Awal - Agustus 1511

6 3 0
                                    

Alvaro Martins, tripulação marinha sênior kapal laut Portugis Santo Domingues, duduk bersandar pada sebuah peti kayu besar. Disampingnya kanannya, Contramestre Sandro Gomez sedang memejamkan mata, tertidur dalam duduknya. Disekeliling mereka berkumpul sekitar enampuluhan orang pasukan dari Santo Domingues. Sudah satu minggu mereka berjaga di bukit sebelah timur kota pelabuhan Melaka. Dan sudah beberapa kali mereka bertempur dengan pasukan kesultanan Melaka, untuk menahan gerak laju mereka keluar dari benteng kota pelabuhan tersebut.

Sejauh ini tidak ada seorang-pun korban jiwa yang jatuh dari pihak mereka. Tidak ada satu senjatapun, yang dapat menembus baju zirah tentara Portugis yang terbuat dari besi tempa. Pistol tarkul, senapan sumbu, pedang dan tombak, yang digunakan pasukan Melaka, hanya bisa melukai bagian tubuh yang tidak mematikan.

Hal sebaliknya terjadi pada pihak kesultanan Melaka. Mungkin sudah lebih dari tiga ratus korban jiwa berjatuhan, dari pihak mereka. Senapan musket dan pistol tarkul pasukan Portugis, memberikan luka fatal pada sebagian besar pasukan Melaka, bahkan sebelum mencapai jarak jangkauan serangan mereka. Sebagian besar pasukan Melaka terkorban, sebelum mereka dapat menyentuh ujung rambut pasukan Portugis.

Dari atas bukit ini, para personil tentara Portugis dapat menyaksikan serangan meriam-meriam kapal menggempur kota. Yang dibalas oleh tembakan meriam kesultanan Melaka dari benteng pertahanan bagian timur kota. Sudah enam hari meriam-meriam itu menghancurkan semua benda, yang ada dalam lintasan pelurunya.

Asap hitam membumbung tinggi dari berbagai wilayah kota, menghiasi langit diatas Melaka yang cerah. Bau amunisi kadang melintas saat hembus angin mengarah ke barak mereka. Sungguh sebuah kehancuran besar-besaran.

Meskipun menghadapi penghancuran dari serangan bombardier meriam-meriam Portugis, kota pelabuhan itu tidak menyerah. Pasukan kesultanan tetap gigih bertahan menghadapi serangan dan blokade kapal-kapal perang Portugis. Kesultanan Melaka menunggu datangnya bantuan dari pasukan kesultanan di wilayah dan kota-kota yang lain. Sri Baginda Sultan Mahmud Syah sudah mengirim puluhan kurir ke berbagai wilayah kesultanan Melaka. Meskipun pasukan Portugis berusaha sekuatnya mengurung kota, tetap ada beberapa kurir yang berhasil lolos.

Di salah satu sudut hutan tropis yang membentang dibelakang mereka, Alvaro Martins melihat sosok perempuan muda bertubuh langsing, berlari-lari kecil dengan langkah ringan, keluar dari batas hutan. Ditangan kanannya, gadis itu membawa seekor kelinci hutan berwarna coklat. Kehadiran Chiaki Miura, gadis cantik berperawakan langsing tersebut, selalu menjadi pusat perhatian para tentara dan pelaut.

Beragam desas-desus menyebar di kalangan pelaut mengenai kehadiran gadis Nihon simpanan Capitão Hugo Fonseca itu. "Diabo feminino branco - Setan betina putih", gumam beberapa pelaut, sambil memandang gadis Nihon tersebut.

Terceiro Oficial Santo Domingues, si tua Luiz da Costa, menjatuhkan pantatnya disamping Alvaro Martins. Pelaut tua itu melepas sepatu botnya dan meluruskan kaki kurusnya, sambil menggerutu. Diraihnya pedang panjang dari pinggang yang mengganggu rusuknya, melepas gesper, dan menaruhnya di samping sepatu bot tua berwarna coklat kusam.

"Kau lihat dia kah, amigo", katanya kepada Alvaro. Bibir tuanya yang keriput dimonyongkan kearah Chiaki. Alvaro Martins hanya mengangkat bahu, sambil melirik ke wajah keriput pelaut tua yang dipenuhi rambut putih kasar tersebut.

Chiaki berjalan mendekat dan duduk bersimpuh, mengambil tempat disisi kanan si tua Luiz da Costa. Hasil buruannya diletakkan dihadapannya. Dia membungkuk memberi hormat kepada bangkai kelinci hutan tersebut, sebelum mengulitinya dengan sebilah pisau tajam yang diselipkan dipinggang.

Dengan cekatan dia menyayat kulit hewan pengerat berbulu tebal itu, dan menelanjanginya. Dalam waktu singkat bangkai kelinci tersebut sudah bersih dari bulu. Kemudian Chiaki membersihkan isi perut, memotong kepala, dan seluruh tungkainya. Setelah itu, dia membasuhnya dengan air bersih dari sebuah botol minum, yang ada disamping sebuah peti kayu.

Si tua Luiz da Costa yang sedari tadi memperhatikan kegiatan gadis itu, bergeser mendekat. Sambil menunjuk kulit kelinci yang tebal dia bertanya, "Senhorita, boleh buat saya? Bulu-bulu ini?".

"Um.", jawab Chiaki singkat sambil menganggukkan kepala. Dengan hati-hati, gadis itu mengangkat onggokkan kulit kelinci tersebut, membersihkannya dengan cara menepukkan telapak tangannya pada kulit tersebut, dan kemudian memberikannya kepada si tua Luiz. Pelaut tua itu tersenyum lebar, memamerkan gusi hitam tanpa gigi.

"Obrigado meu amor", katanya berterima kasih sambil terkekeh.

Gadis itu hanya mengangguk, dan meneruskan kegiatannya memotong, dan menyayat daging kelinci itu tipis-tipis. Sambil menatap ke arah kota yang sedang dibombardir, Chiaki menoleh kepada dua pelaut disebelahnya. Dia membungkuk sopan sebelum mengunyah daging mentah hasil buruannya, perlahan-lahan.

"Itadakimasu", katanya sopan kepada kedua orang tersebut. Alvaro Martins dan Luiz da Costa saling berpandangan menyaksikannya. Alvaro menyumpah pelan, "Madre Dio..."

Dari kejauhan, Primeiro official, Diogo Cabral keluar dari sekoci Santo Domingues dan berjalan kearah mereka, sambil berseru memanggil Terceiro Oficial si tua Luiz da Costa dan Contramestre Sandro Gomez. Luiz da Costa melompat berdiri dan membangunkan Sandro. Pelaut berambut merah itu terbangun dan berdiri.

Keduanya berjalan mendekati Diogo Cabral dan memberikan salute hormat. Diogo Cabral membalas salute mereka singkat. Mereka tampak berbicara serius dibawah sorot pandangan ingin tahu dari puluhan pasang mata disekeliling mereka.

Dari kejauhan, Chiaki sambil bersimpuh, mengamati ketiga orang marinheiro Santo Domingues tersebut bercakap-cakap. Gadis cantik itu mengunyah daging kelinci mentahnya perlahan-lahan. Tampak ia menikmati setiap kunyahan daging merah tersebut, sebelum menelannya.

"Diabo feminino branco", gumam Alvaro Martins yang duduk disebelah Chiaki bergidik. Sudah lama dia memperhatikannya menikmati satu ekor kelinci malang tersebut. Chiaki menolehkan wajah orientalnya ke arah Alvaro, dan bertanya pelan, "Nani?"

Alvaro tidak menjawab pertanyaan Chiaki. Dia hanya mengangkat bahunya, acuh tak acuh.

Kemudian tampak Terceiro Oficial Luiz da Costa berseru memanggil dan mengumpulkan pemimpin regu tentara. Beberapa orang tentara berdiri dan menghampirinya. Sedangkan Diogo Cabral berjalan kembali ke sekoci, dan pergi kembali ke kapal Santo Domingues.

Contramestre Sandro Gomez berjalan kembali ke tempat Alvaro Martins dan Chiaki Miura berada. Sesampainya didepan gadis itu, dia berseru memanggil beberapa nama. Tidak seberapa lama, selusin pemimpin peleton maju dan berdiri melingkar mengelilinginya. Setelah membalas salute dengan singkat, Contramestre berambut merah tersebut menyampaikan instruksi dari Diogo Cabral.

"Senhores. Besok pagi penembakan meriam dari kapal dan artileri akan dihentikan. Kita akan memulai serangan dari sisi timur bersama pasukan dari Marie de la Mar, Maria de Rose, dan Emilie. Sedangkan pasukan dari Sao Paulo, Arch de la Mar dan Flor de la Mar akan menyerang sisi barat. Kita disisi timur akan dipimpin oleh Admiral Don Joao De Lima, sementara sisi barat akan dipimpin langsung oleh Estado da India, Admiral Alfonso d'Alburqueque.", kata Sandro Gomez kepada mereka.

Lalu dia mengambil sepotong dahan kering, dan menggoreskan beberapa bentuk instruksi penyerangan besok di tanah. Seluruh komandan pasukan disana menyimak penjelasan Centromestre itu dengan seksama.

"Malam ini kita istirahat penuh. Hanya regu jaga malam saja yang piket, yang lainnya tidur. Besok pagi, kita akan mulai tepat pukul 6. Jadi siapkan semua peralatan", kata Sandro Gomez menutup briefingnya. Selusin orang itu memberi salute, dan balik badan kembali ke pasukannya untuk memulai briefing dimasing-masing peleton.

"Bueno! Akhirnya. Jangan sampai berkarat kita diam disini", kata Alvaro Martins sambil mengepalkan tangan. Dan bangkit berdiri meninggalkan Chiaki yang masih duduk bersimpuh. Pelaut senior itu mengikuti selusin orang tadi ke tempat peletonnya berada.

Contramestre Sandro Gomez berlutut dihadapan gadis itu. Sambil menyeringai dia berkata, "Senhorita Chiaki. Ada pesan khusus dari Capitão Hugo Fonseca untukmu. Besok kamu ikut saya, jangan bergerak terlalu jauh. Kemanapun saya pergi dan dimanapun saya berada, kamu ikut. Jangan jauh-jauh dari regu kita. Compreende?".

Gadis itu hanya mengangguk pelan, sambil terus mengunyah daging kelinci mentahnya.

Chiaki 1511 - Buku SatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang