Bertahan

4 2 0
                                    

Azeez mendadak terbangun dari tidurnya. Kepalanya terasa sakit berdenyut – denyut, dan seluruh tubuhnya terasa pegal dan nyeri. Sambil mengerang, dia melihat keadaan sekelilingnya. Sejenak dia kehilangan orientasi dirinya. Azeez meluruskan duduknya, dan menarik napas panjang. Perlahan-lahan kesadarannya mulai pulih kembali, dia saat ini sedang berada dibalik reruntuhan gerbang timur tembok benteng kota Melaka, dan dia teringat dengan komandan Hafeez, yang memintanya untuk menunggunya kembali. Sambil memfokuskan pandangannya, dia kembali melihat berkeliling, mencari sosok komandan pasukan kesultanan Melaka itu. Beberapa kali dia memicingkan matanya kala menangkap bayangan yang dikiranya sosok komandan itu.


Azeez lalu meraih teropong tunggalnya, yang tergeletak disela-sela kedua kakinya. Diteropongnya puncak bukit, dimana dia pertama kali melihat gadis Cina yang coba dikejar komandan Hafeez. Tetapi nihil, dia tidak menemukan siapa-siapa disana.

"Azeez...", seru seseorang memanggil namanya.

Anggota pasukan kesultanan Melaka itu menoleh, kearah suara yang memanggilnya. Dari balik gerbang, dia melihat salah seorang rekannya melambaikan tangannya, dan memintanya kembali ke dalam benteng. Azeez perlahan-lahan bangkit dari posisinya, dan mengerahkan tubuhnya untuk berdiri dan berlari, sambil merunduk kearah gerbang timur tersebut. Dia bergerak cepat, tanpa menghiraukan protes otot-otot tubuhnya, yang masih ingin beristirahat.

"Kenapa Dullah?", tanya Azeez kepada orang yang memanggilnya tersebut.

"Awak tak dapat khabar kah?", kata Dullah balas bertanya.

"Tidak. Ada hal kah?", jawab Azeez sambil menggelengkan kepala, sekaligus balas bertanya.

"Jom, korang kena pergi naik atas tembok benteng", kata Dullah sambil mengajak Azeez.

Didalam gerbang, tampak satu regu pasukan kesultanan sedang membawa berbagai macam benda berat. Mereka kemudian menutup gerbang, dan menyusun penghalang dengan menggunakan benda-benda berat, dan batu-batu reruntuhan yang mereka bawa.

"Aih, komandan Hafeez masih lagi diluar", kata Azeez sambil menghentikan langkahnya.

"Tak mungkin lah. Semua komandan lapangan tampak di bahagian barat. Panglima Tun Qawi bagi perintah untuk serang balik bahagian barat bandar. Banyak sudah pasukan pergi kesana", kata Dullah memberitahu.

"Regu kita dapat perintah mengawal gerbang timur, selagi regu lain menyerang ke barat", tambah Dullah panjang lebar.

"Saya paham. Jom lah", kata Azeez kembali meneruskan langkahnya.

Azeez mengikuti gerak regu itu, berjalan menyusuri tembok bagian dalam. Kemudian mereka, satu persatu, menaiki tangga batu sempit, yang membawa mereka ke atas tembok benteng. Kemudian, mereka bergerak cepat menyusuri jalan di atas tembok tersebut, dan mengambil posisi menembak diantara celah tembok. Azeez dapat melihat, hampir enam regu mengambil posisi berjejer diatas tembok, dan mengarahkan senapan sumbu mereka ke arah dataran timur yang luas. Semuanya sudah siap untuk menghadapi serangan tentara infanteri Portugis, pagi ini.

Tepat pukul enam, Azeez dan pasukan kesultanan Melaka yang berada di tembok benteng timur, dapat mendengar suara letupan mesiu saling bersahutan dari arah barat. Pertempuran sudah mulai disana. Pasukan kesultanan Melaka, yang bertugas di gerbang timur, kembali mengecek ulang persiapan mereka, meskipun tidak tampak ada gerakan maju dari deretan tenda-tenda tentara Portugis, yang berdiri di dataran timur. Azeez mengambil teropong tunggalnya dan mengamati tenda-tenda barak tentara Portugis tersebut.

Dia kemudian menurunkan teropongnya, menatap Dullah yang sedang merapihkan sumbu senapannya. Dullah menatap balik, sambil mengangkat alis.

"Apa macam?", tanya Dullah menanyakan hasil pengamatan Azeez.

"Saya tak boleh kira... Macam mana lagi akal bulus Portugis ni...", jawab Azeez dengan kening berkerut.

Kemudian Azeez kembali mengintip dengan teropongnya, tetapi kali ini dia mengamati lima buah kapal Portugis, yang berada paling dekat dengan pantai. Tiba-tiba tubuhnya menegang, dan dengan cepat menurunkan teropongnya. Dullah dapat merasakan ketegangan Azeez, dia menoleh kearah deretan lima kapal perang Portugis tersebut. Dengan mata telanjang, dia dapat melihat kepulan asap dari sisi kanan kelima kapal perang tersebut, disusul suara dentuman meriam bertalu-talu.

Sebelum sempat Dullah berteriak memperingati rekan-rekannya yang lain, suara gelegar ledakan mesiu bertebaran disekitar mereka. Satu peluru meriam kapal perang Portugis meledak tepat dibelakangnya, dan sekaligus melumat tubuhnya. Azeez hanya bisa melompat menghindar, saat peluru lainnya menghantam tembok didekatnya. Pasukan kesultanan Melaka yang berlindung dibalik tembok benteng kota berlarian, mencoba menghindari hujan peluru yang mematikan tersebut.

Sedangkan regu pasukan yang berada diatas tembok, hanya bisa meringkuk berlindung sambil berdoa, agar tidak ada satupun peluru meriam mengenai mereka. Azeez meringkuk dicelah tembok dengan memegang erat kedua lututnya. Suara jatuhan peluru meriam yang memekakkan, menulikan kedua telinganya. Pandangan matanya dikaburkan oleh asap mesiu dan debu tembok, yang berterbangan.

Hampir satu jam mereka dibombardir tanpa henti. Dan ketika suara ledakan itu berhenti, Azeez hanya dapat bergerak merangkak, mencoba menjauhi lokasi tersebut. Pandangannya sangat terbatas, dia hanya dapat mendengar, sayup-sayup, suara jerit dan erangan kesakitan rekan-rekannya yang masih hidup. Paru-parunya sendiri seperti mau pecah karena dipenuhi asap tajam mesiu dan debu.

Sambil merangkak, dia mencoba merasai seluruh anggota tubuhnya sendiri. Secara ajaib, dia tidak menderita luka yang parah, Azeez hanya menderita luka-luka gores ringan, yang hampir merata disekujur tubuhnya. Azeez mencoba merangkak lebih cepat. Dia tahu bahwa dia harus meninggalkan lokasinya saat ini, secepatnya. Azeez merangkak menyusuri jalur jalan diatas tembok, ke arah utara. Perlahan-lahan dia dapat melihat keadaan disekitarnya.

Lokasi, dimana regunya tadi berada, sudah porak poranda. Potongan tubuh manusia bertebaran diantara reruntuhan tembok benteng. Tembakan salvo dari meriam-meriam kapal perang Portugis telah menghancurkan pintu gerbang dan tembok benteng disekelilingnya, dan memberikan jalan masuk bagi Portugis, untuk bergerak masuk kedalam benteng kota. Azeez menemukan beberapa anggota pasukan kesultanan Melaka, yang selamat, bangkit berdiri perlahan-lahan. Mereka tampak seperti orang linglung yang tidak tahu harus berbuat apa.

"Jom, mundur... Mundur...", seru Azeez mengajak mereka meninggalkan tempat itu.

Sebagian dari mereka mengikuti ajakan Azeez. Dengan tertatih-tatih, mereka bergerak mengikuti arah Azeez. Dari sudut matanya, Azeez sekarang dapat melihat gerak maju pasukan Portugis kearah reruntuhan gerbang.

"Jom, mundur... Cepat sikit...", seru Azeez mengajak mereka untuk bergegas.

Dan tanpa banyak berseru lagi, Azeez bergerak menyusuri tembok ke arah utara. Dia tahu bahwa mereka sudah kalah. Saat ini pikiran yang ada dikepalanya adalah, bagaimana caranya menghindar dan bertahan hidup. Azeez menggertakkan giginya, dan memaksakan dirinya untuk berlari, walaupun seluruh tubuhnya terasa sakit. Dari kejauhan, dia dapat mendengar teriakan tentara infanteri Portugis, menyerang masuk melalui gerbang timur, yang sudah hancur.

Tanpa menoleh kebelakang, Azeez terus berlari lurus, menyusuri jalur patroli diatas tembok, sampai akhirnya tiba di pos meriam pertahan kota yang sudah tidak berfungsi, karena telah dirusak oleh pasukan penyusup Portugis, beberapa hari yang lalu. Dari pos meriam itu, Azeez menuruni tangga besi, yang tertanam pada tembok, dengan hati-hati.

Setelah sampai dibawah, anggota pasukan kesultanan Melaka itu berjalan melintasi reruntuhan kota, yang porak poranda akibat tembakan meriam Portugis itu. Azeez terus bergerak, sampai akhirnya dia tiba di kawasan istana kesultanan Melaka. Didepan gerbang istana yang megah tersebut, Azeez akhirnya roboh karena kelelahan, dan karena sudah tidak mampu lagi menahan rasa sakit disekujur tubuhnya.

Chiaki 1511 - Buku SatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang