Awang Tapa menatap ke arah timur dengan tatapan tajam menyelidik. Pendengarannya yang terlatih menangkap suara sayup - sayup letusan mesiu, yang terbawa angin dari timur. Dan sepertinya tidak hanya dia seorang saja yang dapat menangkap suara letusan dari kejauhan tersebut. Beberapa prajurit kesultanan Melaka yang memiliki pendengaran tajam-pun serentak menoleh ke arah timur, dan saling berpadangan dengan tatapan bertanya-tanya.
Saat itu Matahari sudah condong ke barat, hari sudah menjelang sore. Awang yang sedang berjaga di sekitar tenda-tenda pengungsi, di dataran sebelah timur, bergegas berjalan menuju tenda barak tentara kesultanan. Sebagai salah satu hulubalang pasukan kesultanan Melaka, ia merasa berkewajiban untuk memberi laporan dari apa yang diketahuinya, kepada komandan kesatuan dimana dia bertugas, kesatuan pasukan penjaga kota.
Dari kejauhan Awang dapat melihat kesibukan pasukan kesultanan, tampaknya banyak orang yang mendengar suara letusan senjata dari sebelah timur kota. Tampak beberapa peleton hulubalang tentara kesultanan Melaka, sudah siap untuk berangkat ke arah datangnya suara letusan. Tuan Hafeez, komandan pasukan penjaga kota bersama beberapa orang komandan pasukan lainnya, tampak sibuk berkoordinasi dengan Tun Qawi Idham, Panglima pasukan kesultanan Melaka. Tampaknya tambahan tentara kesultanan, akan dikerahkan untuk mengamankan sisi timur kota.
Awang pun mempercepat langkah kakinya dan bergabung dengan beberapa hulu balang kesultanan Melaka lainnya, ke hadapan Hafeez dan Tun Qawi. Tun Qawi memerintahkan agar pasukan yang berjaga disebelah timur kota ditambah dua kali lipat untuk memperketat penjagaan. Panglima berambut putih itu tampak khawatir akan terjadi serangan, dari sisi timur kota, pada malam nanti.
Dia memerintahkan Komandan Hefeez untuk membatalkan perintah penyerangan ke arah datangnya suara letusan senapan, dan menundanya sampai esok pagi. Jangan membuang nyawa lebih banyak lagi untuk mengejar musuh yang belum dapat dipastikan kekuatannya, begitu katanya. Meskipun demikian atas desakan Hafeez, Tun Qawi menyetujui untuk segera mengirimkan satu regu hulubalang kesultanan, untuk menyelidiki dan memastikan apa yang telah terjadi di wilayah tersebut.
Hafeez-pun segera membentuk satu kelompok, dalam enam orang, yang terdiri dari para pasukan yang paling senior dan berpengalaman. Misi mereka adalah melakukan penyelidikan. Dan apabila berjumpa dengan pasukan Portugis, mereka harus mengindar dan tidak dibenarkan untuk melakukan serbuan. Mereka cukup mengamati dan mencatat posisi musuh, untuk kemudian melaporkan hasilnya ke panglima Tun Qawi.
Dipimpin oleh Hafeez sendiri, pasukan penyelidik itu segera bergerak cepat ke arah timur, mengikuti arah jalur yang dilalui Mat Badik sebelumnya. Awang Tapa, yang tergabung dalam pasukan itu, dapat merasakan ketegangan yang terpancar di wajah masing-masing anggota pasukan saat mereka mencapai batas hutan.
Mereka berlari secepatnya melintasi dataran rendah, menuju ke batas hutan. Angin sore berhembus, menggoyang ilalang yang tumbuh di dataran tersebut. Suara gemerisik ilalang dan semburat cahaya jingga keemasan matahari sore menambah suram suasana hati mereka.
Begitu tiba dibatas hutan, mereka menghentikan laju lari. Dengan perlahan mereka mengikuti jejak kaki pasukan sebelumnya. Awang Tapa tertegun melihat tumpukan kepala tersusun rapi, terlindung dibawah rindang pohon akasia.
"Tuan... Disana...", kata Awang memberitahu Hafeez sambal menunjuk kearah pohon akasia tersebut.
"Astagfirullah...", desis Hafeez setengah berbisik.
Mereka juga menemukan hal yang sama, seperti yang Mat Badik temukan, tumpukan kepala rekan mereka yang tersusun rapi di bawah rindang pohon akasia. Hafeez terhenyak melihat pemadangan mengerikan tersebut. Bulu kuduknya meremang saat kengerian menjalari tubuhnya.
Dengan bimbang, Hafeez kemudian berdiri khidmat, diikuti oleh keenam anggota pasukannya, kemudian mereka membaca do'a untuk rekan-rekan mereka yang gugur tersebut. Setelah selesai berdo'a, mereka memantapkan diri dan lanjut bergerak memasuki hutan yang semakin gelap, dengan hati-hati dan waspada.
Matahari sudah semakin condong ke arah barat, dan sinarnya semakin redup. Bayangan hutan seperti hantu kematian yang menyambut mereka dengan suka cita. Hutan semakin gelap, ketika mereka akhirnya sampai disebuah ceruk kecil. Hafeez terdiam sejenak saat penciumannya, menangkap bau anyir darah manusia terbawa oleh angin sore. Bau itu mengarah naik keatas.
"Kita ikut bau amis ini. Korang semua siaga", kata Hafeez kepada anggota pasukannya. Semuanya menganggukkan kepala tanpa bersuara.
Mereka menajamkan penciuman, dan bergerak mengikuti bau amis darah yang semakin lama semakin pekat tersebut. Mereka berjalan melintasi sebuah tebing rendah dan naik keatas. Dalam keremangan cahaya, mereka menemukan tubuh besar Mat Badik, yang bersimbah darah, tergeletak dibawah pohon kamboja. Didekatnya tampak dua sosok mayat terbaring berdampingan. Noordin dan Hamdan terbaring dengan leher hampir putus. Keduanya tampak dieksekusi setelah Mat Badik dibunuh.
Selain menemukan Mat Badik dan dua orang rekan lainnya, Hafeez dan pasukannya juga menemukan tumpukkan mayat tanpa kepala, yang ditumpuk tepat disebelah pohon Kamboja tersebut. Mereka segera dapat mengetahui, bahwa tubuh-tubuh itu milik kepala-kepala yang telah mereka temukan sebelumnya, dibatas hutan.
"Ya Allah...", bisik Hafeez.
Dengan mata nanar dia menatap pemandangan yang mengerikan tersebut. Hafeez jatuh berlutut dengan tubuh bergetar. Hatinya teriris pilu.
"Ya Allah... Ini semua salah saya. Mereka semua mati kerana salah saya...", desis Hafeez lirih. Kedua bola matanya tampak berkaca-kaca. Guratan penyesalan tampak jelas dimatanya. Awang juga ikut berlutut, sambil menatap Hafeez dengan perasaan bercampur aduk. Anggota pasukan lainnya-pun mengikuti mereka berdua, berlutut dan memanjatkan do'a, agar arwah pasukan yang gugur memperoleh ketenangan di alam baka.
Setelah berdo'a dalam diam, Hafeez dan pasukannya bangkit berdiri dan melanjutkan penyelidikannya. Mereka berjalan pelan menuju puncak bukit, agar dapat mengamati wilayah itu dengan lebih leluasa. Pasukan itu bergerak dengan hati-hati menyusuri punggung bukit. Mereka bergerak sebisa mungkin tanpa menimbulkan suara. Dalam keremangan cahaya menjelang malam, mereka masih bisa melihat jalur naik ke puncak bukit.
Sesampainya mereka dipuncak bukit, mereka mengamati keadaan sekeliling wilayah tersebut. Hafeez memandang sejauh pandangan matanya. Sepasang matanya yang terlatih, mengamati dan mencari hal-hal yang mencurigakan. Sesuatu yang tidak pada tempatnya atau sesuatu yang tidak wajar. Mereka menunggu sampai gelap turun tanpa menemukan sesuatupun yang mencurigakan.
Semua tampak biasa, pohon-pohon yang bergoyang lembut ditiup angin, gemericik suara mata air yang ada di sisi barat bukit, suara serangga malam yang riuh, dan suara desau angin senja yang menyapa wajah-wajah mereka. Semua tampak normal, terkecuali tumpukkan mayat yang telah mereka jumpai sebelumnya.
Dalam keheningan, pasukan itu mengawasi wilayah sekitaran bukit itu, sampai matahari sepenuhnya tenggelam, dan hutan menjadi gelap gulita. Tidak lama kemudian Hafeez bangkit berdiri dan memerintahkan mereka untuk turun, kembali ke tenda barak, dan melaporkan temuannya kepada panglima Tun Qawi.
Keenam orang tersebut kemudian bergerak perlahan, menyelinap menuruni bukit. Dalam gelap, mereka melewati tempat dimana tubuh Mat Badik dan dua rekannya tergeletak. Rombongan pasukan tersebut terus turun tanpa memandang mayat-mayat itu lagi, mereka melintasi pekatnya pepohonan langsung menuju batas hutan.
Tidak jauh dari Hafeez dan pasukannya, sekitar dua puluh meter kearah selatan, Chiaki Miura, mengikuti pergerakan mereka sejak awal pasukan itu memasuki batas hutan. Gadis itu bergerak ringan diantara pepohonan mengawasi mereka. Jubah hitamnnya menyamarkan sosoknya dikegelapan. Langkah kakinya sama sekali tidak mengeluarkan suara. Chiaki membayangi mereka, sampai Hafeez dan pasukannya meninggalkan hutan menuju dataran rendah ke arah kota.
Ada perasaan sedih dihati gadis itu saat dia mengamati Hafeez dari kejauhan. Harimau yang gagah itu sudah kehilangan taringnya. Dan apabila harimau kehilangan taring, berarti dia sudah kehilangan segala-galanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Chiaki 1511 - Buku Satu
Historical FictionPerjalanan Chiaki Miura, seorang Onna-bugeisha dari klan Miura, melaksanakan tugas terakhir dari ayahnya, untuk menemukan "hidup". ----------------------------------------------------------------------------------------------------------- "History h...