HAPPY READING!!
____
Sret—
"Akhh..."
Sreeeet—
Suara belati menggores kulit seperti melodi neraka. Ruangan itu remang, hanya disinari cahaya lampu gantung kuning pucat yang bergoyang pelan. Bau besi dan darah memenuhi udara.
Di tengah ruangan, Delano berdiri tegak. Wajahnya dingin. Belati perak di tangannya menari, meninggalkan ukiran dalam di dada korban. Garis-garis itu bukan sembarang goresan—itu simbol. Tanda. Pesan untuk siapa pun yang mengusik.
Tubuh korban gemetar, penuh luka lama yang sudah mengering, tapi kini kembali basah oleh darah baru.
Delano tidak membunuh cepat. Tidak untuk orang ini.
Orang yang telah menabrak ibunya dan melarikan diri seperti pecundang. Yang membuat ibunya terbaring tak bernyawa, dingin, tanpa keadilan. Kini dia di sini—di ruang bawah tanah Andreaz, tempat yang tak tersentuh hukum.
"Udah saatnya... hari ini lo mati." suara Delano rendah, nyaris seperti bisikan. Tapi tiap katanya menusuk lebih tajam dari belati di tangannya.
Senyumnya muncul. Manis. Tapi setan pun akan bergidik melihat senyuman itu.
Bleshh—
Sekali tebas. Kepala korban terlepas, menggelinding ke lantai beton dengan suara tumpul. Darah menyembur deras, mengenai jas Delano. Tapi ia tak bergeming. Justru matanya menatap puas, menikmati pemandangan kematian seperti karya seni.
Para anak buah yang berdiri berjaga di belakangnya hanya bisa menunduk. Nafas mereka tertahan. Pemandangan ini bukan yang pertama mereka lihat, tapi setiap kali Delano turun tangan sendiri, ada hawa berbeda. Seperti... aura kematian menari di udara.
"Lempar tubuh itu ke singa-singaku." ucap Delano datar, menyeka darah di wajahnya dengan sapu tangan hitam berlogo Andreaz.
Singa-singa itu bukan metafora. Di dalam kompleks bawah tanah keluarga Andreaz, ada kandang berisi hewan buas. Mereka bukan hanya penjaga. Mereka adalah pelumat bukti.
Seorang anak buah maju, menarik tubuh tanpa kepala itu seperti karung tak berguna. Lainnya ikut bergerak tanpa suara. Tak satu pun berani menatap mata sang pewaris Andreaz.
"Bereskan semua." lanjut Delano sambil berjalan pelan ke luar ruangan, langkahnya bergema di lorong batu. Setiap langkahnya adalah deklarasi: Andreaz tidak bermain-main.
Dan malam itu, satu nama terhapus dari dunia.
Tanpa ampun. Tanpa belas kasihan.
Karena menyentuh darah Andreaz berarti menandatangani kematian sendiri.
___
"Duhhh, gimana dong Thena?" Gelisah Alya yang sedari tadi sudah menahan kecemasan.
Athena yang sedang mengerjakan tugasnya terhenti sejenak, lalu mengalihkan pandangannya ke arah Alya, sahabatnya.
"Kenapa?" tanya Athena, nada suaranya datar tapi penuh perhatian.
Mereka berdua sedang duduk di sebuah kafe di tengah kota, tempat yang biasa mereka kunjungi. Athena hanya berniat menemani Alya yang memintanya.
Alya menarik napas dalam-dalam, menatap Athena ragu.
"G-gua suka... emm... Angga!!"Athena yang sedang menyesap minuman langsung tersedak. "Angga... inti Zenos??" ia bertanya dengan nada tidak percaya.
Alya mengangguk pelan, menegaskan jawabannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
DELTHA
Teen FictionDelano Axtar Tartarus Andreaz Seorang laki-laki keturunan Andreaz, seorang pewaris tunggal, tampan, dan dingin. Sebagai seorang dengan julukan Tartarus itu memang benar. Kejam, dingin, dan tidak mengenal belas kasih ketika ada yang mengusiknya. San...