"Oni-chan...?", kata Chiaki sambil menatap sang kakak, Yoshimoto, dengan pandangan bertanya. Gadis remaja itu menurunkan kedua tangannya yang sedang memegang pedang kayu. Keringat membasahi seluruh tubuh langsingnya. Sang kakak, yang berusia lima tahun lebih tua, hanya meringis menahan sakit sambil mengusap-usap keningnya. Tampak memar bekas hantaman pedang kayu, melintang di keningnya.
"Gomen... Gomenasai!", kata Chiaki sambil berusaha mengelus kening kakaknya dengan lembut. Yoshimoto hanya mengerang sambil nyengir. Sejenak ia mengejapkan matanya, berusaha menghilangkan rasa pusing dan sakit dikepalanya. Serangan pendek yang cepat dari adiknya mengenai kepalanya dengan telak.
Seperti biasanya, rutinitas mereka pagi ini adalah berlatih tarung satu lawan satu dengan pedang kayu. Mereka berlatih menyerang dan bertahan. Menghapalkan beragam gerakan dan jurus, yang telah diajarkan kepada mereka sebelumnya. Yoshimoto dapat merasakan perkembangan pesat Chiaki. Kecepatan dan kekuatan yang dimiliki adik perempuannya itu, dari tahun ke tahun, meningkat dengan sangat pesat. Semakin hari, semakin sulit baginya, untuk mengimbangi kecepatan, dan kekuatan yang dimiliki adiknya tersebut.
Yoshimoto masih mengingat dengan jelas, ketika pertama kali Chiaki memulai latihannya. Pedang kayu yang besar itu tampak tidak seimbang dengan perawakannya. Chiaki hampir tidak bisa mengangkat pedang itu, bahkan dengan menggunakan kedua tangannya. Tetapi seiring dengan berjalannya waktu, Chiaki dapat melakukan latihannya dengan baik. Badannya yang dulu gemuk dengan wajah bulat, perlahan-lahan berubah. Lengan dan kaki gadis itu sekarang sangat keras. Tubuhnya semakin tinggi dan langsing. Wajahnya-pun semakin tirus dengan kecantikan oriental khas gadis-gadis Nihon.
"Daijoubu, Nee-san", kata Yoshimoto sambil menepuk pundak adik perempuannya. Sebuah serangan melintang dari bawah ke atas yang kuat dari adiknya, beberapa saat lalu terlambat dia baca. Akibatnya, pedang kayu Chiaki menghantam keningnya dengan telak. Yoshimoto menyadari bahwa, seandainya yang digunakan oleh adiknya adalah pedang katana yang sesungguhnya, dia dipastikan sudah mati dengan kepala terbelah. Adik perempuannya itu bertarung seperti seekor Kyōken - anjing gila. Cepat, penuh tenaga, efektif dan kejam. Siapapun menjadi lawannya dikemudian hari, akan kerepotan bila bertemu dengan gadis itu.
"Aku tidak apa-apa. Ayo, kita mulai lagi", sambung Yoshimoto sambil memulai mengambil kuda-kuda, untuk kembali melakukan latihan. Dia mencoba mengabaikan rasa sakit pada keningnya.
Dengan wajah khawatir, Chiaki mengambil posisi didepan Yoshimoto. Ditatap wajah kakak satu-satunya itu lekat-lekat. Yoshimoto membalas tatapan Chiaki, tersenyum simpul dan mengangguk. Memberikan tanda kepada adiknya bahwa dia tidak apa-apa. Keduanya berdiri saling berhadapan. Yoshimoto mengambil posisi menyerang dan Chiaki membuka gerakan bertahan. Latihan mereka-pun berlanjut. Kedua kakak beradik itu kembali saling menyerang dan bertahan, bergantian.
Suara pedang kayu yang saling berbenturan-pun kembali terdengar. Suara benturan itu begitu keras memenuhi seluruh penjuru ruangan khusus tempat latihan tersebut. Ruangan tempat mereka berlatih sangat luas. Berdinding kayu dan beralas tatami lembut yang hangat. Disalah satu pojok ruangan, terdapat satu rak senjata yang terbuat dari kayu mahoni.
Ada beberapa jenis senjata tertata rapi, di rak kayu tersebut. Ruangan latihan itu memiliki dua pintu pada sisi yang saling berhadapan. Pintu sebelah utara langsung menghadap kearah taman utama bangunan benteng Arai. Sementara pintu sebelah selatan menuju ke ruang-ruang keluarga inti, yang dihubungkan oleh sebuah selasar panjang berlantai kayu.
Yoshimoto dan Chiaki berlatih tanding selama satu jam, diikuti dengan latihan jurus dan terakhir peregangan. Yoshimoto dengan sabar membantu adik perempuannya memperbaiki posisi tubuh dan gerakannya. Kemudian mereka berdiskusi, tentang masalah apa saja, untuk mendinginkan tubuh dan mengeringkan keringat. Hari itu, Chiaki sangat antusias saat mereka membahas legenda seorang Tomoe Gozen.
Tomoe Gozen adalah seorang ksatria perempuan, seorang Onna-bugeisha, yang sangat terkenal dan menjadi legenda di kepulauan Nihon. Selama hidupnya, Tomoe Gozen tidak pernah dikalahkan oleh seseorang-pun. Bahkan dimana dan kapan ksatria legendaris itu meninggal-pun, tidak diketahui dan masih menjadi misteri yang menambah keangkeran legendanya.
Chiaki sangat mengagumi Tomoe Gozen. Gadis cantik itu ingin menjadi seperti dirinya. Cantik, anggun dan setia, sekaligus tangguh dan ditakuti musuh-musuhnya. Chiaki bahkan meniru dan mempelajari gaya bertarung sang legenda. Ia bahkan meminta secara khusus kepada guru dan pelatihnya, Daisuke Tamahiro, untuk berlatih mengikuti cara - cara Tomoe Gozen berlatih. Chiaki juga mempelajari literatur dan dokumen tertulis, mengenai idolanya tersebut.
Obsesi gadis itu kepada legenda Tomoe Gozen memberikan pengaruh yang besar terhadap dirinya. Chiaki saat ini dapat mengontrol luapan emosinya, dan bertindak jauh lebih tenang. Luapan emosinya dilepaskan pada saat gadis itu berlatih dan bertarung.
"Chiaki...", terdengar suara Yuko Ninagawa, ibunya, memanggilnya. Gadis itu menoleh sejenak ke ibunya sebelum membungkuk hormat kepada kakaknya dan berdiri.
"Arigatou gozaimasu, Oni-chan. Mata ne", kata Chiaki berterima kasih kepada Yoshimoto.
"Umm... Mata ne. Ganbatte, Chiaki-chan", balas sang kakak menyemangatinya sambil tersenyum.
Seperti biasa, Chiaki harus berlatih lagi tata cara chanoyu - membuat teh siang ini, setelah bulan lalu tanpa sengaja dia menjatuhkan cawan teh pamannya, saat datang berkunjung ke benteng. Tentu saja peristiwa tersebut adalah peristiwa yang memalukan keluarganya. Ibunya bahkan sampai harus meminta maaf berkali-kali, kepada kakak iparnya dan ayahnya hanya bisa terdiam. Untungnya sang paman hanya tersenyum dan tidak mempermasalahkannya.
Chanoyu – ritual membuat teh adalah salah satu upacara penting dalam budaya Nihon. Seluruh perempuan Nihon dituntut untuk dapat melaksanakan tata cara itu dengan sempurna. Tata caranya sangat detail, dan harus dilakuan dengan sikap khusyuk. Tidak sembarang perempuan Nihon bisa melakukan tata cara itu dengan baik, dan tidak semua kalangan dapat melakukannya. Memiliki seorang ahli membuat teh, merupakan kebanggaan bagi sebuah klan, apalagi ahli membuat teh adalah anggota inti keluarga tersebut.
Sedangkan Chiaki memang selalu bermasalah dalam hal tata cara membuat teh. Ada saja susunan tata cara yang terlewat, atau bahkan lupa dilakukannya. Ibunya pernah mengeluh tentang hal ini kepada sang ayah. Bagaimana dia bisa mendapatkan jodoh yang baik, bila untuk urusan penting seperti ini tidak bisa dilakukannya dengan sempurna? begitu keluh kesah Yuko kepada suaminya, mengenai Chiaki. Sepertinya Chiaki memang lebih baik terlahir sebagai seorang laki-laki daripada sebagai seorang perempuan, begitu ucapnya suatu hari.
Dan sejak kejadian jatuhnya cawan teh untuk sang paman itulah, Chiaki harus kembali berlatih tata cara membuat teh, lima hari dalam seminggu. Dan latihan itu akan terus dilakukan, sampai gadis itu bisa melaksanakan tata cara membuat teh dengan baik, tanpa masalah.
Dengan langkah-langkah ringan tanpa suara, Chiaki meletakkan pedang kayunya, pada rak senjata dipojok ruangan latihan, dan mengikuti ibunya keluar dari ruangan latihan yang luas itu. Yoshimoto hanya dapat menatap punggung Chiaki sambil tersenyum geli, membayangkan adiknya yang terbiasa berlatih pedang dan mengandalkan kekuatan fisik, harus berlatih chanoyu - tata cara membuat teh yang kompleks dan lembut.
"Tempat seekor Kyōken - anjing gila, bukan dibelakang meja makan", gumam Yoshimoto perlahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Chiaki 1511 - Buku Satu
Historical FictionPerjalanan Chiaki Miura, seorang Onna-bugeisha dari klan Miura, melaksanakan tugas terakhir dari ayahnya, untuk menemukan "hidup". ----------------------------------------------------------------------------------------------------------- "History h...