Chiaki berjalan pelan, tanpa suara, melintasi lorong di dalam benteng Arai. Langkah kakinya ringan, diatas lantai kayu berwarna coklat tua berlapis plitur yang bersih. Gadis itu melewati beberapa ruangan, yang terdapat di bagian paling tertutup benteng, yang dikhususkan hanya untuk anggota keluarga terdekat, dan orang-orang terpercaya. Dia melangkah menuju ujung lorong, lalu berbelok ke kiri, memasuki sebuah ruangan luas yang diperuntukkan bagi keluarga inti.
Ruangan persegi empat itu beralaskan anyaman tatami, berwarna krem kekuningan, yang lembut. Disebelah timur ruangan, terdapat altar untuk berdo'a. Pada dinding dibelakang altar tersebut, tergantung dua buah lukisan kaligrafi berukuran besar yang indah, mengapit di kanan kirinya. Lukisan dikiri altar bergambar empat ekor burung pipit yang bertengger di pohon bamboo, dan lukisan di kanan altar bergambar seorang samurai berpakaian lengkap, sedang menghunus katananya. Pada sisi kanan dan kiri kedua lukisan, tertulis dua puisi dengan kaligrafi yang cantik. Dua lukisan besar tersebut, dibuat oleh seorang pelukis kaligrafi terkemuka, atas pesanan Yoshiaki Miura, kakek buyut Chiaki, yang juga kakek dari seorang jenderal perang ternama dari klan Minamoto.
Sedangkan pada sisi sebelah barat ruangan itu, terdapat deretan rak dan lemari, yang berisi beragam koleksi senjata pusaka milik anggota keluarga, seperti tiga buah pedang katana milik Yoshizumi Mura, yang digunakan pada perang Dan-no-ura, yang disusun sedemikian rupa sehinga tampak rapi. Pedang katana milik kakek Chiaki, Yoshimura Miura, yang digunakan pada perang Jōkyū yang terkenal, juga termasuk dalam deretan koleksi senjata itu.
Sebuah pintu besar berlapis anyaman bamboo, yang menghadap ke taman, terdapat di sebelah utara ruangan pribadi keluarga tersebut. Chiaki bisa melihat Yoshiatsu Miura, ayahandanya, duduk bersila dibelakang meja pendek persegi panjang, sambil menulis sebuah surat. Gadis itu melangkah masuk, dan menggeser menutup pintu kayu dibelakangnya. Chiaki kemudian duduk bersimpuh, sambil membungkuk kearah ayahnya. Yoshiatsu Miura menganggukkan kepala membalas hormat anak gadisnya, dan meneruskan kegiatannya menulis surat sampai selesai.
"Konbanwa... Chiaki", tegur Yoshiatsu, sambil menatap anaknya dalam-dalam.
"Eeee... Konbanwa, Oto-san", jawab gadis itu lirih.
"Chiaki. Anata wa genki desu ka?" tanya Yoshiatsu sambil melipat surat yang baru saja diselesaikannya, dan memasukkannya ke dalam amplop.
"Genki desu, Oto-san", jawab Chiaki singkat.
"Souka...", kata Yoshiatsu sambil membakar lilin, dan meneteskannya pada lipatan tutup amplop. Disisihkannya amplop tertutup itu ke samping, dan meletakkan lilin yang sudah dingin ke bawah meja.
"Chiaki, coba ceritakan pelajaran dan pelatihan yang kamu lakukan bulan ini... Pelan-pelan saja", kata ayahnya.
"Eeetoo..., Zenbu - Semuanya?", tanya gadis itu dengan ragu.
"Zenbu", jawab ayahnya menegaskan sambil mengangguk.
Chiaki menarik nafas dalam-dalam, sebelum mulai menceritakan semua kegiatannya dalam satu bulan terakhir. Seperti biasa, ayahnya selalu menanyakan hal yang sama setiap bulan. Chiaki sebenarnya agak bingung menceritakannya, karena dalam enam bulan terakhir, dia menjalani kegiatan rutin yang sama. Semua pelajaran dan latihan yang dia terima, semua masih sama. Semua teknik penguasaan Naginata dan katana masih sama. Pelajaran penguasaan chanoyu - upacara membuat teh juga sama. Latihan fisik dan penguasaan nafas juga sama. Sudah selama enam bulan ini, semua yang dilakukannya selalu sama, berulang-ulang.
Gadis itu sampai bosan melakukan kegiatan yang sama, terus menerus, selama enam bulan. Dia sampai hafal semuanya diluar kepala tanpa perlu diingat-ingat. Semuanya sudah dapat dia lakukan tanpa berfikir, saking hafalnya. Bahkan sering kali saat berlatih tanding, Chiaki memikirkan hal lain, sementara tubuhnya tetap melakukan gerakan menyerang, bertahan, atau menghindar, tanpa disadarinya. Gadis itu juga seringkali menyelesaikan latihannya, tanpa menyadari bahwa kegiatan itu sudah selesai. Semuanya sudah menjadi rutinitas, tanpa harus berpikir.
Dan meskipun Chiaki menyampaikan hal yang sama, setiap bulan, kepada Yoshiatsu, ayahnya tetap menyimak semua yang dia sampaikan, dengan seksama. Bahkan ayahnya selalu mengatakan hal yang sama, setiap kali menyaksikannya berlatih, "Kiba no nai tora, mattaku yakunitatanai - Seekor harimau yang tidak bertaring sama sekali tidak berguna"
Yoshiatsu Miura duduk diam, setelah mendengar seluruh perkataan Chiaki. Kedua ayah beranak itu berada dalam keheningan cukup lama. Tidak ada seorangpun yang memulai berbicara. Tiba-tiba dalam keheningan, Yoshiatsu meraih fude - pena bamboo, yang tadi dipakai untuk menulis, dan melemparkannya lurus kearah jantung Chiaki didepannya. Gadis itu, dengan gerakan yang cepat, mengelak dengan memutar bahu, dan memiringkan tubuhnya ke kanan. Fude itu melesat berdesis melewati Chiaki, dan menancap kuat di lemari kayu tempat penyimpanan koleksi senjata, dibelakangnya.
"Eh... Oto-san...?", kata gadis cantik itu terkejut.
Chiaki menoleh, bolak-balik, kearah fude yang tertancap dilemari dan wajah ayahnya. Matanya memancarkan kebingungan dengan apa yang terjadi. Yoshiatsu tersenyum samar, melihat gerakan anaknya menghindari lemparan maut fude-nya. Sambil menarik nafas dalam-dalam, dia mengambil amplop surat yang baru diselesaikannya, dan meletakkannya dihadapan Chiaki.
"Chiaki-sama, ambil dan simpan surat ini. Nanti pada waktunya kamu buka, baca, dan hafalkan isinya", kata Yoshiatsu.
Dengan pandangan ragu-ragu, gadis itu melirik ke amplop putih bersegel tersebut, dan perlahan-lahan menyentuh surat dengan kedua tangannya.
"Ambil dan simpan surat itu", ulang ayahnya, kali ini dengan suara lebih tegas.
"Eh... Hai", jawab Chiaki segera sambil mengambil amplop putih bersegel itu, dan menyelipkannya ke dalam yukata biru mudanya.
Kemudian Yoshiatsu menganggukkan kepala, tanda pembicaraannya dengan Chiaki sudah selesai. Gadis itu menatap wajah ayahnya dengan heran. Itu saja? Lalu kenapa dia mau membunuhku dengan lemparan fude tadi? Apakah aku telah melakukan kesalahan sebelumnya? Kesalahan besar yang tidak aku ketahui sehingga ayah mau membunuhku?, katanya membatin. Berbagai dugaan berkelebat dibenaknya.
Yoshiatsu menatap wajah cantik anaknya yang tampak kebingungan. Lalu bertanya singkat, "Nani - kenapa?"
"Oto-san, Gomenasai!", kata Chiaki, lalu dia bersujud didepan ayahnya meminta maaf.
"Ayah, maafkan kalau aku telah melakukan kesalahan", katanya dengan suara bergetar ketakutan, dan hampir menangis. Yoshiatsu menarik nafas dalam-dalam, berdiri, dan menghampiri Chiaki. Kemudian dia berdiri dihadapan gadis itu.
"Chiaki, angkat kepalamu", kata Yoshiatsu kalem.
Gadis itu mengangkat kepalanya, dan menengadah menatap wajah ayahnya dengan pandangan memelas. Air mata mulai mengambang dikedua kelopak matanya. Yoshiatsu tersenyum dan membelai lembut kepala Chiaki, mengacak-acak rambut hitamnya. Anak perempuannya ternyata sudah salah mengerti alasan Yoshiatsu melakukan gerakan berbahaya tersebut.
Gadis tidak memahami, bahwa saat dia bisa menghindari lemparan fude dari ayahnya, berarti semua latihannya, sudah selesai. Semua pengulangan dan rutinitas yang dijalani Chiaki selama bertahun-tahun, tidak hanya bertujuan untuk melatih kekuatan dan kecepatan ototnya saja, tetapi juga membangun refleks dan muscle memory. Muscle memory adalah suatu keadaan dimana tubuh akan bergerak sesuai ingatan, tanpa otak menyadarinya.
"Chiaki, kesayangan ayah. Daijoubu...", kata Yoshiatsu, sambil terus membelai kepala putri satu-satunya tersebut.
Melihat wajah ayahnya yang tersenyum, gadis itu tidak bisa membendung lagi air matanya. Perasaan ketakutan, menyesal, dan kebingungan, bercampur aduk didadanya. Sebutir air mata jatuh mengalir dipipinya. Lalu sambil terisak-isak, Chiaki memeluk kedua kaki ayahnya. Tangisnya kemudian pecah membahana memenuhi ruangan.
"Oto-san... Gomen... nasai...", katanya lirih disela-sela isak tangisnya.
Yoshimoto Miura, anak laki-laki Yoshiatsu dan kakak dari Chiaki, menggeser pintu dan membuka celah kecil yang cukup untuk mengamati keadaan didalam ruangan. Yoshimoto dapat melihat adik perempuannya memeluk erat kedua kaki Yoshiatsu, sambil membenamkan wajah diantara kedua lutut si ayah. Dibelakang Yoshimoto tiba-tiba muncul ibu mereka, Yuko Nanigawa, yang dengan tatapan serius, menyuruhnya untuk pergi dari situ.
"Hanya ayah yang bisa membuat Chiaki kembali jadi anak kecil", bisik Yoshimoto geli sambil berlalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Chiaki 1511 - Buku Satu
Historical FictionPerjalanan Chiaki Miura, seorang Onna-bugeisha dari klan Miura, melaksanakan tugas terakhir dari ayahnya, untuk menemukan "hidup". ----------------------------------------------------------------------------------------------------------- "History h...