Epilog / Melaka - September 1511

4 2 0
                                    

Centromestre Santo Domingues, Sandro Gomez, berjalan menyusuri jalan - jalan di kota pelabuhan Melaka. Dia melangkah menuju sebuah rumah mungil berdinding kayu, di ujung barat kota. Peluh membasahi seluruh tubuhnya, rambut merahnya yang kasar terlihat lusuh. Matahari tropis hari ini sangat kejam, sinarnya begitu terik membakar kulit. Dibawah tusukan sinar matahari, Sandro melangkah gontai. Nafasnya berat, terengah-engah, dibekap udara tropis yang lembap. Sesampainya di pekarangan rumah yang rimbun, dipenuhi pohon - pohon akasia, Centromestre itu melangkah mendekat, dan berdiri disisi seorang gadis berwajah oriental, yang sedang duduk bersimpuh diam. Kedua mata gadis itu terpejam. Tubuhnya yang langsing terbungkus yukata putih berpola bunga sakura.

"Konichiwa, Chiaki-sama", sapa gaijin berambut merah itu. Seringai kembali menghiasi wajahnya yang kasar.

Perlahan-lahan gadis Nihon itu membuka matanya yang pekat, dan menatapnya dalam-dalam. Sorot matanya seperti biasa, selalu dingin, dan wajah cantiknya tidak menampakkan ekspresi apapun, datar. Sikapnya selalu sopan dan tenang.

"Konichiwa, Sandro-sama", balasnya sambil membungkuk sopan. Sandro Gomez terpaku diam, dalam mengatur nafasnya.

"Ada yang bisa saya bantu, senhor Centromestre?", lanjutnya dalam bahasa portugis yang patah-patah.

"Capitão Hugo Fonseca meminta kamu ke kantornya. Saya diminta menjemputmu", jawab Sandro Gomez perlahan-lahan, agar Chiaki mengerti.

"Um", jawab gadis itu menangguk. Perlahan-lahan dia berdiri dari duduknya, dan mengenakan geta-nya. Telapak kakinya, yang putih bersih, diselipkan diantara hanao. Dia bergerak menuju pintu rumah kayu, dan menguncinya. Lalu berjalan mengikuti Centromestre Sandro Gomez, keluar dari pekarangan rumahnya. Suara ketukan dari geta-nya berirama teratur, membentur jalan batu yang memanjang, membelah kota.

Sandro Gomez melangkah pelan, agar Chiaki dapat mengikuti langkahnya. Pelaut berambut merah itu menengok, menatap perempuan muda yang berjalan mengikutinya dari belakang. Tidak ada seorang-pun yang menyangka, bahwa dibalik kesopanan dan kelembutannya, dia adalah seorang petarung yang mengerikan. Gadis ini seperti ular cantik, yang tidak segan-segan membunuh dengan cepat dan efektif.

Mereka berdua berjalan memasuki kota pelabuhan Melaka, yang luluh-lantak karena hantaman peluru meriam kapal-kapal perang portugis. Pertempuran dan pemboman, selama lebih dari satu bulan, antara Portugis dibawah pimpinan Estado da India Alfonso d'Alburqueque, melawan Kesultanan Melaka yang dipimpin oleh Sultan Mahmud Syah, sudah berakhir sejak lima hari yang lalu. Bau pekat mesiu, dan anyir darah dari rumah-rumah yang terbakar, masih memenuhi sudut-sudut kota.

Chiaki menatap jauh kedepan, melihat kehancuran total sebuah kota pelabuhan, yang dulunya ramai. Pertempuran yang berat sebelah, antara pasukan Portugis dengan pasukan Kesultanan Melaka, benar-benar mengganggu pikirannya. Tigapuluh orang korban dari pihak Portugis, yang dibelanya, tidak sebanding dengan lebih dari seribu orang korban, di pihak kesultanan Melaka. "Tidak ada keadilan", batinnya dalam hati.

Dia menghindari perang di kampung halamannya, untuk kemudian berperang di kampung halaman orang lain. Betapa ironis kenyataan yang ada dihadapannya. Terbayang wajah orangtua dan kakaknya, entah apa yang mereka sedang hadapi disana. Perasaan campur aduk yang menyesakkan, terasa menekan dadanya. Tanpa terasa, matanya berkaca-kaca, dan setetes air mata mengalir dipipinya.

"Senhorita Chiaki?", tegur Centromestre Sandro Gomez, menyadarkan pikirannya. Gadis cantik itu segera menghapus air matanya, dan menunduk terdiam. Centromestre berambut merah itu menatap wajah cantik Chiaki, heran. "Ada yang mengganggu?", lanjutnya.

Chiaki 1511 - Buku SatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang