Yoshiatsu Miura duduk bersila, ditengah ruangan khusus di benteng Arai. Wajahnya tidak menampakkan ekspresi sedikitpun. Disisi kanannya, Yoshimoto Miura, anak lelaki dari Yoshiatsu, duduk diam bersimpuh menundukkan kepala. Sementara disisi kirinya, duduk bersimpuh Daisuke Tamahiro, orang kepercayaan sekaligus tangan kanannya.
Daisuke Tamahiro hanya bisa menundukkan wajah, sambil sesekali menatap dua orang yang duduk bersimpuh dihadapan Yoshimoto, dengan tatapan murung. Laki-laki yang biasanya selalu tenang dan kalem itu, kali ini, terlihat tidak bisa mengontrol emosinya.
Hidetoshi Yusuke dan Akira Yamamoto, dua laki-laki yang jauh lebih muda daripada Daisuke Tamahiro, duduk bersimpuh dihadapan Yoshiatsu Miura. Beberapa kali mereka menghela nafas panjang bersamaan. Diwajah mereka berdua terlihat jelas bermacam emosi dan pikiran yang berkecamuk, didalam benak mereka.
"Takeshi Hojo...", Daisuke Tamahiro menyebut nama itu, dengan geram, sambil mengepalkan kedua tangannya. Rambut panjangnya yang sudah memutih dibiarkan tergerai berantakan, menutupi separuh wajah tuanya.
"Daijoubu – Tidak masalah, Tama Senpai", kata Yoshiatsu dengan tenang, tanpa ekspresi.
"Daijoubu?! Nande?!", balas Tama tajam sambil menunduk, agak terkejut dengan jawaban dari Yoshiatsu.
"Yoshiatsu-sama?", sahut Hidetoshi Yusuke dengan suara lirih. Ditatapnya wajah Yoshiatsu yang tetap tenang tanpa ekspresi. Air muka Hidetoshi Yusuke tampak semakin tidak karuan. Sementara Akira Yamamoto, yang bersimpuh disampingnya, tetap diam tidak bersuara.
Pemuda itu tidak tahu harus berucap apa setelah mendengar jawaban Yoshiatsu. Bagaimanapun juga, Yoshiatsu adalah ketua klan yang sangat dihormatinya. Apapun jawaban dan perintah Yoshiatsu, adalah hal yang mutlak untuk dipatuhi.
Masih teringat jelas didalam benak pemuda itu, mengenai insiden perampokan dan pembunuhan, di tanah pertanian si tua Maida, yang terjadi pada dua malam yang lalu. Dia, Hidetoshi dan tiga orang rekan lainnya, menemukan rumah petani itu berantakan saat melakukan patroli keliling wilayah perbatasan. Mereka menemukan pintu-pintu yang terbelah, meja-meja yang terbalik, dan perabotan tembikar pecah berantakan diatas lantai kayu.
Dan saat mereka menyelidiki lebih lanjut, mereka menemukan fakta bahwa semua hasil pertanian si tua Maeda habis dirampok. Sedangkan tubuh petani tua yang malang itu ditemukan sudah tidak bernyawa tergeletak disudut rumahnya. Satoshi Maeda mati mengenaskan dengan luka tusukan di lambungnya.
Rumah dan tanah pertanian Satoshi Maeda memang terletak jauh dari benteng Arai, dan berbatasan dengan hutan pinus. Wilayah hutan itu yang selama ini diperebutkan oleh klan Miura dan klan Hojo. Bukan lagi rahasia apabila, baik pihak Miura maupun pihak Hojo, sering melakukan serangan secara diam-diam ke wilayah tersebut. Dan malang bagi si tua Maeda, rumah dan tanah pertanian yang dia miliki, tepat berlokasi diwilayah yang disengketakan itu.
Sudah seringkali petani tua yang berlindung ke klan Miura tersebut menerima ancaman dari pihak klan Hojo. Selama ini, pasukan dari benteng Arai selalu dapat memberinya keamanan dari gangguan klan Hojo, dengan melakukan patroli dan penjagaan berkala di wilayah tersebut. Tetapi tepat pada hari naas tersebut, saat terjadi pergantian patroli, pihak klan Hojo melakukan penyerbuan cepat tanpa dapat dicegah. Satoshi Maeda yang tinggal sendirian di rumahnya, menemui ajalnya.
Kabar terbunuhnya Satoshi Maeda tersebar dengan cepat, seperti api yang ditiup angin musim panas. Kepanikan dan kemarahan-pun menjalar dengan cepat di tengah masyarakat. Penduduk yang tinggal diwilayah yang berbatasan dengan wilayah sengketa, secara masif mempersenjatai diri mereka, dan bersiap-siap untuk menghadapi kemungkinan serangan susulan.
Dalam beberapa jam setelah peristiwa itu terjadi, penduduk menutup dan memblokir akses jalan, menuju dan keluar dari, wilayah semanjung Miura. Ekskalasi ketegangan dikalangan penduduk semakin meninggi. Mereka mencurigai setiap orang baru dan pendatang, yang hendak melakukan kerjasama perdagangan.
Yoshiatsu Miura bangkit dari duduknya. Dipandangi semua orang yang hadir diruang pertemuan itu, satu per satu. Lalu sambil menghela nafas panjang dia melangkah berjalan keluar ruangan menuju halaman samping.
"Wakatta...", gumamnya pendek.
"Kalian semua diam disini. Saya mau berpikir sebentar", sambungnya, dan dibalas dengan anggukkan singkat semua orang yang hadir.
Yoshiatsu Miura berjalan melintasi sebuah taman kecil yang tertata indah. Lalu dia berhenti didepan kolam kecil, yang terletak disudut sebelah barat taman itu. Dipandanginya ikan carper berwarna-warni, yang berenang dengan gerakan lambat, yang anggun mengitari kolam kecil tersebut. Dipandangi pantulan wajahnya diatas permukaan air kolam. Pikirannya berkecamuk dengan segala kemungkinan. Peristiwa – peristiwa yang telah terjadi dalam dua hari belakangan ini, sangat mengkhawatirkan dirinya.
Dia tidak ingin terjadi peperangan terbuka dengan klan Hojo, yang selama ini menjadi seterunya. Yoshiatsu sangat mengenal Takeshi Hojo. Dia sudah pernah bertemu dengan laki-laki itu beberapa kali, dan selama ini, dia tidak menemukan satu hal baik-pun pada diri ketua klan Hojo tersebut. Takeshi Hojo adalah seorang yang sangat reaktif dan keras kepala. Semua akan dikorbankan demi tujuan klannya.
Seorang Takeshi Hojo tidak akan berhenti sebelum tujuannya tercapai. Selama ini, Yoshiatsu selalu menghindari konfrontasi langsung dengan orang tersebut. Tetapi ruang geraknya semakin lama semakin sempit, dan bersinggungan secara frontal dengan laki-laki itu, tampaknya tidak bisa dihindari lagi kali ini. Yoshiatsu menghela napas dalam-dalam dan menghembuskanya perlahan-lahan.
Perdamaian agaknya merupakan jalan berliku yang panjang untuk dilakukan. Yoshiatsu mulai berhitung untung rugi apabila konfrontasi terbuka terpaksa dilakukan. Satu per satu permasalahan coba diurai, dan dicari jalan keluar oleh benaknya. Klannya tidak mungkin menghadapi klan Hojo sendirian. Dia harus bersekutu dengan klan lain, yang memiliki kepentingan yang sama dengannya. Dia harus memilah klan mana yang akan diundangnya untuk bersekutu, dan bergabung dengannya.
Keningnya berkerut saat memikirkan langkah-langkah yang akan ditempuh. Agak lama Yoshiatsu berpikir sambil berdiri dalam diam, disisi kolam kecil tersebut.
"Oto-san...", sapa suara lembut seorang perempuan dibelakangnya.
Senyum simpul-pun mengembang diwajah Yoshiatsu, begitu mendengar suara itu, dia membalikkan tubuh, dan menatap sesosok wajah cantik yang berdiri dibelakangnya. Chiaki, anak gadisnya, menatap wajahnya dengan tatapan khawatir.
"Oto-san, nani? - Ada apa?", tanya Chiaki.
"Daijoubu, Chiaki", jawab ayahnya singkat.
"Etoo..., tetapi sepertinya suasana pertemuan didalam tadi terasa kurang baik, Oto-san"
"Tidak ada masalah penting, yang tidak bisa diatasi, Chiaki", jawab Yoshiatsu cepat sambil menggamit lengan anak gadisnya dengan lembut. Lalu mereka berdua berjalan pelan berdampingan melintasi taman, kembali kearah ruang pertemuan.
"Chiaki... Kalau ayah memberikanmu tugas, bisakah kamu lakukan dengan baik?", tanya Yoshiatsu kepada Chiaki.
"Umm...", jawab Chiaki sambil mengangguk menyanggupi.
"Kalau kamu keberatan sampaikan saja ya", kata Yoshiatsu pelan.
"Iiie...", jawab Chiaki sambil menggelengkan kepala, tanda dia tidak keberatan. Baginya tugas apapun dari ayahnya adalah perintah yang harus dipatuhi.
"Wakatta... Setelah makan malam nanti kita bicara ya", kata Yoshiatsu disambut anggukan pelan Chiaki.
"Chiaki, ayah melanjutkan pertemuan dulu ya", kata si ayah sambil melepas genggaman tangannya.
Yoshiatsu melangkah masuk ke dalam ruangan diikuti tatapan khawatir Chiaki.
"Oto-san... Ganbate...", kata Chiaki lirih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Chiaki 1511 - Buku Satu
Historical FictionPerjalanan Chiaki Miura, seorang Onna-bugeisha dari klan Miura, melaksanakan tugas terakhir dari ayahnya, untuk menemukan "hidup". ----------------------------------------------------------------------------------------------------------- "History h...