Chiaki, sang Onna-bugeisha, duduk bersandar pada sebuah batang kayu mati, bersama para kelasi kapal Santo Domingues lainnya, di puncak sebuah bukit di timur kota Melaka. Dari lokasi mereka, yang lebih tinggi dari dataran sekitarnya, gadis itu dapat melihat gerakan pasukan infanteri tentara Portugis, yang bergerak menuju ke dinding tembok benteng sebelah timur. Chiaki juga dapat melihat formasi pasukan kesultanan Melaka yang bergerak untuk menghadang laju pasukan Portugis. Sementara sayup-sayup, telinganya dapat mendengar gegap gempita pertempuran, dibagian barat kota.
Disebelah kiri gadis itu, Contramestre Santo Domingues, Sandro Gomez tampak bersandar malas dengan wajah ditutupi bandana hitamnya. Terkadang suara dengkur dari napasnya, yang bau alkohol, terdengar berat. Sementara, Terceiro Oficial Luiz da Costa duduk dengan lutut terlipat, disebelah kanannya sambil memperhatikan pergerakan tentara infanteri pasukan Portugis. Tangan tuanya memegang pedang panjangnya yang berkilat. Rambut putihnya, yang tipis, dibiarkan tergerai berantakan.
"Hah, tidak ada satu-pun meriam terkutuk dari dalam kota yang menyala. Kau kah yang membuat semua meriam itu diam tak bersuara, senhorita?", tanya si tua Luiz da Costa kepada Chiaki sambil terkekeh pelan.
"Umm...", jawab gadis itu menganggukkan kepala.
"Oi... Oi... Chiaki La Femme Fatale...", kata Luiz da Costa sambil bersiul kagum.
Gadis itu hanya mengangkat bahu, acuh tak acuh, tanpa bersuara. Pandangannya masih tertuju kearah benteng kota Melaka. Matanya yang hitam pekat, mengawasi gerbang timur benteng, yang dijaga ketat oleh pasukan kesultanan Melaka. Dikejauhan, Chiaki dapat melihat kapal Santo Domingues, disusul Marie de la Mar, mengembangkan layar dan bermanuver mendekati garis pantai.
Kemudian terdengar suara letusan meriam dari Santo Domingues, disusul letupan dari Marie de la Mar. Peluru meriam kedua kapal perang Portugis itu menghantam posisi pertahanan pasukan kesultanan Melaka. Ledakan itu terdengar sangat keras, berdentuman. Selama lima belas menit, meriam-meriam dari Santo Domingues dan Marie de la Mar menghujani pasukan kesultanan Melaka. Setelah itu, pasukan kavaleri Portugis maju melakukan serangan, diikuti pasukan infanterinya.
Chiaki dapat melihat tentara kesultanan Melaka bertumbangan, ditembusi peluru tentara Portugis. Asap mesiu dan debu mengepul menghalangi pandangan. Tentara Portugis terus bergerak maju, sambil memuntahkan peluru dari senapan musket-nya. Pasukan kesultanan Melaka, yang terdesak, bergerak mundur memasuki pintu gerbang, dan berlindung dibalik tembok benteng.
"Ah... Ah... Mereka cukup pandai untuk berlindung didalam tembok tebal itu", kata Luiz da Costa, yang ternyata juga mengamati jalannya pertempuran itu. Keningnya yang keriput berkerut, sambil terus menatap pertempuran di sisi timur kota Melaka tersebut.
Tiba-tiba terdengar beberapa tembakan meriam dari dalam kota. Pasukan artileri kesultanan Melaka tampaknya berhasil memperbaiki beberapa meriam, dan mengaktifkannya, untuk menyerang balik pasukan infanteri Portugis. Chiaki tertegun menyaksikan meriam-meriam kota, meletup memuntahkan peluru.
"Heh... Senhorita... Meriam-meriam keparat itu meletus lagi!", kata Luiz da Costa terkejut.
"Hah... Meriam yang mana?", tiba-tiba terdengar suara dari Centomestre Sandro Gomez, yang terbangun dari tidurnya. Sambil mengusap-usap kedua matanya, Centromestre berambut merah itu menyipitkan matanya, mencoba melihat lokasi meriam kota yang mendadak kembali aktif, dan membalas menembak serangan tentara Portugis. Beberapa orang kelasi Santo Domingues, yang berkumpul dipuncak bukit itu, menoleh kearah kota pelabuhan Melaka, melihat ke beberapa pos meriam pertahanan yang aktif kembali tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Chiaki 1511 - Buku Satu
Historical FictionPerjalanan Chiaki Miura, seorang Onna-bugeisha dari klan Miura, melaksanakan tugas terakhir dari ayahnya, untuk menemukan "hidup". ----------------------------------------------------------------------------------------------------------- "History h...