Demi Sultan

7 3 0
                                    

 Azeez melonjak kaget mendengar suara dentuman ledakan yang menggelegar bersahut-sahutan, bersamaan dengan suara jeritan manusia. Semua hulubalang kesultanan yang berada di pekarangan istana kesultanan terperangah. Mereka berlarian menuju pos mereka masing-masing. Dalam kepanikan, dari dalam ruangan istana tampak Tun Qawi, salah satu panglima kerajaan, berlari menuju teras istana sambil memerintah beberapa orang bawahannya.

Salah seorang dari mereka melambaikan tangan kearah Azeez memanggilnya. Azeez bergegas mendekati orang tersebut. Dengan cepat perintah diterima Azeez. Pasukan penjaga pelabuhan diperintahan mundur kearah istana untuk menghindari terjangan peluru meriam-meriam kapal. Azeez mengangguk cepat, dan dengan berlari, dia keluar dari kawasan istana kesultanan bersama beberapa hulubalang lainnya.

Secepatnya Azeez berlari ke tengah kota bersama beberapa hulubalang istana. Mereka berteriak kepada semua orang yang berlarian di jalan, agar pergi menghindar, dan menjauh dari pelabuhan. Sebagian dari rombongan itu menuju arah bagian barat kota, dan sebagian lagi menuju gerbang timur. Azeez terus berlari sambil berusaha menghindari terjangan peluru meriam yang berjatuhan, meledakkan segala yang menghalangi jalannya.

Jalan batu didepannya, yang dibangun lama sejak masa Sultan Mudzaffar Syah, hancur berlubang-lubang. Bentuknya sekarang seperti seperti sungai kering yang dipenuhi batu. Potongan tubuh manusia berserakan, bertebaran dimana-mana. Azeez berlindung sejenak di belakang sebuah tembok besar yang tebal. Napasnya terengah-engah. Paru-parunya sesak dipenuhi asap mesiu berbau tajam. Tanah berkali-kali berguncang terkena hantaman peluru meriam dengan suara memekakkan.

Tampak satu kelompok pasukan penjaga pelabuhan berlari menjauh kearah utara. Azeez berteriak kearah mereka. Salah seorang dari mereka mendengar teriakan Azeez. Prajurit itu berhenti dan menoleh kearah datangnya suara. Azeez melambaikan tangan dan mendekati prajurit tersebut.

"Encik, ada sebarang khabar kah dari pelabuhan?", Azeez berteriak menanyakan kondisi pelabuhan. Prajurit itu membalas dengan menggelengkan kepala.

"Dah hancur pelabuhan tu encik. Tiada sebarang benda dapat hidup", jawab prajurit itu.

"Mengenai Tuan Rizwan macam mana?", tanya Azeez lagi.

Dan sebelum sempat si prajurit menjawab, sebuah ledakan terjadi ditempat prajurit itu berdiri. Azeez hanya bisa bertiarap menatap nanar. Asap hitam tebal mengepul dari tempat si prajurit tadi berdiri. Serpihan daging dan organ tubuh manusia berjatuhan ditempat itu. Azeez segera berbalik, meneruskan perjalanannya ke pelabuhan sambil bersumpah-serapah.

Sesampainya di gerbang pelabuhan, Azeez dapat melihat asap hitam pekat yang berasal dari ledakan-ledakan dahsyat tembakan meriam Portugis. Sambil merunduk, Azeez berlari melompat-lompat menghindari reruntuhan bangunan dan serpihan-serpihan kayu, berusaha bergerak maju mendekat kearah pos pengintaian pelabuhan.

Azeez tercengang melihat kondisi pelabuhan dan dermaganya, dermaga kayu yang sebelum ini dipenuhi deretan perahu-perahu dagang, sudah porak poranda dihantam peluru meriam. Deretan perahu-perahu karam dengan tiang-tiang patah memenuhi pelabuhan, bertumpukan mengotori dasar pelabuhan. Serpihan-serpihan kayu dan tubuh manusia memenuhi permukaan air laut yang berwarna hitam bercampur jelaga.

Bau anyir darah manusia dan mesiu menyesakkan pernapasan. Pecahan tubuh manusia memenuhi setiap sudut pelabuhan. Azeez terpaku melihat pemandangan mengerikan pelabuhan Melaka. Setelah menelan ludah, Azeez merangkak secepatnya menuju ke pos pengintaian yang rusak berat. Keempat dinding batanya runtuh menyisakan separuh tembok dibagian dinding utara. Menara pengintai yang berada disebelah barat sudah rata diatas tanah. Atap kayu menara tersebut jatuh berserak diatas reruntuhan tembok bata. Selusin meriam perunggu yang ditempatkan disekitar pos, bergeletakan bertebaran di jalan-jalan batu pelabuhan.

Dia melihat sesosok tubuh yang dia kenali, tersandar dalam posisi yang tidak wajar, di tembok reruntuhan pos pengintai pelabuhan tersebut. Sambil terus merangkak tanpa mempedulikan terjangan peluru meriam dari kapal Portugis, Azeez menghampiri orang tersebut.

Rizwan terlihat bersandar miring menyedihkan di tembok dekat pintu masuk pos, napasnya naik turun tersenggal-senggal. Darah membasahi seluruh tubuhnya. Wajahnya berpeluh dan kotor berjelaga. Azeez merangkak mendekatinya dan memanggil namanya. Rizwan tidak merespon panggilannya. Matanya hanya berputar-putar liar. Azeez meraih bahu komandan pasukan penjaga pelabuhan Melaka tersebut.

Dengan hati-hati dia mencoba membopong Rizwan. Diangkatnya tubuh Rizwan perlahan-lahan. Lengan kanan Rizwan dikalungkan diatas bahu, dan lengan kirinya meraih pinggang pria itu. Darah komandan pasukan penjaga pelabuhan itu membanjiri tanah dibawahnya.

Tiba-tiba Rizwan mengejang dan batuk beberapa kali memuntahkan darah kental. Napasnya terdengar berat, seperti menahan rasa sakit yang luar biasa. Kemudian terdengar suara gemeretak keras di bagian bawah tubuhnya, sebelum tulang panggulnya copot dan isi rongga perutnya berjatuhan ke tanah. Bersamaan dengan itu, bola matanya berputar ke belakang kepala, dan dengan suara lenguhan panjang nyawa Rizwan melayang.

Azeez hanya bisa melepas separuh tubuh kepala pasukan penjaga pelabuhan tersebut, dan meletakkannya di tanah. Tumpukkan usus dan lambungnya menyuguhkan pemandangan memilukan. Sambil menutup mulutnya, Azeez menatap berkeliling. Tubuhnya gemetar dan kengerian tergambar jelas di wajahnya. Semuanya hancur, batinnya. Potongan tubuh dan organ manusia, bercampur dengan serpihan peti kayu dan benda-benda lainnya, berserakan disepanjang selasar dermaga. Tembok-tembok batu roboh dan hancur terkena hantaman peluru meriam. Jalan batu terbongkar seperti kawah gunung berapi dengan asap hitam mengepul. Bau mesiu dan anyir darah memenuhi rongga dada.

Dengan langkah limbung, Azeez berjalan dan melompati puing-puing dan reruntuhan. Bagaimanapun juga dia harus melaksanakan perintah Sultan untuk mengosongkan pelabuhan, dan memberitahu pasukan yang selamat untuk menarik diri ke daerah yang aman. Demi keselamatan Sultan dan kejayaan kesultanan Melaka, dia harus mengumpulkan sisa-sisa pasukan penjaga pelabuhan yang masih hidup. Azeez berlari menunduk disela-sela ledakan peluru meriam. Wajahnya penuh keringat dan kotor. Dia terus berlari dan mencari.

Chiaki 1511 - Buku SatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang