Suasana malam di rumah Vella sangat sepi bagaikan kuburan, tidak ada orang hanya ada dirinya saja yang pulang. Rumah yang dulunya ia anggap tempat paling nyaman, kini berubah menjadi tempat yang memberi luka kepadanya.
Ceklek
Vella menyalakan lampu rumahnya, ia melihat seperti ada seseorang yang duduk di sofa yang ada di ruang keluarganya.
"Papa? Papa kapan pulang?" Vella terkejut melihat sang Papa sudah duduk di sofa dengan kemeja yang kusut.
Edgar menatap sang putri dengan sorotan mata yang tajam. "Kamu habis darimana? Kenapa engga beritahu kalau kamu pergi? Kamu tau engga gimana khawatirnya Papa mikirin kamu ha?"
"Ma-af Pa, Vella habis keluar sama Aa tapi tadi Aa ada urusan jadi engga ikut pulang."
"Keluar kemana kamu?"
"Ke caffe sama keliling doang engga kemana-mana kok, Pa."
"Kamu tau kalau kamu anak gadis? Kamu tau gimana khawatirnya Papa kalau kamu ada kenapa-napa? Harusnya kamu telepon Papa kasih kalau kamu keluar!!"
"Telepon? Bukannya aku engga mau telepon, tiap kali aku telepon papa selalu bilang 'Papa lagi sibuk nanti aja teleponnya' 'Papa lagi banyak kerjaan jangan telepon Papa, telepon saja Mama kamu itu' Jawaban papa selalu seperti itu, papa sadar engg?"
Edgar membeku ketika anaknya akan menjawab pertanyaannya, anak perempuan yang dulunya ia sayangi kini sudah bisa menjawab ucapannya. Ia melihat anaknya yang berada di depannya jika anak perempuannya sudah dewasa.
"Kenapa diam? Engga bisa menjawab bukan? Papa sama Mama itu egois tau engga? Kalian selalu aja ada alasannya bukan ? Agar aku tidak mengganggu kesibukan kalian? Kalian ini mengaku sebagai orang tua tapi tidak bisa menjadi orang tua yang baik buat anak, tidak bisa memjadi contoh yang baik buat sang anak!!"
"Bukan gitu, kami kerja untuk kamu juga bukan untuk orang lain, Vel."
"Untuk aku? Sedangkan rumah tangga kalian itu sudah hancur? Kalian saling menyibukkan diri agar tidak dalam sebuah pertengkaran nantinya, tapi kalian orang tua yang egois!!"
"VELLA JAGA MULUT KAMU, PAPA ENGGA PERNAH AJARIN KAMU BUAT NGOMONG KASAR!!"
Plak
Edgar dengan penuh emosi menampar sang putri, ia sangat kesal atas ucapan Vella kepadanya. Ia paham gimana perasaan Vella, tapi ia juga marah karena Vella memancing emosinya.
Vella yang merasakan pipinya panas menatap Edgar dengan tidak percaya, "Papa aja sekarang sudah berani main tangan sama aku? Papa juga engga ada hati ya? Apa yang aku ucapkan semua itu memang kenyataan! Buktinya ini Papa tampar aku!!"
"Vel, maafkan Papa bukan maksud Papa seperti itu, Nak. Tolong mengerti," Edgar mencoba memeluk sang putri tapi sang putri malah menjauh dari jangkauan tangannya.
Vella yang melihat Edgar maju, ia memilih mundur dan lari ke dalam kamarnya, ia makin kecewa terhadap sikapnya Edgar saat menampar dirinya. Vella merasakan makin hancur hatinya, ia kecewa tapi ini yang bikin dirinya makin hancur. Kenapa bisa cinta pertamanya nemberikan sebuah luka kepadanya, seharusnya sang papa menjadi cinta pertamanya kenapa menjadi luka baginya.
****
Di dalam kamar Vella mengunci kamarnya, ia berharap agar Edgar tidak mengganggunya. Ia sudah tidak bisa menerima atas tamparan itu walau ia salah tapi itu sangat membekas sekali, Vella hanya ingin menyandarkan apa yang dilakukan oleh Edgar selama ini membuatnya hancur, tapi kenapa Edgar masih tidak mau mengakui kesalahannya masih ingin mengatakan apa yang ia lakukan selama ini untuknya.
Prang..... Prang......
Dalam keadaannya yang masih menyimpan sebuah amarah Vella tidak tanggung, tanggung menghancurkan semua yang ada di dalam kamarnya. Ia ingin meluapkan semua emosi yang masih terpendam di dalam dirinya.
"Vell, lu ada di dalam? Buka Vel jangan berbuat aneh - aneh, tolong keluar." ucap sang lelaki dari luar kamar Vella.
Sang lelaki yang meneriakkan dari luar kamar itu khawatir akan apa yang terjadi kepada Vella. Ia niat awalnya hanya ingin berkunjung, tetapi ia melihat semua yang terjadi ke Vella lantas memasuki rumahnya, saat melihat Papanya Vella juga pergi disaat bersamaan dengan Vella yang memasuki kamarnya.
"Jangan ganggu, gua mau sendiri kalian pergi!!" amuk Vella dengan memecahkan barang yang ada di dalamnya.
Sang cowo yang tidak kuat menahan akhirnya mendobrak kamarnya Vella yang tak kunjung dibuka oleh sang pemilik. Ia melihat keadaan kamar Vella yang berantakan parah, hingga banyak kaca yang ada di lantai berserakan.
Lelaki itu langsung memeluk Vella dari belakang, ia hanya ingin wanita yang penuh emosi itu tenang. "Vel, tenang. Gua ada buat lu. Kenapa lu hancurkan semua kamar ini? Kenapa lu kaga datang ke gua Vel? Gua khawatir liat lu ditampar Papa lu,"
"Lu siapa ha? Ngapain peluk-peluk gua, lepasin gua masih mau luapkan emosi gua!!" Vella menggerutu saat dirinya di peluk oleh seseorang yang tidak ia kenali.
"Lu liat? Ini gua kenapa lu marah-marah hey," ucap sang lelaki sembari merapihkan rambut bahkan mencoba melepaskan kaca yang ada di dalam genggaman Vella.
"Aiden, Lu kenapa ada di sini? Kenapa lu bisa masuk kamar gua?" Vella terkejut ternyata yang memeluknya adalah Aiden, padahal kemarin mereka sedang bertengkar.
Aiden lelaki itu tetap tenang, ia akan mencoba mengelus kepalanya Vella agar tenang dengan cara ini mungkin emosi Vella akan berkurang sedikit, setidaknya dengan cara ini Aiden bisa membuat Vella tenang.
"Iya ini gua.... Gua udah liat semuanya, tapi gua mohon jangan lukai diri lu lagi pakai tangan cantik lu ini. Lu liat tangan lu penuh darah berhenti sakit diri lu, lu kaga kasian sama diri lu?"
Vella yang mendengar ucapan menjatuhkan kaca yang ada di tangannya, ia melemah dikala pelukan Aiden, seolah dirinya saat ini sudah tidak sanggup berbicara.
"Memang orang tua lu egois, memang Papa lu membuat luka buat lu apalagi dia cinta pertama lu. Tapi ingat, masih banyak yang sayang sama lu. Keluarga gua, Elcy bahkan orang lain disana juga menyayangi lu. Jadi gua mohon berhenti sakiti diri lu, lu engga sayang sama badan lu? Lu engga sayang sama mental lu? Fisik lu keliatan sehat, tapi satu yang lu tanpa sadari bahwa mental lu juga sudah hancur, berhenti iya." Aiden membawanya ke pelukan hangat ia berharap jika Vella bisa tenang dan tidak menangis.
Aiden yang menunggu jawaban dari Vella tak kunjung dijawab ia singkap rambutnya Vella yang dimana ternyata Vella tertidur setelah kecapean menangis buktinya baju Aiden saat ini basah oleh airmata Vella dan ada bekas airmata di pipi Vella
Aiden membawanya ke kasur, dan menidurkan Vella dengan posisi yang nyaman ditambah tubuhnya dibalut oleh selimut hangat, ia melihat Vella yang begitu cantik saat tidur, seolah Vella seperti anak kecil yang tidak memiliki beban apapun....tapi siapa pikir jika anak yang dilihat baik-baik saja padahal adalah anak yang sedang memegang beban yang berat.
Cepat sekali lu tidur, rasanya engga tega gua liat lu nangis begitu apalagi liat kelakuan Papa lu, rasanya mau marah tapi gua engga ada hak untuk terlalu dalam ikut campur urusan lu, jadi tersenyum selalu cantik. Dunia memang kejam, dunia memang jahat, dunia memang egois tidak pernah bisa memihak ke kita. Tapi gua yakin hari bahagia sedang menanti lu dan gua. Maaf kalau gua belum bisa menjadi sahabat yang paham akan masalalu lu, gua masih menuntut lu biar paham apa yang terjadi dan maaf atas kejadian kemarin iya.
*****
Akhirnya kembali lagi dalam dunia nulis, kemarin lagi banyak masalah dan banyak kerjaan jadi maaf jika updatenya suka lama dan suka membuat kalian menunggu jadi saya minta maaf sebesar-besarnya dan saya mau mengucapkan terimakasih atas dukungan kalian yang mau membaca beberapa karya saya sebelumnya, makasih banget saya sangat berterimakasih atas dukungan kalian tanpa kalian mungkin saya tidak bisa seperti saat ini.
Semoga kalian semua selalu dalam lindungan sang pencipta, diberikan kebahagiaan, diberikan kesehatan dan keselamatan oleh sang pencipta.
Instagram : aiviemarcelinaa
Senin, 06 Maret 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
My Childhood Dream
Fiksi Remaja"Apakah kamu percaya akan sebuah impian?" tanya anak lelaki berusia 12 tahun. "Aku tidak terlalu percaya tetapi, ntah mungkin itu bisa bagus aku tidak percaya atau tidak terlalu berharap," Ada seseorang yang sangat mempercayai sebuah impian, ada ju...