Surat

6 2 0
                                    

Malam hampir larut di Semenanjung Ujung Medini. Bintang-bintang bersinar indah dimalam yang tidak berawan, hari ini. Laut di sepanjang selat Melaka sangat tenang dan bersahabat.

Capitao Hugo Fonseca duduk diatas sekoci Santo Domingues, yang didayung oleh salah seorang kelasinya. Di depannya, duduk berhadapan dengannya, Primeiro oficial Diogo Cabral, yang turut membantu mendayung sekoci tersebut. Sekoci itu bergerak perlahan melintasi riak ramah ombak teluk Melaka, menuju ke siluet bayangan besar kapal perang Portugis Santo Domingues.

Kapal perang Portugis bertipe Caracca itu berayun lembut mengayun. Suara irama debur ombak saat menghantam lambung kapal itu begitu menenangkan. Jangkarnya yang besar dan berat tertanam di dasar teluk, menjaga posisi kapal besar tersebut agar tidak terbawa arus.

Primeiro oficial Diogo Cabral, sambil mengayuh dayung, menatap kapten wajah kapalnya. Tampak ada sesuatu, yang dipikirkan oleh kapten kapal Santo Domingues tersebut.

"Ada masalah apa, Capitao?", kata Primeiro oficial Santo Domingues itu, memberanikan diri untuk bertanya.

Capitao Hugo Fonseca mendesah pelan, kemudian dia menegakkan tubuh, dan menatap barak tenda tentara Portugis, yang berdiri di dataran timur kota Melaka.

"Chiaki...", katanya pelan.

"Senhorita Chiaki? Ada apa dengan senhorita Chiaki, Capitao?", tanya Diogo Cabral lagi.

"Apa pendapatmu mengenai dia, amigo? Apakah kita akan menjaga gadis itu, seperti pada umumnya gadis seusianya, atau kita biarkan dia ikut dalam semua kegiatan kita, seperti sekarang?", kata sang Capitao, menanyakan pendapat orang kepercayaannya itu.

Diogo Cabral tertegun, dia tidak menyangka akan mendapat pertanyaan mengenai topik ini dari kaptennya. Setelah memilih kata-kata yang dirasa tepat, sambil menghela napas dalam-dalam, Primeiro oficial itu menjawab, "Capitao, sejujurnya, saya tidak ingin senhorita Chiaki terlibat dengan semua kegiatan kita. Saya tahu bahwa gadis itu memenuhi semua persyaratan seorang prajurit. Saya tahu dia bisa untuk itu... Tetapi saat saya lihat wajahnya, dan ketika saya mengetahui usianya, hati kecil saya tidak ingin dia celaka."

"Pendapatmu sama dengan pendapatku, amigo", kata Capitao Hugo Fonseca, sambil tersenyum.

"Tetapi saya tidak bisa mengetahui isi kepala senhorita Chiaki, Capitao. Gadis itu tidak seperti gadis pada umumnya. Saya sama sekali tidak tahu jalan berpikirnya", sambung Diogo Cabral.

"Ah... Kalau itu, saya sangat memahaminya, amigo", kata Hugo Fonseca sambil tersenyum.

Beberapa saat kemudian, sekoci ketiga orang pelaut Portugis itu tiba di dinding kapal. Sebuah tangga tali yang ditambatkan dari geladak kapal, tampak berayun mengikuti gerakan gelombang.

"Ahoy..., Capitao Hugo mau naik", seru Primeiro oficial Diogo Cabral kepada dua orang awak kapal, yang sedang terkantuk-kantuk berjaga di geladak.

Kedua awak kapal itu menyahut, seorang dari mereka memegang tangga tali agar posisinya tidak bergoyang. Sementara yang satunya menggenggam lampu minyak, yang membantu menerangi pijakan tangga tali tersebut. Dengan sigap, kapten kapal Portugis itu meraih ujung tangga tali, dan melompat dengan cekatan naik ke geladak kapal. Sesampainya di geladak, Capitao Hugo melompati pagar geladak dengan ringan. Dan tanpa menunggu yang lainnya menaiki tangga tali, Capitao Hugo Fonseca langsung berjalan melintasi geladak, dan turun masuk ke lorong menuju kabinnya.

Didalam kabinnya yang gelap gulita, Hugo Fonseca meraih korek api kayunya, dan menyalakan sebuah lampu sumbu yang tergantung pada dinding kamarnya. Cahaya lembut lampu minyak itu menerangi kabin besar, yang terlihat sangat rapi. Kemudian Capitao itu menanggalkan jaketnya, dan menggantungkannya pada kait yang tertanam, di dinding kabin.

Chiaki 1511 - Buku SatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang