HAPPY READING!!!
___
Markas Zenos, satu bulan setelah teror pertama.
Ruangan rapat tampak diliputi asap rokok tipis dan ketegangan yang kental. Semua inti Zenos duduk melingkar mengelilingi meja kayu panjang—wajah‐wajah tegang terpantul samar di lampu gantung kuning redup. Sejak sebulan terakhir, pesan bertanda tengkorak muncul saban malam di ponsel mereka: "Menyerah atau mati." Dan lebih parah—orang‐orang terdekat Zenos ikut menjadi sasaran.
Angga menggebrak meja, berkas bukti berserakan.
"Semua teror dikirim orang yang sama. Polanya identik!" ujarnya, nafas berembus cepat."Pasti ada hubungannya dengan comeback-nya Aksavaragos," gumam Deon, kali ini tanpa canda sedikit pun. "Bukti memang belum mengarah penuh, tapi teka-teki mereka selalu berlapis."
Suara‐suara rendah bersahut-sahutan, hingga seorang anggota nekat berseru, "Kalau begitu... war aja sekalian!"
Kalimat itu membelah udara. Angga terhenyak, bayangan perang dua tahun lalu—dan jenazah sahabat mereka, Erza—seketika berkelebat. Eza menghentak bangkit.
"Jaga omongan lo!" desisnya, melindungi Angga dari kilas balik yang masih menghantui.Lalu terdengar decihan dingin.
"Bastard."Delano berdiri. Sinar lampu menegaskan rahang tegangnya, urat di lengannya mencuat. Aura dingin menyapu seluruh ruangan. "gue yang pimpin rapat ini. Dan di sini... ada aturan."
Sunyi mencekam. Para anggota menunduk.
Delano menjejak lantai. "gue Leader of Zenos. Sekarang teriakkan aturan sakral kita!"
Serempak, mereka berseru lantang—gema yang pernah mereka sumpah-kan sejak hari pertama:
"Face it together!
No betrayal!
Don't die a loser!
Defend every truth!"Teriakan itu belum sempat memudar ketika Delano menoleh pada anggota yang barusan menyulut ide perang. Dua pukulan keras—bugh! bugh!—meja lapuk remuk, tubuh pemuda itu terlempar menghantam dinding.
"I don't like betrayal," bisik Delano, bibirnya melengkung miring.
Seluruh ruangan membeku. Delano berjalan pelan, menendang dada si pemuda, menindihnya dengan lutut hingga erangan kesakitan memecah hening.
"Lo melanggar rule itu—dan hukuman satu-satunya adalah kematian."
"Ma... maaf... g-gua cuma disuruh!" rintihnya, susah bernapas.
Delano mendekat, mata hitamnya tak berkedip. "I don't accept any excuses."
Dengan isyarat singkat, dua anggota lain menyeret si pengkhianat keluar—menuju sel bawah tanah tempat jeritan takkan terdengar.
Keheningan tertinggal, berat dan padat. Beberapa orang menghirup napas rakus, seakan paru-paru baru saja dilepaskan dari ikatan.
Angga menelan ludah. "S-siapa yang nyuruh dia, Del?"
Delano meneguk sekali wine Henri Jayer Cros Parantoux, memecah cita rasa logam darah di lidahnya. Tatapannya menembus meja rapat, sedingin baja.
"Focus on the target." Itu saja.Mereka semua paham artinya: pelaku teror tak jauh dari Aksavaragos—atau mungkin, sudah berada tepat di tengah lingkar mereka.
Di balik pintu logam markas, malam kian pekat. Dan Zenos, kembali ke wujud asal: gerombolan serigala yang menahan diri... sebelum benar-benar dilepas ke dalam gelap

KAMU SEDANG MEMBACA
DELTHA
Teen FictionDelano Axtar Tartarus Andreaz Seorang laki-laki keturunan Andreaz, seorang pewaris tunggal, tampan, dan dingin. Sebagai seorang dengan julukan Tartarus itu memang benar. Kejam, dingin, dan tidak mengenal belas kasih ketika ada yang mengusiknya. San...