"Pendosa kayak gue juga punya impian, Tha."
•••
BALKON, tempat Luvius dan Ametha saat ini berada, saling duduk berdampingan dengan angin berhembus pelan.
"Sorry, rumah gue kotor."
Ametha menoleh, tersenyum ketika Luvius membuka suara.
"Nggak papa, rumah kotor 'kan, masih bisa dibersihin,"
"Eum, kak?"
Luvius menoleh. "Hm?"
"N-nggak mau cerita sesuatu? Euh, soal..."
"2015?" Ujar Luvius, menebak.
Ametha menunduk, mengangguk ragu. "Kalau boleh aja, hehe..."
Luvius terdiam, sepertinya tidak masalah jika ia sedikit bercerita, bagaimana pun, gadis ini juga sudah mengetahuinya.
"Dulu, rumah ini bersih, wangi. Rumah yang selalu gue rindukan setiap kali main keluar, rumah yang selalu gue datengi cuman buat makan masakan istimewa."
"Tapi semenjak mama sakit keras, semenjak mama kena penyakit getah bening sampai usus buntu. Rumah ini jadi kotor, gue yang selalu pengen cepet pulang karena masakan mama, ngerasa nggak pernah mau pulang, setiap gue pulang, gue cuman ngelihat ayah yang berubah jadi pecandu alkohol, pemain judi,"
Luvius mengukir senyum. "Gue cuman anak kecil yang pengen ngerasain masakan mama setiap pulang main, gue cuman anak kecil yang pengen digendong ayah waktu lagi capek-capeknya."
"Berulang kali gue ngelihat ayah main tangan, setiap gue tegur, gue cuman dapat dorongan kasar." Luvius terkekeh.
"Gue baru sadar, sifat ayah, benar-benar nurun ke gue."
Ametha menggeleng, menolak ucapan itu. "T-tapi kak Lu orang baik, kak Lu sering bantuin orang lain 'kan? Kerja sama bareng polisi, t-terus bantuin gue buat bebas dari Rayan."
Luvius menoleh, menatap dalam. "Baik? Gue ga pantes dapat kata itu, setelah apa yang gue lakuin ke lo."
"Gue benci kota ini, Tha." Serak, Luvius kembali bercerita.
"Malam itu, ayah lagi keadaan mabuk, sedangkan mama berusaha terlihat baik-baik aja demi gue, mama gak pernah mau buat di operasi, mama takut ninggalin gue yang masih berumur 10 tahun."
"Gue gak sadar, Tha. Gue belum cukup dewasa buat ngerti semuanya. Gue masih inget jelas, tengah malam ayah sama mama berantem hebat, ayah tampar mama gue berulang kali, gue berusaha nahan, gue teriak,"
"Dan apa yang gue dapat? Gak ada satu pun tetangga yang dateng buat nolongin mama, mereka denger, Tha. Tapi mereka cuman diem, bisik-bisik dan pergi." Tangan kanannya mengepal, mengingat memori yang mati-matian Luvius lupakan.
"Sampai detik waktu gue ngelihat ayah ngambil celurit, berniat buat cambuk mama gue yang udah jatuh kesakitan."
"Gue gak terima, gue spontan lari ke dapur buat ambil pisau sembelih, gue ngelawan, sampai ayah tumbang dengan leher yang hampir putus."
"Mama teriak histeris, disitu gue takut, gue berniat sembunyiin jasad ayah di gudang. Tapi gak lama gue jadi mikir, gue gak harus takut, gue gak salah, gue lakuin karena ingin ngelindungin mama."
"Gue ngerasa jadi anak paling bodoh. Apa yang gue lakuin, ngebawa dampak buruk buat mama, gue divonis hukuman 15 tahun penjara, umur gue yang terbilang masih anak-anak, gue di kasih keringanan jadi 6 tahun penjara."
KAMU SEDANG MEMBACA
POISONOUS
Teen FictionMenilai buruk manusia tak selalu tepat sasaran, jatuh cinta bukan kesalahan, kehilangan bukan takdir yang sedang dimainkan. ___ "Kehidupan itu, beracun." ___ °2023