"Delapan koma lima per sepuluh,"
•••
AMETHA membasuh wajahnya di kamar mandi kamarnya, ia terlihat lelah ketika melihat pantulan dirinya di cermin.
"Sadar nggak? Lo buat kekacauan Ametha."
Andai tau akan seperti ini, ia memilih tidak akan menerima Rayan menjadi kekasihnya, jika tetap harus melibatkan kakaknya menanggung resiko.
Vino membuat Rayan harus mengalami luka cukup dalam dan dirawat beberapa minggu, baru polisi bisa menindak lanjuti lagi masalah ini. Namun, Vino mendapat ancaman tiga bulan penjara. Jika itu terjadi, Vino bisa berhenti bahkan dikeluarkan dari universitasnya.
"Tha? Kok lama banget? Lengan lo jangan sampai kena air," suara Fisaka menginstruksi dari depan pintu kamar mandi.
Ametha mencengkram lengannya, ia sesak, sangat. "Lo bodoh, Tha! Lo bodoh!"
Tidak dikunci, dengan mudah Fisaka membuka pintu kamar mandi. Melotot kaget melihat apa yang Ametha lakukan.
"Astaga, lo ngapain sih, Tha! Luka lo jangan diginiin, dong!" Fisaka menarik Ametha keluar dari kamar mandi.
"Runa! Kotak obatnya bawa sini!" Fisaka berbicara sedikit berteriak.
Aruna datang membawa wadah air hangat dan kotak p3K.
"Heh, darahnya keluar lagi." Ujar Aruna, panik. Mulai mengobati lengan Ametha dengan kain dan air.
Ametha diam, tak berbicara dan bergerak sedikitpun dari tempat duduknya. Menoleh memandang Aruna dan Fisaka secara bergantian.
"Nanti, anterin gue ketemu kak Vino, ya?"
***
Alvan memijit pangkal hidungnya, mendengar kabar hukuman yang dicantumkan untuk putranya. Ia tidak terima ini, ini tidak adil. Sedangkan Tria, istrinya itu sudah menangis terisak tidak terima.
Vino diam di duduknya, mendengar polisi terus berbicara lebar. Disana juga terdapat Luvius serta ketiga temannya. Saksi-saksi yang mereka bawa juga ikut hadir.
Vino terkekeh, merasa tidak menyesal sama sekali untuk apa yang sudah ia lakukan.
"Dipenjara? Kalau ujung-ujungnya gue dipenjara, kenapa ga sekalian gue bunuh si bajingan itu!" Ujarnya lantang.
"Harusnya..." Lagi, Vino terkekeh. "Ya, harusnya."
Alvan menepuk pundak kanan Vino, memberikan ketabahan.
Polisi itu menggeleng pelan. "Memang, pelaku bersalah, selain memaksa seorang gadis dan hampir menikahinya. Dia juga bersalah karena telah menghadang dan melakukan tindakan tak manusiawi terhadap anak murid sekolah lain."
"Hukuman pelaku pasti ada, dan lebih berat. Namun siapapun yang melakukan tindak kekerasan dan bermain hukum sendiri, dia tetap mendapat hukumannya."
"Saya." Luvius melangkah maju. "Saya lebih dulu memukul sang pelaku. Lalu, apa hukumannya?"
Polisi terdiam, membuat Luvius berdecih melihatnya. "Saya melihat anda tidak bisa menjawabnya, Dia.." Luvius menunjuk kearah Vino.
KAMU SEDANG MEMBACA
POISONOUS
Teen FictionMenilai buruk manusia tak selalu tepat sasaran, jatuh cinta bukan kesalahan, kehilangan bukan takdir yang sedang dimainkan. ___ "Kehidupan itu, beracun." ___ °2023