26. SENANG YANG SEDERHANA

24.5K 1.6K 214
                                    

"Gue udah disini, nggak usah diperpanjang."

•••

KACAU, Sastra benar-benar tidak bisa ditenangkan, lelaki itu baru diam beberapa menit setelah memukuli Dravin secara brutal, Luvius dan Gerry sudah mencoba untuk melerai, namun Dravin sendiri yang melarang dan membiarkan wajahnya penuh luka.

Alice terus saja menggigiti kuku telunjuknya, dia hanya bisa menangis diam dan menyaksikan dari kejauhan, ia terlalu takut untuk mendekat, terlebih melihat perlakuan Sastra yang bisa dibilang sangat kasar.

Luvius menarik nafasnya panjang, ia menjadi teramat pusing, melihat Sastra yang menatap kosong dan Dravin yang enggan membuka suara untuk menjelaskan.

"Jelasin ke gue ini ada apa!" Ujar Gerry, membuka suara, ia merasa jengah.

"Udahlah! Lo berdua gak usah kekanakan!"

"Lo gak ngerti perasaan gue, anjing!" Ujar Sastra, tidak terima.

Gerry berdiri. "Eh, bangsat! Gue ngerti! Gue jelas maklumin reaksi lo! Tapi gak gini juga, lah! Jangan kayak anak kecil yang gak bisa nyelesain masalah!"

"Kita ini udah SMA, udah mau lulus!" Ujar Gerry, greget.

"Aelah, keras kepala batu lo berdua!" Ujarnya, kembali duduk.

Dravin berdesis kecil, menggerakkan sedikit kepalanya, pukulan Sastra sangat kuat hingga membuat seluruh tubuhnya merasakan nyeri.

"Jelasin," ujar Luvius, datar. Menatap tajam Dravin yang saat ini menatapnya.

"Sebelum gue tambahin luka lo."

Dravin menunduk, menghela nafas, ia sedikit menatap nanar kekasihnya yang terus menunduk dari kejauhan.

Dravin menoleh, menatap penuh ke arah Sastra. "Ijinin gue buat ngejelasin semuanya, Tra."

Sastra memejamkan matanya sebentar, mendengar suara Dravin saja sudah bisa membuat darahnya kembali mendidih. Ia mengangguk sekali, tanpa berniat melihat sang lawan bicara.

"Gue dulu sering berkunjung ke Bandung, posisinya gue masih kelas delapan, adik lo kelas enam, dia masih SD, gue anggep cuman sebatas adik-kakak, kita sering ngobrol bareng, jalan bareng, main bareng. Dia selalu ingin ajak gue kerumahnya buat ngenalin ke abangnya."

"Dan jujur, gue gak tau kalau abangnya itu lo, Tra." Ujar Dravin, menghela nafas.

"Gue gak pernah mau buat diajak ke rumahnya, sampai gue fokus sekolah, kelas 10 gue ke Bandung lagi, cuman buat ketemu adik lo, gue gak punya adik perempuan, dan gue selalu anggap Faressa spesial."

"Faressa ngajak gue ketemuan di deket laut, dia nyatain perasaannya, dia bilang kalau dia sayang gue lebih dari seorang kakak, dia bilang cinta tulus ke gue. Gue bingung, Tra. Gue bingung harus berekspresi kayak gimana, gue bingung nanggepinnya gimana." Dravin mengusap wajahnya, lelah.

"Gue coba jelasin baik-baik, gue bicara selembut mungkin biar gak ngelukain hatinya. Tapi semua yang gue jelasin ke dia, semua sia-sia. Dia teriak, dia nangis sampai dorong gue. Faressa lari ke arah laut, dan selama gue kenal Faressa, dia gak pernah mau gue ajak jalan ke laut, karena takut."

"Disitu gue kejar, gue diem karena gue lihat dia berhenti, dia ngobrol dan meluk cowok asing yang bahkan gue gak pernah lihat sebelumnya."

"Waktu gue samperin, Faressa tetep nangis gak berhenti, dia tetep meluk cowok asing itu dan ngebentak gue, dia suruh gue buat pergi. Gue ngerasa gak nyaman karena banyak orang yang notice kejadian itu, gue milih balik badan dan berjalan pergi."

 POISONOUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang