Malam ini Awang tampak berjalan membelah lautan pengungsi, yang berlindung dari gelap dan udara dingin, dengan tenda yang terbuat dari kain seadanya, ditengah dataran luas sebelah utara kota pelabuhan Melaka. Dia menuju ke tempat istri dan anaknya, yang baru lahir, berlindung. Tas rajutnya tampak berat terisi ransum makanan, yang dia bawa dari dapur darurat tentara kesultanan Melaka.
Disekitarnya, ribuan manusia berlindung di deretan tenda-tenda sederhana. Pemandangan disekitar dataran sangat gelap. Tidak ada seorang-pun yang berani menyalakan api untuk menghindari bidikan meriam kapal Portugis, di waktu malam. Meskipun, dataran tempat pengungsian itu, berada diluar jangkauan serangan meriam-meriam Portugis, pihak tentara kesultanan Melaka, telah memberlakukan larangan menyalakan api untuk menjaga segala kemungkinan.
Dan untuk menghindari serangan pada siang hari, mereka berlindung masuk ke dalam hutan, yang membentang dan berbatasan dengan perbukitan di utara. Tidak ada akses jalan keluar yang mudah dilewati, dari wilayah kota Melaka, untuk menuju kota lainnya, selain berjalan kaki menembus kegelapan hutan belantara, dan melintasi perbukitan. Medan perbukitan yang sangat terjal, sulit untuk dilalui pengungsi yang sebagian besar adalah orang tua dan anak-anak. Sementara, jalur yang paling mudah dan biasa ditempuh adalah jalur laut yang sudah tertutup, diblokade oleh kapal-kapal perang Portugis.
Awang Tapa dan keluarga kecilnya, termasuk beruntung bisa lari saat terjadinya serangan tembakan bertubi-tubi, dari kapal perang Portugis. Mereka berhasil menyelamatkan diri ke dataran luas ini, bersama-sama pengungsi lainnya. Keadaannya saat ini sangat memprihatinkan. Siti Fatimah, istri Awang, hanya bisa menangis dan tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak ada yang bisa dimasak apalagi untuk dimakan. Untuk memenuhi kebutuhan makanan mereka, Siti dan si bayi, hanya bisa bergantung dari jatah makan pasukan kesultanan, yang diantar oleh suaminya setiap hari.
Sempat terlintas dikepala Siti untuk kembali ke rumah mereka, tetapi niat itu terpaksa harus diurungkan, setelah dia menyadari, bahwa rumah mereka sudah hancur porak poranda terkena hantaman peluru Meriam, yang jatuh dan meledak disana berkali-kali. Siti masih menyayangi nyawa bayinya dan nyawanya sendiri. Dan jika dibandingkan dengan keluarga lainnya, ia beruntung masih memiliki Awang, suaminya, yang dapat diandalkan pada masa-masa sulit seperti saat ini.
Dari kejauhan, Siti dapat mendengar ledakan dan dentuman meriam bertalu-talu saling membalas. Matanya dapat melihat kilatan-kilatan ledakan didalam dinding benteng kota. Serangan-serangan meriam dari kapal-kapal perang Portugis malam ini, terkonsentrasi ke bagian timur kota, dimana terletak istana Sri Baginda Sultan Mahmud Syah dan rumah-rumah batu tempat tinggal kalangan bangsawan dan saudagar Melaka. Siti-pun dapat melihat serangan meriam balasan dari balik tembok benteng. Pijaran-pijaran peluru meriam pasukan kesultanan Melaka terlontar, memburu kapal-kapal Portugis.
Beberapa waktu kemudian, Siti dapat melihat sosok tubuh suaminya yang memanggil-manggil namanya. Siti, dengan perasaan campur aduk, membalas panggilannya. Awang terlihat mempercepat langkah, dan berlari-lari kecil kearah datangnya suara panggilan Siti. Mereka berpelukan rapat sejenak, melepas perasaan lega dan was-was. Lalu Awang meraih ransum jatah makanannya dari dalam tas rajutnya, dan diberikan kepada Siti. Mereka berdua duduk bersama di sudut dataran, dengan beratapkan langit malam. Bayi mereka tertidur lelap diatas tumpukan kain, yang ditata diatas sebilah papan kayu. Dalam diam, pasangan suami istri itu menikmati jatah makanan, yang cukup mengenyangkan untuk malam itu.
Awang hanya bisa menatap Siti, yang sedang makan, dengan tatapan haru. Hanya dalam satu minggu, kehidupan mereka yang dulunya tenang dan tenteram berubah drastis. Laki-laki Melayu itu hanya bisa berdo'a semoga keadaan dapat segera membai, dan kehidupan mereka kembali normal.
"Siti... Saya nak balik kejap ke markas. Ada taklimat dari komandan. Awak tunggu disini, kejap je", kata Awang kepada Siti.
"Nak pergi balik ke markas? Lama ke?", tanya Siti lirih. Tidak seperti biasanya suaminya kembali ke markas malam-malam begini.
"Kejap jak", jawab Awang sambil tersenyum.
Kemudian dipeluk istrinya dengan erat, dan mengecup kening bayinya yang sedang tertidur, sebelum dia berdiri dan berjalan pergi. Siti memandangi punggung suaminya sampai menghilang didalam kegelapan malam, sambil berharap agar bisa kembali ke tempat ini secepatnya.
Awang melangkah perlahan dengan hati-hati. Dia tidak mau mengganggu para pengungsi, yang bergeletakan tertidur lelap, disepanjang dataran luas tersebut. Beruntung bulan purnama bersinar terang, memberikan sedikit cahaya penerangan, yang membantunya berjalan. Sejenak matanya menyapu dataran yang dipenuhi deretan tenda-tenda kain. Di sebelah barat dataran, itu matanya menangkap suatu pergerakan ganjil. Ada beberapa orang sedang berjalan merunduk, mencurigakan. Beberapa kata dalam bahasa hindi tertangkap oleh telinganya yang tajam. Awang juga ikut merunduk dan merapat ke tanah.
Rasa ingin tahu menyuruhnya merangkak, mengikuti rombongan sosok gelap itu. Tidak sampai sepuluh menit, rombongan itu tiba di tapi sungai. Mereka bertemu dangan rombongan lain, yang sudah terlebih dahulu menunggu, dibibir sungai. Mereka lalu duduk melingkar saling berhadapan. Pembicaraan dan diskusi serius terjadi dalam bisikan - bisikan lirih. Sambil terus merangkak, Awang mendekati mereka sampai pada jarak, dimana dia dapat mendengar setiap perkataan mereka.
"Tak payah korang dukung sultan, oo... Tak payah ikut dorang yang bodoh", kata seorang laki-laki dengan logat mandarin yang kental.
"Betul maa..., bolehkah korang lawan Portugis?! Korang punya raja India-pon tewas sudah", sambut suara cempreng seorang perempuan, masih dengan logat mandarin. Sontak terdengar geraman amarah dari beberapa orang yang berkumpul tersebut.
"Tak payah korang cakap tu. Kami tewas kerana tipu daya kafir Portugis. Kafir macam korang!", terdengar bisik menggeram dengan suara berat, penuh dengan emosi.
"Sabar... Sabar saudara...", potong bisikan berlogat hindi yang berat, menenangkan.
"Tak payah korang cakap ugama, hala kami dagang, itu jak", sambung suara laki-laki mandarin, yang disambut gumaman setuju.
Kening Awang berkerut mendengar percakapan antar para saudagar tersebut. Dia terkejut mendengar percakapan yang terjadi dihadapannya. Mereka bersekongkol untuk melawan Sultan Melaka. Dua bangsa yang berseteru, Cina dan India bersatu, merencanakan kegiatan untuk melawan kesultanan Melaka dan membantu Portugis.
Dalam kegelapan, Awang berusaha mengingat-ingat dan mengenali wajah mereka, satu per satu. Dia merangkak mendekati kelompok manusia-manusia tak tahu diri tersebut. Mendadak Awang tertegun, hatinya berdebar keras. Dia menatap nanar wajah seorang bangsawan Melayu, ia sangat mengenali wajah tersebut. Hatinya mendidih melihatnya. Orang itu hendak menjual bangsanya sendiri demi keuntungan. Bangsawan Melayu berwajah tambun itu, tampak beberapa kali menganggukan kepala, menyetujui rencana persekongkolan jahat mereka.
Setelah mengenali, dan mengingat wajah-wajah mereka yang cukup jelas dibawah cahaya rembulan, Awang Tapa beringsut mundur perlahan-lahan, dengan hati-hati. Dia berusaha keras menahan amarah yang bergejolak didadanya. Setelah merasa cukup aman, Awang perlahan-lahan bangkit dari tiarapnya.
Entah kenapa, tiba-tiba bulu kuduknya meremang, inderanya menangkap sinyal bahaya yang datang dengan cepat. Tangan kanannya, secara refleks, dengan cepat meraih gagang belati yang terselip dipinggangnya. Tetapi ternyata gerakannya masih kalah cepat, sebuah telapak tangan kekar menutup mulutnya dengan kuat, menutup jalan nafasnya. Dan lengan kekar yang lain mencengkeram tangan kanannya, sebelum dia sempat mencabut belati.
Lalu satu sosok lainnya mencengkeram pinggang, dan mengunci kedua kakinya. Dalam kepanikannya, Awang hanya dapat meronta-ronta, putus asa, sekuat tenaga, sebelum sebuah belati kukri melengkung mengoyak jantung, dan menguras seluruh isinya.
Dinafas terakhir sebelum semuanya berakhir, Awang masih dapat mendengar suara si bangsawan Melayu, sang pengkhianat berwajah tambun itu, meludah dan mengutuknya.
Dari sudut gelap dataran itu terdengar suara tangisan keras seorang bayi. Siti, sang ibu, menatap jauh ke arah suaminya tadi pergi. Jantungnya berdebar keras. Ada perasaan sesak menekan dadanya. Siti Fatimah masih belum menyadari, bahwa suaminya yang selama ini dia andalkan tidak akan kembali lagi ke dalam pelukan dalam keadaan hidup, untuk selamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Chiaki 1511 - Buku Satu
Historical FictionPerjalanan Chiaki Miura, seorang Onna-bugeisha dari klan Miura, melaksanakan tugas terakhir dari ayahnya, untuk menemukan "hidup". ----------------------------------------------------------------------------------------------------------- "History h...