Badai Tropis

9 3 0
                                    

Malam itu petir berkilatan menyambar-nyambar di langit berawan yang gelap. Hempasan angin kencang dan guyuran hujan menerpa hutan lebat di sepanjang pesisir barat semenanjung Malaya.

Gelombang laut setinggi lebih dari sepuluh puluh kaki bergemuruh menghantam karang dan bebatuan di tepi pantai. Deru taifun yang berhembus kencang ditingkahi suara gemeretak pepohonan yang roboh. Deretan pohon - pohon kelapa yang tinggi menjulang seperti menari dalam tarian gila, seirama dengan ritme deru angin dan gemuruh gelombang.

Ditengah kekacauan amukan alam tersebut, tampak puluhan manusia bergerak perlahan-lahan melintasi hutan lebat yang gelap. Pemimpin mereka seorang pria bertubuh kekar dengan rambut merah kasar yang tumbuh lebat di kepala. Seringai lebar sesekali tampak menghiasi wajahnya.

Sandro Gomez, nama pria tersebut, berhenti sejenak sambil mengawasi sekelilingnya. Dari dalam hati dia menghitung jumlah pasukan yang menyertainya. Diujung kanan tampak Terceiro Oficial, si tua Luiz da Costa dengan rambut putih panjang mantap melangkah, sementara disayap kirinya Alberto Cuinas dengan tubuh penuh lumpur tampak terengah-engah mengatur napasnya.

Sandro menyeringai melihatnya, si bodoh itu tadi terpeleset dan terjatuh ke sebuah ceruk kecil tempat babi hutan berkubang. Sandro mendengus dan melanjutkan langkahnya. Sepatunya terendam lumpur dan telapak kakinya basah.

Disebuah tebing curam di sebelah barat bukit kecil, Sandro berseru dan memerintahkan pasukannya berhenti. Pasukan itu kemudian membuat kamp sementara ditempat itu. Centromestre berambut merah itu memandangi langit yang sedang menumpahkan kemurkaannya.

Setelah membaca peta perkamen yang terlipat disakunya yang basah, ia memandang berkeliling. Badai masih belum berhenti, tetapi setidaknya tebing batu ini dapat memberikan perlindungan yang cukup dari hempasan badai.

Pelaut berambut merah itu mengamati dan memeriksa kondisi disekitar tebing. Tempat tersebut dirasa cukup aman, tidak tampak ancaman bencana alam lainnya, seperti tanah longsor yang kerap terjadi di cuaca seperti ini. Tebing ini berada disisi bukit menghadap timur, melindungi mereka dari badai yang berhembus dari barat. Mereka sementara dapat beristirahat dengan aman, sebelum melanjutkan perjalanan untuk mendekati kota pelabuhan Melaka esok pagi.

Sandro Gomez berkumpul dengan si tua Luiz da Costa dan memanggil Alvaro Martins, seorang pelaut veteran - tripulação marinha senior, yang berpengalaman di pertempuran Penaklukan Goa, untuk menyusun sebuah tim pengintai kecil.

Alvaro bergegas memanggil beberapa nama, dan tidak lama kemudian tiga orang pelaut lainnya berkumpul ke dekat mereka. Centromestre Sandro Gomez seperti biasa, menyeringai, setelah mereka berkumpul dan memperkenalkan nama mereka satu-persatu.

Masih tetap dengan seringai lebarnya, Sandro Gomez memberi tanda kearah dimana tampak sesosok tubuh, yang berdiri diam, terlindung dalam bayangan sebuah pohon angsana besar. Dari balik gelap bayangan pohon besar tersebut keluar sosok langsing berjubah hitam.

"Madre Dio... Dia ada disini?", tanya Alvaro Martins dengan tatapan tajam kepada Sandro.

"Watashiwa namae wa Miura Chiaki des", kata gadis yang muncul dari dalam bayangan gelap tersebut. Kemudian dia menundukkan tubuh memberi salam hormat kepada mereka.

"Apresentá-la a amante do capitão, Chiaki Miura", sambung Sandro Gomez kepada kelompok kecil itu sambil menyeringai lebar.

"Uma mulher louca que matou piratas", lanjut si tua Luiz da Costa sambil terkekeh.

"Serius?!", tanya Alvaro lagi. Mata hijaunya menatap Chiaki, menyelidiki paras cantiknya. "Eh... Nani?", kata gadis itu risih dipandangi Alvaro. Sepasang alis matanya yang tipis terangkat.

"Hah..., untuk apa kami berbohong", sergah si tua Luiz. "Sandro sampai terpaksa harus turun juga ke dalam Jung untuk menjaga agar dia tidak terbunuh, bukan begitu amigo?", lanjutnya si tua kembali terkekeh.

"Menjaga? Apa yang harus saya jaga? Semua dihabisi sendirian sama dia. Tidak ada satupun yang tersisa.", kata Sandro dengan seringai yang bertambah lebar. Alvaro kembali menatap Chiaki, berusaha mempercayai semua informasi yang baru didengarnya mengenai gadis tersebut. "Sebegitu hebatkah dia", katanya dalam hati

Ditengah gemuruh badai dan sambaran petir, sambil sesekali melirik wajah oriental gadis cantik yang berdiri diam disamping mereka, Alvaro Martins, Sandro Gomez dan Luiz da Costa berunding bersama tiga pelaut lainnya. Mereka berdiskusi membahas perintah Capitão da fragatta Hugo Fonseca. Diskusi mereka tidak berlangsung lama.

Dengan berbagai pertimbangan, mereka memutuskan Terceiro Oficial Luiz da Costa untuk tetap berada di kampmengawasi pasukan. Sementara lima pelaut lainnya, bersama si cantik Chiaki, akan berangkat melaksanakan perintah Capitão Hugo Fonseca.

Perjalanan malam ditengah gelap badai dipastikan akan sangat menguras tenaga. Untuk menghemat energi, mereka berjalan perlahan melintasi bukit kecil melalui sisi barat. Badai membuat pandangan ke depan sangat terbatas. Hempasan hujan membutakan mata dan menyakiti kulit wajah mereka.

Setelah beberapa saat melewati sisi bukit, mereka kemudian menyusuri pantai berbatu yang licin dengan hati-hati, sampai menemui dataran rendah berawa-rawa. Tampak jalan setapak yang sempit melintas membelah kawasan rawa-rawa.

Beberapa kali terdengar suara makian mereka, saat terperosok ke dalam lumpur. Setelah mendaki bukit kecil yang berbatasan dengan rawa-rawa tersebut, mereka akhirnya dapat melihat temaram lampu-lampu kota pelabuhan Melaka.

Mereka berjongkok dibawah bayangan sebuah pohon bungur besar, yang berada tepat dihadapan gerbang timur benteng kota. Ada sebuah pos penjagaan berdinding kayu, yang berdampingan dengan gerbang tersebut.

Suasana gerbang tampak kosong dan gelap, tidak tampak seorang-pun berada disana. Lampu - lampu suluh, yang pada malam tenang biasanya menerangi gerbang, tidak ada satu-pun yang menyala, kecuali lampu di dalam pos penjagaan.

Centromestre Sandro Gomez memberikan arahan kepada semua orang yang berlindung dibawah naungan pohon besar tersebut untuk bersiap-siap, mereka semua melepas pedang panjang dari sarungnya. Sandro Gomez mengangguk kepada Chiaki untuk melanjutkan rencana yang sudah disusun sebelumnya.

"Ganbatte Sandro-sama. Korosa reru na, kudasai – Tolonglah, jangan sampai kamu terbunuh", kata Chiaki kepada Centromestre berambut merah tersebut. Matanya yang hitam pekat menatap lekat pos jaga, membaca situasi dan memperhitungkan gerakan yang harus dia lakukan.

Gadis itu bangkit berdiri dan berlari-lari kecil dengan langkah ringan dibawah siraman derasnya hujan. Diikuti tatapan para pelaut, gadis itu bergerak ke kiri, ke belakang pos jaga, dan dengan satu gerakan berputar, ia mendobrak pintu pos jaga, dan menyerbu masuk kedalam. Terdengar samar-samar suara teriakan dan denting logam beradu, yang teredam oleh bunyi badai dan guntur.

Alvaro Martins melompat berlari menyerbu masuk ke dalam pos jaga sambil mengacungkan pedang panjangnya, disusul Sandro Gomez. Pelaut veteran tersebut tertegun menyaksikan keadaan di dalam pos jaga, dia menolehkan wajahnya kepada Centromestre Santo Domingues yang menyeringai lebar.

"Madre Dio...", gumam Alvaro bergidik. Tampak dua tubuh tergeletak tanpa kepala berkejat-kejat, memancarkan darah dari luka penggal dileher masing-masing, sementara Chiaki si gadis Nihon sudah melesat keluar pintu, berlari menuju sasaran yang lain.

"Kalian bawa setan betina itu dari mana?", sergah Alvaro Martins kepada Sandro Gomez. Kengerian bercampur takjub terpancar di wajah pucatnya. Pelaut berambut merah itu hanya mengangkat bahu sambil tetap menyeringai.

"Tanyakan saja sendiri ke Capitão Hugo", jawab Sandro acuh tak acuh sambil berlari keluar pos penjagaan tersebut mengikuti Chiaki.

Chiaki 1511 - Buku SatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang