Gajah

4 2 0
                                    

Terceiro Oficial Santo Domingues, Luiz da Costa, berdiri limbung diatas reruntuhan tembok gerbang timur kota pelabuhan Melaka, yang sudah hancur porak poranda. Rambut putih yang menghiasi kepalanya, dibiarkan bebas berkibaran ditiup angin. Disebelah kirinya, Centromestre Sandro Gomez, duduk diatas sebongkah batu, yang berasal dari reruntuhan tembok benteng, sambil menyeringai seperti biasa. Mereka sudah bergerak maju kedalam tembok benteng kota, dari posisi awal mereka. Tugas mereka adalah mengisi kekosongan, antara tentara infanteri yang maju, menyerang dengan tentara artileri ringan, yang berjaga diluar benteng, dan mengawal kelancaran transportasi suply amunisi ke tentara infanteri di garis depan.

Dari kejauhan terdengar suara letupan-letupan mesiu, baik dari senapan musket tentara infanteri Portugis, ataupun dari senapan suluh pasukan kesultanan Melaka. Pertempuran antara kedua pasukan tersebut, semakin mendekati istana kesultanan Melaka, dimana Sultan Melaka dengan gigih masih memimpin pertempuran, dan melakukan perlawanan terhadap serbuan tentara Portugis.

"Tidak lama lagi peperangan ini selesai. Kau mau kemana lagi setelah ini berakhir amigo?", kata CentromestreSandro Gomez, mendadak bertanya kepadanya. Pelaut senior itu mengangkat kedua alis matanya, mendengar pertanyaan Centromestre berambut merah itu.

"Pulang amigo, kembali ke tanah pertanian yang sejuk, dikaki bukit-bukit Medeira yang indah", jawab si tua Luiz da Costa, setelah berpikir sejenak sambil menghela napas panjang.

"Kau yang masih muda teruslah berlayar menembus kaki langit, amigo. Carilah lautan-lautan baru yang belum pernah ditempuh dan negeri-negeri jauh yang indah. Aku sudah terlalu tua untuk semua ini", sambungnya pelan.

"Ah... Si... si... Tetapi sepertinya berlayar tanpa kakek-kakek cabul seperti dirimu, akan terasa sangat membosankan", kata Centromestre berambut merah itu sambil menyeringai lebar.

"Oy...Oy... Aku hanya memberikanmu kesempatan untuk dapat menikmati pemandangan indah wajah senhorita Chiaki lebih lama, amigo", gurau pelaut senior itu sambil terkekeh.

Sandro Gomez tertawa serak dibalik seringai lebarnya, menimpali kekehan si tua Luiz da Costa. Sementara Chiaki, gadis cantik dari Nihon itu, hanya berdiri menatap kearah istana kesultanan Melaka, dalam diam. Gadis itu seperti biasanya, berdiri diam tanpa mengeluarkan suara.

Gadis cantik itu menatap tajam ujung-ujung atap kayu istana kesultanan yang megah, lalu sambil memiringkan kepala dia mengamati jalannya pertempuran yang terjadi disana. Chiaki melihat sesuatu yang sangat menarik perhatiannya. Dan kemudian terdengah suara laungan hewan, yang disusul dengan laungan-laungan lainnnya. Sontak semua mata yang ada di gerbang timur, menatap kearah datangnya laungan tersebut.

"Ay, ay... pasukan gajah", seru si tua Luiz da Costa.

"Gajah? Hee...?", gumam Chiaki heran.

Gadis itu belum pernah melihat hewan sebesar itu secara langsung. Selama ini, dia mengetahui hewan tersebut dari lukisan-lukisan, dan cerita-cerita pengembaraan ayahnya. Dengan rasa ingin tahu yang besar, Chiaki berjalan ke arah istana kesultanan Melaka, sebelum tangan Centromestre Sandro Gomez meraih bahu kanannya, mencegahnya melanjutkan langkah. Sejenak Chiaki menoleh dan menatap wajah Centromestre Santo Domingues itu, heran mengapa dia dihentikan. Sementara Terceiro Oficial Luiz da Costa mengapitnya dari kanan.

"Senhorita Chiaki. Dame. Jangan kesana. Tugas kita adalah berjaga disini", kata Sandro Gomez, mencegah gadis itu untuk mendekati wilayah pertempuran.

Sementara Luiz da Costa meraih teropong tunggalnya dari balik saku baju, dan menyorongkannya kepada Chiaki sambil terkekeh-kekeh. Gadis itu meraih teropong tunggal tersebut, dan mengintip melalui lensanya. Dia mengarahkan teropong itu kearah datangnya delapan hewan besar itu.

