Bagaimana Jika? Menciummu
"Aku bisa sendiri," jawab Genda yang mana akan keluar dari mobil Revan dan posisi keduanya kini berada di samping gerbang rumah pemuda itu. Gadis itu hanya merasa berlebihan jika menyuruh, ah bukan menyuruh lebih tepatnya memperbolehkan bosnya itu untuk membopongnya lagi. Sementara Revan hanya diam tanpa sepatah kata, dan menatap gadis itu datar.
"Kau sakit?" tanya Genda memastikan dan Revan pun keluar dari mobilnya dengan tubuh yang agak lemas. Wajah dan bibir pemuda itu pun nampak pucat pasi sekaligus dingin seperti ditabur oleh bedak bayi.
Revan pun hanya bisa menggeleng pelan.
"Kau berlebihan, aku hanya karyawanmu. Tapi ... aku berterima kasih, kau sudah menyelamatkanku."
Brukkk,
"Kak?" Genda lantas terperanjat pelan karena Revan tiba-tiba memeluk dan menelusupkan kepalanya di ceruk lehernya.
"Shhh, badanmu panas!" khawatir Genda.
"Aku sakit karenamu, Gen." Dan di akhir katanya pun ia tersenyum sekilas.
"Ka-kau kenapa? Aku? Aku membuatmu sakit?" Genda mengernyit pelan, sembari memperhatikan Revan yang memegang dadanya takut-takut jika bos nya terkena serangan jantung di umurnya yang masih muda itu.
Polos sekali kamu, Gen.
Telapak tangannya yang kanan itu pun lantas beralih memegang bagian tengkuk gadis itu, sementara yang kiri mencoba menangkup pipinya. Gadis itu tak bodoh sama sekali, ia tahu apa yang akan dilakukan Revan padanya.
"Ak...."
Belum selesai Genda melanjutkan kalimatnya, bibirnya itu pun sekarang sudah bertautan dengan milik pemuda itu— ya, lebih tepatnya Revan kini benar-benar menciumnya. Ia pun merasakan darahnya seolah berdesir, kakinya serasa layu, denyut nadinya yang bergerak naik turun dengan begitu cepat. Matanya secara otomatis pun terpejam di sela ciuman itu. Waktu di sana pun seperti berhenti sejenak, Revan lantas semakin mengeratkan pelukannya dan memperdalam ciumannya itu dengan lembut.
"Emph ....,"
Udara malam itu cukup dingin, tapi suhu tubuh mereka bukannya turun tetapi naik.
Dia ... menciumku?
Demi apapun, ini pertama kalinya untuk Genda.
Revan pun selanjutnya menghentikan ciumannya itu dan menolah ke sekeliling menyadari ternyata di depan pintu sana sudah ada Ria, bibi Ela, dan satpam. Suasana yang semula nampak biasa saja berubah menjadi canggung, dan kini keduanya seperti tikus yang ketahuan mencuri keju.
"Non Genda masuk saja, saya sudah siapkan kamar untuk menginap di sini. Tak apa," sahut bibi Ela mencoba menyadarkan Genda yang sedari tadi mematung akibat perbuatan Revan. Genda tak bisa menolak, ia juga merasa jika badannya terasa pegal-pegal berpikir kalau menginap di sini bukan ide yang buruk juga.
Kamar Revan.
"Ah, sial. Mengapa aku menciumnya! Tapi tadi .... " Revan lantas mengusak rambutnya kasar.
"Dia bakal risih gak, ya?" lanjutnya meratapi aksinya barusan.
"Apa kau gila, Rev! Semoga demammu ini tak menular padanya! Tapi ... kenapa aku jadi ngerasa mendingan, ya?" racau Revan sambil mondar-mandir tidak jelas di kamarnya itu, tapi di akhir kalimatnya ia pun menyunggingkan senyuman bodoh.
"Shh, jadi Rio sudah tahu penyamaran Genda? Atau memang sudah tahu dari dulu?"
Keesokan harinya,
Suara sendok sedari tadi menggema di ruang tengah itu. Dua insan yang semalam saling berciuman tak tahu tempat itu pun hanya bisa diam sembari mengunyah makanan mereka dengan lambat. Keduanya seperti tengah beradu dengan pikiran mereka masing-masing.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fall on Deaf Ears (COMPLETED)
Fiksi PenggemarHujan bukanlah bencana, melainkan secuplik kisah pahit yang sekian lama tidak dilihat ataupun didengarkan. ◉ Revisi setelah selesai. ✓ ◉ Dilarang plagiat, apalagi report ⚠. Belajar menghargai sesama penulis. Menulis cerita itu tak semudah membalikka...