudah lebih dulu mengungsi. Kenyataan pahit ini, semakin menguatkan dirinya, untuk segera meninggalkan kota Melaka.
Dengan pandangan sedih, dia memandangi wajah-wajah lelah dan ketakutan, yang tampak pada raut wajah seluruh orang disana. Wajah-wajah yang ketakutan akan masa depan mereka, yang tidak terjamin. Dan kelelahan atas peperangan, yang melanda mereka sejak satu bulan yang lalu. Azeez-pun hanya bisa menghela nafas dalam-dalam. Dirinya sendiri-pun tidak memiliki masa depan yang terjamin. Tetapi paling tidak, baginya, dia dapat membuka lembaran kehidupan baru, meskipun belum menjamin kehidupannya kelak akan berjalan dengan baik sesuai rencana.
Perjalanan pengungsi sudah memakan waktu setengah hari, masih belum ada tanda-tanda hutan akan berakhir, dan jalan setapak itu masih menuju ke utara. Jalan setapak itu belum berbelok ke timur ke arah dimana muara sungai Muar tempat tujuan mereka berada. Dihadapan mereka sekarang, berdiri berjajar perbukitan dengan tebing-tebing yang terjal. Jalan setapak yang terjal, mendaki ke puncak tebing, tampak dipenuhi oleh manusia yang bergerak lambat, mendaki.
Sebagian pengungsi yang sudah lelah, beristirahat di batu-batu yang bertonjolan pada dinding tebing, sementara pengungsi, yang masih kuat berjalan, mendaki satu persatu dengan lambat. Azeez, yang berada di rombongan paling akhir, melewati tebing-tebing terjal itu, dan tiba di jalur melandai turun, saat hari menjelang gelap.
Sambil berjalan turun pada punggung bukit yang landai tersebut, Azeez mengambil buah-buahan hutan seperti kesemek, duwet, dan rambutan hutan, yang banyak tumbuh diwilayah itu, untuk kemudian dia bagikan kepada sesama pengungsi.
Rombongan pengungsi itu tetap berjalan, meskipun kesedihan dan ketakutan terpancar diwajah mereka. Semua orang, yang tergabung dalam rombongan itu, saling berbagi tugas tanpa harus diatur atau dikomandoi oleh satu orang-pun. Rasa sependeritaan dan sepenanggungan tampaknya membuat mereka bersatu-padu, menghadapi tantangan perjalanan.
Menjelang tengah malam, akhirnya rombongan itu mencapai cabang jalan setapak. Mereka semua berbelok ke kanan, ke arah timur. Kemudian tanpa komando, selepas satu bukit, mereka membuat perkemahan darurat. Mereka kemudian, membuat api unggun mengelilingi perkemahan, dan tidur dalam lingkaran. Anak-anak dan perempuan tidur dibagian dalam lingkaran, sementara para laki-laki tidur dibagian luar, untuk melindungi mereka.
Azeez mengambil giliran berjaga mulai tengah malam, sampai menjelang pagi bersama beberapa orang laki-laki. Mereka duduk melingkar saling memunggungi. Beberapa kali, mereka melihat sorot mata kemerahan milik babi hutan, dan sorot mata cerah kekuningan milik harimau sang raja rimba. Azeez mengetahui, bahwa apabila ada seekor harimau mengikuti rombongan manusia, maka manusia yang berjalan paling belakang, akan menjadi sasaran serangannya.
Pagi harinya, mereka serentak melanjutkan perjalanan, setelah sarapan dengan buah-buahan hutan. Azeez dan beberapa orang laki-laki, memutuskan untuk berjalan paling belakang, untuk melindungi pengungsi lain dari serangan diam-diam harimau.
Setelah berjalan kaki selama seharian penuh, akhirnya para pengungsi mencapai batas hutan, dan muara sungai Muar, menjelang tengah malam. Rombongan terakhir itu bertemu, dan bergabung dengan rombongan Sultan Mahmud Syah. Azeez, dari kejauhan, dapat melihat tenda Sultan yang mewah dan megah, berdiri paling tengah. Disekeliling tenda mewah itu, tampak tenda-tenda, yang khusus diisi oleh para pengawal pribadi Baginda Sultan.
Sementara tenda-tenda sederhana, yang berjejer paling luar, boleh diisi oleh pengungsi dan rakyat biasa lainnya. Azeez memilih tidur ditenda paling luar. Dia lebih merasa nyaman saat tidur bersama orang kebanyakan. Malam itu, lagi-lagi Azeez melihat beberapa pasang mata harimau mengawasi pengungsi. Azeez lalu menyalakan api unggun, diikuti oleh beberapa orang pengungsi lainnya, untuk mengusir hewan tersebut, dan melindungi para pengungsi dari serangannya.
Esok harinya, menjelang siang, delapan Jung milik kesultanan Bintan Riau, berdatangan. Para pengungsi, dengan bersemangat melambaikan tangan mereka kearah kapal-kapal dari kesultanan Bintan tersebut. Dari atas kapal, turun seorang hulubalang yang langsung memberikan sembah sujud kepada Sultan Mahmud Syah. Baginda Sultan-pun menyambutnya dengan pelukan hangat.
Azeez mengamati gerakan Baginda Sultan yang tertatih-tatih, kesulitan untuk berdiri, sampai dibutuhkan dua orang hulu balangnya, untuk memapah tubuhnya. Terlihat dengan jelas wajah Baginda menahan sakit, setiap kali melangkahkan kakinya. Azeez memberanikan diri bertanya kepada salah seorang hulu balang kesultanan Melaka, mengenai apa yang telah terjadi pada diri Baginda Sultan.
Hulu balang itu memberitahu Azeez, bahwa Baginda Sultan menderita cidera yang cukup memprihatinkan. Beliau terjatuh dari gajah perangnya, dan hampir tewas tertimpa tubuh gajahnya tersebut, saat memimpin pertempuran terakhir melawan tentara Portugis, didepan istana kesultanan tiga hari yang lalu.
Sultan Mahmud Syah dan rombongannya, langsung menaiki kapal pertama, setelah itu baru kemudian pengungsi lainnya, naik di kapal-kapal berikutnya. Kapal-kapal itu akan berlayar menyeberangi selat Melaka, menuju Bintan, Riau.
Kemudian menjelang sore, datang dua kapal dari kesultanan Johor. Azeez memilih naik ke kapal kesultanan Johor. Dia sangat berharap bisa menemui istri dan anak-anaknya, di rumah keluarga mertua. Diatas kapal itu Azeez duduk di buritan, memandangi muara sungai Muar.
Sambil bernafas dalam-dalam, mantan anggota pasukan penjaga pelabuhan kesultanan Melaka itu, menatap jauh ke arah dimana kota pelabuhan Melaka, yang sudah hancur porak poranda itu berada. Didalam hatinya dia bersumpah dan bertekad, tidak akan lagi mau mengunjungi kota pelabuhan tersebut.
Kapal-kapal kesultanan Johor itu berlayar ke timur menjelang malam saat matahari sudah tenggelam, untuk menghindari armada kapal perang Portugis. Kapal-kapal besar itu bergerak menyusuri garis pantai selatan Ujung Medini, meninggalkan wilayah muara sungai Muar, yang kembali sepi dari pengungsi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Chiaki 1511 - Buku Satu
Historical FictionPerjalanan Chiaki Miura, seorang Onna-bugeisha dari klan Miura, melaksanakan tugas terakhir dari ayahnya, untuk menemukan "hidup". ----------------------------------------------------------------------------------------------------------- "History h...