Chiaki dapat melihat delapan ekor hewan besar tersebut, keluar dari sisi dalam istana kesultanan Melaka. Semua gajah-gajah perang itu mengenakan baju zirah berwarna keemasan yang anggun. Sepasang gading hewan-hewan tersebut, dilengkapi dengan sarung logam runcing yang melengkung. Gajah-gajah itu berlari dengan mengayunkan sepasang gading mereka kekiri dan kekanan, menusuk dan melempar semua benda, yang berada didepan jalan mereka. Sementara dari atas punggung hewan besar tersebut, anggota pasukan kesultanan Melaka menembakkan senapan-senapan sumbu ke tentara Portugis, yang berlarian menghindari terjangannya.

"Hee... Sugoi...", kata gadis cantik itu terkagum-kagum, menyaksikan gerak maju hewan-hewan besar tersebut.

Sandro Gomez dan Luiz da Costa saling bertatapan sambil menggelengkan kepala, dan tersenyum lebar, sesaat setelah melihat wajah Chiaki yang terkagum-kagum dengan gajah-gajah tersebut. Untuk sesaat, mereka berdua dapat melihat wajah sebenarnya seorang Chiaki Miura. Wajah cantik seorang gadis remaja yang polos dan lugu. Mereka berdua menyaksikan wajah asli gadis itu dalam sepuluh detik, sebelum kembali ke wajah tanpa ekspresi dengan tatapan dingin.

"Ahoy...", gumam si tua Luiz da Costa singkat, sementara Sandro Gomez menyeringai lebar.

Gadis Nihon itu mengikuti semua jalannya pertempuran brutal tersebut, dari balik teropong. Gajah-gajah itu bergerak membentuk formasi segitiga terbalik, dimana gajah yang paling besar berada diujung barisan paling belakang, dan bertindak sebagai pemimpin pasukan. Pasukan infanteri Portugis yang berada paling depan, mau tidak mau, harus berhadapan langsung dengan salah satu hewan paling kuat di muka bumi.

Meskipun sudah memiliki pengalaman menghadapi pasukan gajah sewaktu berperang dengan raja India di Gowa sebelumnya, tentara infanteri Portugis terlihat sangat kesulitan dalam menghadapi gajah-gajah terlatih yang dimiliki kesultanan Melaka. Berkali-kali upaya tentara Portugis untuk menjerat kaki, dan leher gajah, menemui kegagalan. Sampai akhirnya mereka memutuskan untuk menembaki gajah-gajah tersebut, baik dengan senapan musket maupun dengan meriam ringan, yang dibawa naik dari regu tentara artileri Portugis, yang berjaga diluar gerbang timur.

Chiaki menyaksikan, puluhan senapan musket Portugis ditembakkan kearah hewan-hewan besar itu. Dibutuhkan puluhan peluru untuk merobohkan seekor gajah. Dan bahkan untuk mengalahkan gajah terakhir yang paling besar, diperlukan beberapa kali tembakan dari empat meriam kecil tersebut.

Perlawanan pasukan gajah kesultanan Melaka itu sangat berdampak pada laju serangan tentara Portugis. Pasukan infanteri Portugis, terpaksa menahan gerak maju serangannya, bersiap-siap menunggu kejutan selanjutnya dari pasukan kesultanan Melaka. Dari kejauhan, Chiaki dapat melihat seseorang, yang tampaknya sangat penting bagi kesultanan Melaka, dipapah keluar dari istana kesultanan, dengan perlindungan penuh pasukan kesultanan Melaka, kearah utara benteng kota.

Setelah itu terjadi jeda yang cukup lama, sebelum tentara Portugis kembali memutuskan untuk meneruskan gerak majunya, menyerang istana kesultanan Melaka, yang ternyata telah ditinggalkan oleh seluruh pasukan kesultanan Melaka. Siang tengah hari itu, 10 Agustus 1511, istana kesultanan Melaka telah jatuh ke tangan Portugis.

"Arigatou, da Costa-sama", kata Chiaki dengan sopan, dan kemudian menyerahkan kembali teropong tunggal itu kepada Luiz da Costa, sambil membungkuk berterima kasih.

"No problema, meu amour", kata pelaut tua itu sambil terkekeh.

Gadis itu menoleh kearah laut, dan memandangi deretan kapal perang Portugis yang buang sauh di teluk Melaka. Terdengar helaan nafas panjang dari hidung gadis cantik itu.

"Kono sensō wa owatta - perang sudah berakhir", kata Chiaki lirih.

Sementara itu, baik Centromestre Sandro Gomez dan Terceiro Oficial Luiz da Costa, hanya saling pandang tidak mengerti sepatah katapun ucapan gadis Nihon itu.

Chiaki 1511 - Buku SatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang