Cukai

11 3 0
                                    

Amat bin Salli sedang duduk santai di pos jaganya. Sesuai titah yang mulia Sri Paduka Baginda Sultan Mahmud Syah, Sultan Melaka, dia tampak menagih dan mencatat cukai gerbang dari semua orang yang melewati gerbang kota. Sesekali tampak wajah kesal orang yang melintas saat membayar cukai kota. Tetapi Amat tidak peduli, bukan dia yang membuat aturan. Dia hanya menjalankan perintah sultan. Siapa yang mau menentang? Habis riwayatnya bila berani menentang titah sultan.

Meskipun demikian, Amat memahami keberatan rakyat kota pelabuhan tersebut. Setiap tahunnya, cukai kota selalu bertambah. Tahun lepas kemarin cukai kota naik berlipat ganda. Lalu sekarang kabarnya dalam satu - dua minggu kedepan cukai akan naik lagi. Belum lagi banyaknya jenis cukai yang dikenakan dan harus dibayar oleh rakyat, seperti; cukai dagang, cukai kebersihan, cukai tembakau, cukai kedai, cukai sandar perahu, dan lain sebagainya.

Kegemaran Sultan Mahmud Syah menaikkan cukai mendapat sorotan di kalangan elit istana. Terlebih lagi dari kalangan saudagar dan pedagang, terutama saudagar dari Gowa, India. Kalangan saudagar dari India ini sering sekali keberatan dengan kebijakan cukai Kesultanan, dan banyak menggunakan isu rasial dan agama saat menentang keputusan-keputusan istana yang bagi mereka merugikan.

Kerap kali mereka memainkan isu agama, terutama terhadap saudagar dari Tiongkok, alih-alih bersaing secara sehat. Saudagar - saudagar dari India ini, terutama yang beragama islam, selalu berusaha mempengaruhi setiap keputusan Sultan, sementara mereka sudah memperoleh banyak fasilitas dan kemudahan yang diberikan oleh pihak istana di Melaka. Hal seperti inilah yang memancing sikap permusuhan dari saudagar dan bangsa lain yang ada di Melaka.

Selain itu mereka juga menerapkan isu rasial terhadap di masyarakat Melaka, dan berlindung dibawah naungan pejabat - pejabat istana yang korup apabila berhadapan dengan kaum pribumi Melayu. Permasalahan-permasalahan ini pada akhirnya memecah-belah rakyat Melaka dalam kelas-kelas sosial. Tanpa disadari oleh pihak kesultanan, dalam kalangan pribumi Melayu-pun sudah terjadi perpecahan antara bangsawan istana dengan rakyat jelata. Perpecahan yang terbukti dikemudian hari akan menghancurkan sendi-sendi kehidupan di kota pelabuhan Melaka.

Kondisi sosial yang seperti inilah yang akhirnya membuat rapuh persatuan dan kerukunan rakyat kesultanan Melaka yang hebat. Keadaan yang kemudian dipergunakan oleh Estado da India Alfonso d'Alburqueque untuk melemahkan situasi internal kesultanan Melaka. Sebelum sang Admiral memutuskan untuk memulai perjalanan ke Melaka, dia telah menghubungi beberapa saudagar Tiongkok dan kalangan dalam istana Melaka. Mereka merancang sebuah rencana untuk menjatuhkan kekuasaan Sultan Mahmud Syah.

"Aih... cukai naik lagi?", protes seorang nenek kepada Amat Salli. Nenek dengan keranjang penuh sayur mayur yang ada dipunggung menatap Amat. Keriput dan guratan wajah hasil tempaan bertahun-tahun kehidupan itu, menampakkan nada frustasi dan amarah.

"Macam mana boleh, Tuan? Saya belum lagi berjualan, baru sahaja tiba.", lanjutnya protes dengan nada tinggi.

"Nek... Ini undang-undang kerajaan, titah Sri Paduka Baginda Sultan. Bukan pulak saya yang buat. Kalau tak ada wang cukai, sila pusing balik lah", jawab Amat Salli tidak kalah sengit.

"Tidak! Saya mahu limpas, mahu berdagang. Lepas dapat wang barulah boleh awak tarik cukai! Apa boleh ini berlaku? Masuk bandar kena cukai, keluar bandar pon nanti kena cukai lagi?!", balas nenek itu tidak mau kalah. Amarahnya tampak semakin memuncak.

Keributan yang terjadi antara mereka menarik banyak perhatian orang yang lalu-lalang di gerbang kota. Banyak orang yang berhenti sejenak menyaksikan pertengkaran mereka. Beberapa orang lainnya tampak berbisik-bisik satu sama lainnya menyaksikan perdebatan sengit tersebut.

Dari kejauhan tampak seorang hulubalang kesultanan melangkah cepat mendekati kedua orang yang sedang bertengkar tersebut. Sudah agak lama dia mengawasi pertengkaran itu dari dalam ruangannya. Dia melintasi antrian panjang orang-orang yang ingin memasuki kota. Parasnya rupawan, tubuhnya kekar, penampilannya sangat rapi dan berwibawa dengan seragam pasukan kesultanan. Hazeer Wan Ali, nama laki-laki rupawan itu, menyapa Amat Salli dan si nenek. Dibalas dengan sikap hormat oleh Amat Salli dan hanya ditatap oleh si nenek dengan bibir mencibir.

"Apa yang sudah berlaku, Mat?", tanya Hazeer kepada Amat Salli. Tampak pria rupawan ini memiliki kedudukan dan pangkat lebih tinggi darinya. Amat Salli-pun menjelaskan kepada Hazeer Wan Ali apa yang menyebabkan pertengkaran antara dirinya dengan si nenek.

Hazeer mendengarkan dengan seksama penjelasan dari Amat Salli, meskipun sesekali terdengar si nenek menimpali perkataan Amat Salli dengan suara amarah yang tinggi.

"Baik... baik, Saya pon faham", kata Hazeer setelah mendengarkan penjelasan Amat. Lalu dia memandang wajah si nenek dengan tatapan prihatin bersimpati.

"Begini sahaja, saya yang bayar cukai masuk bandar. Mat, awak tak payah penat-penat tulis di senarai cukai. Biarlah hari ini dia boleh limpas", lanjut Hazeer sambil tersenyum kepada si nenek. Si nenek terkejut sekaligus senang mendengarnya. Pemuda rupawan ini benar-benar seorang Melayu sejati, pujinya dalam hati.

"Jom. Sila...", kata Hazeer mempersilahkan si nenek memasuki gerbang kota. Si nenek dengan haru mengucapkan rasa terima kasih berkali-kali. Air mata mengambang di kedua pelupuk mata tuanya. Semoga hari ini menjadi hari yang baik baginya, dan bagi pemuda rupawan itu, do'anya.

Amat Salli memandang si nenek yang melangkah masuk dan menghilang ke dalam kerumunan orang ramai. Lalu dia mengangguk kepada Hazeer, sebelum duduk kembali ke mejanya dimana antrian panjang sudah menunggu untuk memperoleh izin memasuki gerbang kota.

Hazeer Wan Ali, kembali ke dalam ruangannya. Hulubalang kesultanan Melaka yang rupawan tersebut lalu melanjutkan tugas-tugasnya, seakan-akan keributan yang baru saja dia tengahi adalah hal yang biasa.

Awang Tapa yang hari itu juga bertugas di pos yang sama berdiri tercenung mengamati peristiwa tadi. Tampak ada pemikiran tertentu yang mengganggu benaknya. Cukai yang dibebankan oleh Sri Baginda Sultan semakin hari semakin banyak dan semakin tinggi. Cukai yang pasti memberatkan rakyat Melaka yang hidup diluar tembok benteng kota, yang sebagian besar adalah rakyat dengan penghasilan minim dibawah rata-rata.

Rakyat yang hidup diluar tembok sebelah barat rata-rata merupakan kaum pribumi Melayu yang hidup dari berjualan ikan hasil tangkapan dan berjualan sayur hasil perkebunan. Mereka hidup dalam rumah-rumah kayu berhimpitan yang rapat, berjuang dengan sekuat tenaga untuk mencari rejeki dan menaikkan taraf hidup mereka agar dapat hidup lebih baik. Berusaha dengan segala daya upaya untuk dapat pindah tinggal di dalam tembok benteng, didalam rumah bata, dan tinggal lebih dekat dengan kemakmuran.

Chiaki 1511 - Buku SatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang