Salju terakhir musim dingin itu jatuh melayang pelan. Pola kristal hexagonal, yang terbentuk saat pembekuan molekul air diudara, tampak bersusun indah seperti bunga bagi mata dengan penglihatan yang tajam. Butiran bunga es itu melayang-layang turun, untuk kemudian jatuh diatas helai-helai rambut hitam seorang gadis cantik, dan mencair saat bersentuhan dengan kulit wajah si gadis yang halus.
Gadis itu mengibaskan kepalanya, mempermainkan salju-salju terakhir musim dingin, yang turun diakhir bulan Februari tersebut. Tiga lapis Hanten - jubah tebal yang membungkus rapat-rapat tubuh langsingnya, terlihat berat. Jejak kaki yang beralaskan waraji, tampak jelas tercetak diatas salju. Dengan langkah-langkah ringan, gadis itu melintasi lapangan luas yang tertutup salju, menuju sebuah pintu besi, yang membatasi halaman dalam benteng dengan halaman luar.
"Oji-sama - paman", sapa gadis itu riang kepada penjaga pintu, yang sedang duduk dengan santai dikursi kayu.
"Hai, Chiaki-sama. Doushite - Kenapa?", tanya penjaga pintu itu sambil berdiri. Rambutnya yang panjang digulung, dan diikat erat dibelakang kepala. Seperti para samurai pada umumnya, sepasang pedang terselip dipinggang laki-laki paruh baya tersebut.
"Oji-sama, tetsu no tobira o akete kudasai - Tolong buka pintunya, paman", pinta Chiaki, sambil tersenyum menatap wajah si penjaga.
"Gomenasai, Chiaki-sama. Ayah nona muda sudah memberikan perintah, bahwa, siapapun, yang mau berpergian keluar benteng, tidak boleh keluar sendirian", kata si penjaga menolak permintaan Chiaki.
"Eeee... Nani?", gumam gadis itu heran, sambil melipat tangannya. Jari telunjuknya menyentuh ujung bibirnya. Dengan pandangan bertanya-tanya, gadis itu menatap wajah si penjaga.
"Itsu kara - sejak kapan, Oji-sama?", tanya Chiaki lagi pelan.
"Kesa kara - sejak pagi ini, Chiaki-sama", jawab sang penjaga singkat.
"Wakarimashita - Baiklah", kata Chiaki sambil menunduk, memberikan salam kepada penjaga itu.
"Otsukaresama desu, Oji-sama", lanjut gadis itu sambil melangkah mundur, dan berputar untuk kembali melintasi halaman masuk, ke bagian dalam benteng. Penjaga itu menunduk, membalas salam hormat Chiaki sampai gadis itu lenyap dari pandangannya, dibalik dinding batu.
Gadis itu berjalan melewati lorong, sampai tiba di halaman dalam, dan berbelok ke kanan menaiki selasar, kemudian melepas waraji dikakinya, dan menanggalkan tiga lapis hanten hitamnya yang tebal dan berat. Setelah dia melepas satu lapis tabi - kaos kaki terluarnya yang basah karena salju, Chiaki melangkah tanpa suara, memasuki ruang pertemuan yang berada di tengah benteng. Ruang pertemuan yang luas itu sekarang kosong, tidak ada kegiatan apa-apa.
"Chiaki-sama...", seru seseorang memangggil Namanya, saat dia berjalan dilorong utama, yang menghubungkan ruang pertemuan utama dengan ruangan-ruangan lainnya. Mendengar namanya dipanggil, gadis itu menghentikan langkahnya, dan menoleh kearah datangnya suara yang memanggil namanya tersebut.
"Dare - Siapa?", balas Chiaki membalas kearah suara itu datang.
"Chiaki...", panggil suara ayahnya dari arah yang sama, dengan arah datangnya suara panggilan sebelumnya.
"Chotto matte - Tunggu sebentar, Oto-san", jawab Chiaki, sambil mempercepat langkahnya, menuju arah suara ayahnya berasal.
Gadis itu berhenti didepan sebuah ruangan, dengan pintu tertutup, diujung lorong utama. Seorang penjaga berwajah bulat berjaga didepan pintu. Dari balik dinding ruangan, terdengar suara beberapa orang sedang berbincang-bincang. Penjaga itu membungkuk memberi salam, saat Chiaki datang menghampiri pintu ruangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Chiaki 1511 - Buku Satu
Historical FictionPerjalanan Chiaki Miura, seorang Onna-bugeisha dari klan Miura, melaksanakan tugas terakhir dari ayahnya, untuk menemukan "hidup". ----------------------------------------------------------------------------------------------------------- "History h...