"Makasih."
•••
CAFE Taria, ditengah-tengah padatnya pengunjung, Dravin harus bertengkar dengan Alice. Perempuan yang sejak beberapa minggu ini menjadi kekasihnya.
Alice tidak sengaja melihat Dravin duduk dan makan berdua bersama seorang gadis yang terlihat lebih muda darinya.
"Bisa nggak, ga usah berantem disini?" Dravin bertanya pelan.
"Dia adik temen gue, nggak sengaja ketemu disini."
Alice mengernyit, bahkan nada bicara Dravin pun berubah.
"Jadi? Disini aku yang salah?"
Dravin meraup wajahnya. "Lo cemburu, Lice! Nggak gini caranya!"
"E-eum, aku pergi dulu, deh!" Gadis yang semula duduk memperhatikan mereka, memilih untuk pamit pergi.
Alice bersidekap dada. "Belum juga ada satu bulan, kok lama-lama aku tau sikap kamu, ya?"
Dravin menatap Alice dalam. "Lupa? Gue perjuangin lo, Lice. Dengan susah payah gue dapetin lo, lo kira gampang pindah hati?"
Alice menatap Dravin dengan sorot tidak percaya, rasa emosi membuatnya melayangkan satu tamparan.
"Kamu ngejelasin aja pake nada kayak gitu! Bikin aku susah percayanya!"
Berpaling, Dravin memejamkan matanya sebentar, sebelum kembali menatap Alice. Ia tarik pergelangan tangan Alice keluar Cafe.
"Lepasin tangan aku!" Alice memberontak.
Sampai mereka berada dibelakang cafe yang sepi, Dravin melepas cengkramannya.
Alice memundurkan langkahnya ketika ia mulai menyadari sesuatu, melihat tatapan marah yang tersolot jelas dari tatapan Dravin.
"K-kenapa? Mau balas dendam? Ga terima aku tampar?" Ujar Alice, walau dalam hati ia sudah merasa was-was.
Berada di tempat yang sepi bersama orang marah? Baginya, itu cukup menyeramkan.
Seringai kecil Alice lihat, hingga ia terpojok, Dravin mendekatkan diri.
Sedikit menunduk, melihat tatapan Alice yang menghindari kontak matanya.
"Takut?"
Tidak menjawab, Alice justru memalingkan wajahnya, jelas pertanyaan Dravin memang benar adanya.
Walau diam, Dravin sudah mendapatkan jawabannya. Cowok itu menyingkirkan rambut yang menutupi sedikit wajah Alice.
"Sekarang gue tanya, pernah gue kasar? Pernah gue bales perlakuan lo? Pernah gue biarin lo nangis semaleman?"
Alice diam, gelengan pelan Alice lakukan
Dravin menghela nafas. "Gue marah? Iya, gue marah lo tampar di tengah-tengah kerumunan. Gue ajak lo kesini bukan untuk nampar balik lo, kalau gue mau lakuin itu, gue bisa lakuin di tempat tadi."
"Gue ajak lo kesini, buat kasih lo peluang. Lo bisa pukul gue sekarang, lo tampar gue sampai lo puas."
Alice mendongak, baru ia berani menatap Dravin sepenuhnya. Elusan lembut Dravin lakukan pada pipi kiri Alice.
"Gue capek-capek ngelindungin lo, masa iya gue harus jadi pelaku salah satu penyebab lo luka?"
"Gue sayang lo, Lice." Dravin berucap serius. "Semarah apapun gue, gue nggak akan bisa nyakitin lo."
"Lo bisa dateng ke gue kapan pun lo mau. Gue jadi pacar lo bukan untuk jadi preman yang lo takutin."
"Vin..." Alice menatap Dravin sendu, perasaan bersalah menghampirinya. Ia masih belum cukup dewasa untuk hal seperti ini. Alice spontan memeluk Dravin kuat.
KAMU SEDANG MEMBACA
POISONOUS
Teen FictionMenilai buruk manusia tak selalu tepat sasaran, jatuh cinta bukan kesalahan, kehilangan bukan takdir yang sedang dimainkan. ___ "Kehidupan itu, beracun." ___ °2023