Chapter 10

19.1K 669 1
                                    

HAPPY READING!


_____

Pagi Hari di Andreaz High School

Malam telah berganti pagi. Kegelapan digantikan sinar mentari, dan dingin pun mulai mereda, tergantikan oleh hangatnya sinar matahari.

Para siswa dan siswi Andreaz High School tampak mulai berdatangan. Pin khas yang melekat di sisi kanan jas seragam mereka menjadi ciri khas eksklusif murid Andreaz High School.

Tiba-tiba, terdengar riuh pekikan para siswi yang terpukau melihat sosok anggota inti Denos—terutama ketuanya. Siapa yang tak mengaguminya? Tapi, siapa pula yang tak takut padanya?

Suara deruman motor terdengar bersahutan dari arah gerbang menuju parkiran. Tentu saja, parkiran khusus Zenos. Delano, cucu pemilik sekolah, sudah pasti bebas melakukan apapun di sekolah miliknya.

"Duh, makin ganteng aja gue," ujar Erlan sembari melambaikan tangan dengan percaya diri tinggi. Memang harus diakui, ia tampan.

Angga yang berada di sampingnya hanya memutar bola matanya malas, melihat tingkah sahabatnya itu.

"Lo kenapa, On?" tanya Angga, menyadari Deon terlihat lesu, seolah tanpa gairah hidup.

"Yaelah, biasa. Mabuk tuh anak, kurang tidur," celetuk Erlan sambil melirik Deon. Ia masih mengingat jelas semalam mereka ke klub, dan Deon minum terlalu banyak alkohol.

Deon memang menyusahkan. Setelah mabuk berat, merekalah yang harus membopong tubuhnya pulang ke apartemen Angga. Jelas tak mungkin ke mansion—ibunya pasti akan mengomel hebat.

"SYELA!!" pekik heboh Erlan begitu melihat seorang gadis turun dari mobil.

Semua menoleh, kecuali Delano—ia terlalu malas bahkan untuk sekadar melirik.

"Cih, dia lagi," gumam Angga kesal. Ia memang tidak menyukai gadis itu—Syela. Hanya Erlan yang menyukainya. Baginya, gadis polos seperti Syela terasa... menyebalkan.

"Syela, sini!" panggil Erlan, melambai.

Syela melangkah mendekat dengan senyum sumringah.

"Hai, Kak Erlan," sapanya manis. Ia masih kelas sepuluh, jadi Erlan adalah kakak kelasnya.

"Hai juga," balas Erlan bangga.

Syela menoleh ke yang lain. "Hai, kakak-kakak," sapanya. Namun tidak ada satu pun yang membalas. Memang, tidak ada yang menyukainya di kelompok itu.

Ia baru saja selesai masa orientasi dan mengenal Zenos karena Erlan, sahabat kecilnya. Ia bahkan kadang ikut main di markas mereka.

Delano, yang sudah muak, memilih berjalan pergi. Ia melangkah menyusuri lorong sekolah menuju kelas. Kali ini, ia benar-benar berniat belajar.

Tak ada yang berani menatapnya lama-lama. Sosoknya menyeramkan. Aura yang ia pancarkan saja sudah cukup membuat orang bergidik ngeri—mengingat semua cerita tentang kekejamannya.

Delano dikenal dingin, datar, kejam, dan tak tersentuh. Mengusiknya? Artinya mengundang malapetaka.

Zenos lain pun mengikuti langkah Delano menuju kelas.

Bel masuk berbunyi. Pelajaran pertama pun dimulai.

Andreaz High School memang sekolah elit terbaik di negeri ini. Proses belajar mengajar berjalan baik—dengan pengecualian di kelas Delano.

Delano duduk di bangku paling belakang. Di depannya ada Eza dan Deon. Di sebelahnya, Erlan dan Angga.

Tapi bukan belajar yang mereka lakukan. Delano hanya menelungkupkan kepala di atas meja—tidur. Dan siapa yang berani membangunkan Delano? Guru pun tak berani.

DELTHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang