Sungai

7 3 0
                                    

 Dini hari menjelang pagi, bulan sabit masih bersinar terang menghiasi langit Semenanjung Melayu. Sinarnya menerangi kota pelabuhan Melaka yang porak poranda. Meriam-meriam kapal perang Portugis masih, terus menerus, menghujani kota. Seakan tidak memiliki batas peluru, meriam-meriam itu tanpa henti melontarkan kematian dan kehancuran, keatas kota pelabuhan yang indah tersebut.

Terlindung dalam kegelapan, Centromestre Sandro Gomez bersama satu peleton pengintai, pimpinan Alberto Cuinas, bergerak perlahan penuh waspada. Mereka, dengan hati-hati, menyusuri tepi sebelah timur sungai Melaka. Jauh di depan mereka, sang Diabo feminino branco Chiaki Miura, bergerak lincah melompat-lompat diatas bebatuan, tanpa menimbulkan suara. Kakinya gadis Nihon itu melangkah ringan, melewati reruntuhan tembok sungai. Terlihat beberapa kali dia berhenti sejenak mengamati keadaan tepi sungai didepannya, sebelum kembali bergerak.

Sungai besar, yang membelah kota Melaka itu, terlihat gelap dan kotor disebabkan oleh banyaknya timbunan batu, reruntuhan bangunan dan tembok dinding sungai yang hancur, terkena peluru meriam. Sungai berkelok-kelok yang merupakan sumber air utama bagi penduduk kota itu, dulunya sangat indah. Dinding batu yang berfungsi sebagai tanggul, untuk melindungi sebagian kota dari luapan airnya, sudah hancur berantakan tidak beraturan. Batu-batu besar berserakan dimana-mana, menutupi sebagian tepian sungai.

Dimulut muara sungai yang berbatasan dengan teluk, tampak sebuah jembatan batu yang besar masih kokoh berdiri, walaupun dalam keadan yang memprihatinkan. Tubuh jembatan itu compang-camping, rusak disana sini, batu-batu besar penyusunnya banyak yang terlepas dan hancur. Tampilannya seperti kain perca, yang robek disana sini tidak beraturan. Tidak tampak seorang-pun yang berlalu lalang diatas jembatan batu, yang merupakan jalan penghubung satu-satunya yang masih utuh, antara bagian barat kota dengan bagian timurnya.

Chiaki Miura berhenti tepat dibawah jembatan batu itu. Dia mengamati keadaan sekeliling jembatan, sebelum pelan-pelan merangkak naik keatas jembatan. Diatas jembatan, dia segera mencari tempat yang terlindung bayangan tembok batu rumah penduduk, yang masih utuh, lalu berjongkok diam dalam posisi waspada, mengamati bagian barat jembatan, yang berseberangan dengan posisinya dan pintu gerbang barat tembok kota. Kedua sisi jembatan tampak dijaga oleh pasukan tentara Melaka. Di kegelapan, Chiaki menghitung jumlah prajurit yang berjaga, baik disisi barat ataupun disisi timur jembatan.

Tidak lama kemudian, Centromestre Sandro Gomez muncul dari bawah jembatan, disusul oleh Alberto Cuinas dan pasukannya. Alberto Cuinas terdengar berkali-kali menggeram sambil menyumpah-nyumpah panjang pendek, ditimpali tawa pelan Sandro Gomez yang nyaris berbisik, mengejek dengan seringai khas yang tampak diwajah kasarnya. Dua kali Alberto Cuinas terjatuh ke dalam ceruk sungai, dan nyaris tenggelam kalau tidak ditolong oleh anak buahnya. Baju besi yang dikenakannya tampak basah kuyup. Beruntung suara air yang disebabkan olehnya, tertutup oleh suara ledakan salvo meriam.

Setelah semua naik keatas jembatan, pasukan kecil itu menyusun parameter melingkar di sisi timur jembatan dan menunggu. Sandro Gomez memandang berkeliling, mengamati wilayah hancur disisi barat jembatan. Diseberang timur jembatan, tampak bayangan gelap tembok benteng kota masih berdiri kokoh. Sepertinya benteng kota Melaka sangat tangguh. Tembok benteng itu mampu menahan gempuran meriam-meriam Portugis. Sandro Gomez, Centromestre berambut merah itu, kemudian mengangkat tangannya, memberikan tanda bagi seluruh anggota pasukan pengintai, untuk bersiap-siap menunggu perintah darinya. Sepasang matanya yang jeli mengamati sebuah bayangan kapal Portugis, yang dari jauh tampak sedang menurunkan layar dan mulai bergerak langsung menuju kearah pantai.

Setelah menunggu selama beberapa menit, mata Sandro Gomez dapat melihat kelipan panjang tiga kali dari lampu kapal perang lainnya. Ia mengangkat tangan kanannya, seluruh anggota pasukan pengintai itu terlihat bersiap-siap melakukan penyerangan. Ketegangan terlihat jelas di wajah mereka. Dan setelah kelipan panjang tiga kali, lampu kapal itu berkelip pendek tiga kali berturut-turut. Sandro memberi tanda bagi pasukan yang bersamanya, untuk bergerak, memulai rencana yang telah mereka susun sebelumnya. Alberto Cuinas bergerak maju ke gerbang kota, sebagian pasukannya bergerak kearah jembatan. Tanpa bersuara, mereka bergerak cepat dibawah bayangan tembok benteng.

Gerakan maju kapal perang Portugis itu rupanya terlihat oleh pasukan kesultanan yang berada didalam benteng kota. Serentak meriam-meriam kota menyalak, melontarkan peluru kearah kapal perang tersebut. Gerakan pancingan kapal perang tersebut memberikan lokasi pos-pos meriam, bagi pasukan pengintai pimpinan Alberto Cuinas yang sedang bergerak menuju gerbang barat kota.

Alberto Cuinas dapat melihat gerakan Chiaki Miura berkelebat, didalam kegelapan bayangan, dari tembok rumah ke tembok rumah lainnya, mendekati gerbang tembok benteng kota. Dibelakang gadis itu, Centromestre Sandro Gomez mengikutinya seperti harimau mengikuti mangsanya. Langkah-langkah berat sepatu botnya berusaha mengimbangi langkah-langkah ringan Chiaki.

Di depan gerbang, gadis cantik itu langsung menyerang seorang penjaga, yang sedang berdiri terkantuk-kantuk kelelahan, dengan satu gerakan lurus yang cepat. Tentara itu tidak menduga bahwa ajalnya tiba, hanya dalam hitungan sepersekian detik. Dia hanya dapat melotot, saat menyadari sebilah belati mata Naginata menembus batang lehernya. Sedangkan rekan-rekannya juga hanya bisa terperangah, saat tubuh-tubuh mereka ditembusi pedang dan sangkur pasukan pengintai Portugis, yang menyerang dengan tiba-tiba dari balik kegelapan. Beberapa tentara yang tertidur bahkan belum sempat membuka matanya, saat jantung mereka ditikam. Mereka hanya dapat melanjutkan tidurnya ke alam baka, tanpa memiliki kesempatan untuk bangun kembali.

Penyerangan ke gerbang kota dini hari itu berlangsung senyap, singkat, dan brutal. Tanpa menimbulkan banyak suara, dan tanpa satu-pun letupan pistol terkul, pasukan pengintai Portugis membantai satu regu pasukan kesultanan Melaka, yang berjaga digerbang barat kota. Pasukan pengintai itu menerobos ke dalam benteng kota, dan kemudian berpisah menjadi empat kelompok kecil. Mereka bergerak ke sasaran mereka masing-masing, yaitu pos - pos meriam kota yang masih menyalak menembak kearah kapal Portugis.

Centromestre Sandro Gomez dan kelompoknya, bersama Chiaki Miura, bergerak menyusuri bagian atas sisi tembok benteng sebelah selatan, yang membatasi bagian dalam benteng dengan pantai. Terdapat beberapa pos disepanjang tembok benteng tersebut. Satu pos biasanya berisi tiga sampai empat buah meriam perunggu, banyak pos yang ditemukan ternyata tidak dijaga, temuan ini menimbulkan banyak pertanyaan bagi pasukan portugis. Tetapi satu hal yang pasti membuktikan, bahwa kesultanan Melaka, meskipun memiliki jumlah meriam berkekuatan besar yang sangat banyak, tidak siap untuk menerima serangan pasukan Portugis.

Chiaki, sesuai dengan perintah Centromestre Sandro Gomez, tidak pernah berada jauh-jauh dari sisi si gaijin. Beberapa kali dia menunggu laki-laki berambut merah itu mendekat, bersama dengan tiga orang lain yang berada di kelompoknya, sebelum melakukan serangan dadakan ke sebuah pos meriam. Meskipun beberapa kali pula, karena lama menunggu, dia akhirnya melakukan solo serangan untuk melumpuhkan satu pos meriam, yang biasanya diawaki empat orang anggota tentara kesultanan Melaka. Sandro Gomez hanya bisa menyeringai dan menghela napas panjang, saat melihat gadis Nihon itu menunggu mereka dengan sinar mata kesal, setelah melumpuhan pos meriam tersebut.

Secara sistematis, dibantu bayangan kegelapan malam, kelompok-kelompok pasukan pengintai Portugis melumpuhkan meriam-meriam kota tersebut, satu per satu. Menjelang pagi, saat sinar matahari menyapa dari ufuk cakrawala, seluruh meriam kota Melaka sudah lumpuh dan tidak berbunyi. Butuh beberapa waktu, sebelum pasukan kesultanan menyadari apa yang telah terjadi pada meriam-meriam tersebut. Setelah menyadari sepenuhnya apa yang akan terjadi, pasukan kesultanan, yang selama ini berada dibarak-barak penampungan yang berlokasi didataran sebelah utara kota, mulai bergerak maju memasuki kembali benteng kota Melaka.

Pasukan kesultanan mendapatkan semua awak Meriam, yang berada di pos mereka, banyak yang sudah terluka dan terbunuh. Mereka-pun bergegas mencari awak pengganti untuk mengoperasikan meriam-meriam tersebut. Tetapi semua sudah terlambat, seluruh tentara infanteri Portugis, yang berhari-hari sabar menunggu di dalam kapal-kapal mereka, sudah mendarat di kedua bagian kota, di wilayah barat dan di wilayah timur.

Tepat saat ayam berkokok, dipagi hari bulan Agustus yang cerah, tentara infanteri Portugis menyerang kota Melaka dari dua sisi.

Chiaki 1511 - Buku SatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang